Sunday, September 5, 2010
Wejangan syeh Amongraja
WEJANGAN SYEKH AMONGRAGA
KEPADA NIKEN TAMBANGRARAS
(MANUNGGALING KAWULO
KELAWAN GUSTI DALAM
SERAT CENTHINI)
September 4, 2010 3:16 pm
Ini adalah bagian dari Serat
Centhini yang membahas
tentang tahap-tahap perjalanan
seseorang saat mengalami
ekstase. Yaitu sebuah kondisi
spiritual saat seseorang
mengalami “penyatuan”
dengan Dzat-NYA atau
manunggaling kawulo kelawan
Gusti. Serat Centhini, kita tahu,
adalah babon serat-serat Jawa
yang terdiri dari 12 jilid dan bila
dikumpulkan mencapai 6000
halaman lebih. Semoga
pembaca mendapatkan secuil
manfaat dari terjemahan ini.
Rahayu. (Mas Kumitir).
Syekh Amongraga memberikan
wejangan kepada istrinya yang
bernama bernama Niken
Tambangraras selama 40 hari/
malam, baik yang berkenaan
dengan makna hidup dan
bagaimana cara manusia
mendapatkan makrifat kepada
Tuhan Dzat Yang Maha Besar,
maupun yang berkenaan
dengan kehidupan keluarga.
Berikut bait-bait yang kamu
dikutip dari Serat Centhini yang
menggambarkan tentang
kemanunggalan antara Tuhan
dan manusia :
1. Yen nuli / winisik basa
sempurna / sareng miarsa Ki
Bayi / senggruk-senggruk
anangis / tangis cumeplong ing
kalbu / manah padang
nerawang / ngraos tuwuk
tanpa bukti / pangaraose wus
ana sangisor aras.
“Kemudia ia membisikkan
kata-kata sempurna, ketika itu
didengar oleh Ki Bayi dia mulai
menangis tersedu-sedu, tetapi
ia sekaligus ia merasakan suatu
kepuasan batin yang besar.
Batinnya menjadi terang-
benderang, ia merasa kenyang
tanpa menyantap sesuatu, ia
merasa seolah-olah terangkat
ke hadapan tahta Tuhan.”
2. Ambalik sami sekala /
kramane mring Amongragi /
mehmeh kaya ngabekti / saking
tan nyipa kakalih / mung
mangsud guru yekti / Ki Bayi
aris turipun / rayi dalem
kalihnya / sumangga ing kersa
sami / ingkang mugi wontenan
sih wulang tuan.
“Pada saat yang sama
sikapnya terhadap Amongraga
berubah sama sekali, ia hampir
berbakti kepadanya, karena
sekarang ia hanya memikirkan
satu-satunya ini, aku
mendapatkan seorang guru
sejati, kemudian dengan suara
lembut Ki Bayi berkata, semoga
anda berkenan, agar juga kedua
adik anda menerima rahmat
ajaran anda.”
3. Inggih kang basa punika /
Mongraga umatur aris / gih
putranta sekalihan / sampun
kaula wejangi / ing ratri kala
wingi / kalihewus sami suhud /
matur alkamdu lilah / kaula
dados wuragil / sakelangkung
panrima kula satitah.
“Yakni kata-kata yang tadi
anda sampaikan, Amongraga
mejawab, kedua putra Bapak
sudah saya berikan ajaran itu
tadi malam, keduanya sudah
maklum akan kebenaran.
Syukur kepada Tuhan, kalau
demikian akulah yang bungsu,
kata Ki Bayi, saya puas sekalai
dengan urutan ini.”
4. Amongraga pan wus wikan /
ing dalem papanceneki / Ki Bayi
lan putranira / Jayengwesti /
beda ganjaraneki / Ki Bayi
ganjaranipura / sih kamulyan
ing donya / kang putra
ganjaraneki / pan cacalon
ganjaran mulyeng akerat.
“Amongraga tahu, apa yang
ditujukan kepada Ki Bayi dan
apa yang dituakan kepada
kedua putranya, Jayengwesti
dan Jayengraga. Ganjaran
disediakan kemuliaan dunia ini,
bagi kedua anaknya kemuliaan
di akhirat.”
5. Kewawa ngelmi makripat /
de Ki Bayi panurteki / kahidayat
ngelmu sarak / Sarengat
utameng urip / Mongraga
matur aris / paduka ingkang
akasud / tepakur maring Allah /
lan tangat kala ning wengi /
lawan ngagengena salat perlu
kala.
“Kedua anak itu mampu
menerima ngelmu makrifat,
sedangkan kepada Ki Bayi
Panurta diberi tuntunan
ngelmu sarak (agama menurut
hukum), sehingga ia hidup
dengan utama. Kemudian
Amongraga berkata dengan
lirih, tekunlah dalam
menjalankan dan lakukanlah
olah bakti malam hari,
junjunglah sholat yang
diwajibkan pada saat-saat
tertentu.”
6. Ywa pegat adarus mulang /
ing kitan Kur’an amerdi / ing
janma pekir kasihan / Ki Bayi
nor raga ajrih / ing wulang
Amongragi.
“Daraskanlah (membaca)
ayat-ayat Al-Qur’an, rajinlah
dalam mengajarkan Kitab Suci.
Berilah sedekah kepada orang-
orang miskin. Ki Bayi
merendahkan diri ketika ia
menerima ajaran
Amongraga.”
7. Mongraga denya kasud /
sunad wabin nem
rekangatipun / tigang salam
sawus ing bakda anuli / tangat
kiparat tawajuh / kalih salam
bakda manggon.
“Guna mencapai keadaan
ekstasis Amongraga melakukan
sholat sunat wabin dengan
enam rekaat dan tiga salam
(pujian), sesudah itu olah
kifarat tawajuh (pemulihan dan
terarah kepada Tuhan) dengan
dua salam, sesudah itu duduk
tidak bergerak.”
8. Amapanaken junun / pasang
wirid isbandiahipun / satariah
jalalah barjah amupid /
pratingkahe timpuh wiung /
tyas napas kenceng tan dompo.
“Sambil mempersiapkan diri
untuk manunggal dengan
Tuhan, ia melakukan wirid
menurut (tarekat) Isbandiah,
Satariah, Jalalah, dan Barjah,
terserap olehnya, ia duduk
bersimpuh (kakinya terlekuk ke
belakang), hati sanubari dan
pernapasan dalam
keselarasan.”
9. Nulya cul dikiripun / lapal la
wujuda ilalahu / kang pinusti
dat wajibulwujudi / winih napi
isbatipun / pinatut tyas wusa
anggatok.
“Kemudian ia mengawali
dikirnya dengan kata-kata, la
wujuda ilalahu (tak ada sesuatu
selain Allah), Dat yang niscaya
ada, itulah yang menjadi pusat
perhatiaannya, dasar
penyangkalan dan pengakuan
dan dengan itulah hatinya
diselaraskan.
10. Angguyer kepala nut / ubed
ing napi lan isbatipun / derah
ing lam kang akir wit
puserneki / tinarik ngeri
minduwur / lapal ilaha
angengo.
“Kepalanya mulai bergerak
memutar, silih berganti
menyangkal dan mengakui,
pada lingkaran lam terakhir
kepalanya bergerak dari pusat
ke kiri ke atas. Pada ucapan
ilalah kepalanya bergerak.”
11. Nganan pundak kang
luhut / angleresi lapal ila
mengguh / penjajahe kang
driya mring napi gaib / ilalah
isbat gaibu / ing susu kiwa
kang ngisor.
“Ke kanan ke atas ke arah
bahunya, pada saat ia berkata
ila inderanya memasuki
penyangkalan tersembunyi,
ilalah ialah pengakuan gaib di
sebelah kiri dadanya.”
12. Nakirahe wus brukut / lapal
la ilaha ilalahu / winot seket
kalimah senapas nenggih /
senapas malih motipun / ilalah
tri atus manggon.
“Demikianlah nakirah menjadi
paripurna, kata-kata la ilalahu
dirasakannya 50 kali dalam
suatu pernapasan, kemudian
300 kali ilalah pada pernapasan
berikut. Istirahat sebentar.”
13. Anulya lapal hu hu /
senapas ladang winotan sewu /
pemancade tyas lepas lantaran
dikir / kewala mung
wrananipun / muni wus tan ana
raos.
“Lalu hu, hu, 1000 kali dalam
satu pernapasan panjang,
demikianlah hatinya naik lepas
bebas tanpa rintangan, dengan
perantara dikir yang fungsinya
hanya sebagai sarana. Suara-
suara yang dikeluarkannya tak
ada arti lagi.”
14. Wus wenang sedayeku /
nadyan a a e e i i u u / sepadane
sadengah-dengan kang uni /
unine puniku suwung / sami
lawan orong-orong.
“Segalanya diperbolehkan,
entah itu aa, ee, ii atau uu atau
lain sebagainya, terserah apa
saja. Kemudian suara-suara itu
tiba-tiba lenyap seperti suara
seekor orong-orong (yang tiba-
tiba diam seketika).”
15. Ing sanalika ngriku / coplok
ing satu lan rimbagipun /
dewe-dewe badan budine tan
tunggil / nis mikrad suhul
panakul / badan lir gelodog.
“Pada saat yang sama bata-
bata dan bentuk terlepas,
artinya badan dan budi masing-
masing berdiri sendiri-sendiri,
ia lenyap dan mi’raj, terlebur
dalam Dat Ilahi, badannya
tertinggal bagaikan sebatang
glodog.”
16. Tinilar lagya kalbu / yekti
ning napi puniku suwung /
komplang nyenyed jaman ing
mutelak haib / wus tan ana
darat laut / padang peteng wus
kawios.
“Yang ditinggalkan oleh
lebah-lebah, kosong. Kalbunya
merupakan ketiadaan sejati,
kosong sepi. Tiada ada lagi
daratan maupun laut, terang
dan gelap tiada lagi.”
17. Pan amung ingkang
mojud / wahya jatmika jro ning
gaibu / pan ing kono suhule
dinera mupid / tan pae-pinae
jumbuh / nora siji nora roro.
“Yang ada hanya indah itulah
yang meliputi yang batiniah
dan lahiriah di alam gaib. Di
sanalah usaha Amongraga
untuk mencapai
kemanunggalan sampai pada
titik penghabisan. Tak ada lagi
perbedaan, hanya kesamaan
yang sempurna, mereka bukan
satu bukan dua lagi.”
18. Wus tarki tanajul / mudun
sing wahya jatmika ngriku /
aningali tan lawan netranireki /
Dat ing Hyang Kang Maha
Luhur / patang prekara ing
kono.
“Sesudah tarakki menyusullah
tanazzul, ia turun dari alam
lahir dan atin (wahya jatmika),
ia memandang lagi tetapi
bukan dengan matanya, Dat
Yang Maha Luhur, di sana
terdapat empat hal.”
19. Sipat jalal gaibu / jamal
kamal kahar gaibipun / wusna
mijil saking gaib denyaa
mupid / wiwit beda jinisipun /
Gusti lan kawula reko.
“Sifat jalal yang gaib,
keindahan, kesempurnaan dan
kekuasaan (jamal, kamal dan
kahar) yang gaib. Sesudah
keluar dari keadaan gaib
mulailah perbedaan dua jenis,
yaitu Gusti dan kawula.”
20. Dat ing gusti puniku / jalal
kamal jamal kahar nengguh /
sipat ing kawula pan akadiati /
wahdat wakidiatipun / alam
arwah adsam mengko.
“Adapun hahekat Gusti itu
ialah jalal, kamal, jamal adapun
sifat-sifat kawula itu ialah
ahadiyya, wahda, wahadiyya,
alam arwah, alam ajsam.”
21. Misal insan kamilu / beda
ning gusti lan kauleku / yekti
beda ingriku lawan ingriki /
kejaba kang wus linuhung /
pramateng kawroh kang wus
wroh.
“Alam misal dan insan kamil.
Perbedaan antara Gusti dan
kawula ialah perbedaan antara
dua jenis sifat-sifat itu, kecuali
bagi manusia yang istimewa
(linuhung) yang sudah
mengetahui ilmu sejati.”
22. Sawusira aluhut / lir antiga
tumiba ing watu / pan
kumeprah tyasira lagyat tan
sipi / tumitah ing jamanipun /
aral ing kula katonton.
“Sesudah ektasinya lewat, ia
menyerupai sebutir telur yang
jatuh di atas sebuah batu,
demikian rasa terkejut di dalam
hatinya ketika kembali dalam
keadaan makhluk dan melihat
kembali keterbatasannya selaku
seorang hamba (kawula).”
23. Luaran denya suhul /
angaringaken senapas
landung / mot saklimah La ilaha
ilalahi / mulya andodonga
sukur.
“Sesudah kemanunggalannya
dengan Tuhan larut, ia bernafas
panjang sambil mengucapkan
satu kali syahadat, la ilaha
ilalah, kemudian memanjatkan
doa syukur.”
24. Yen wus munggah
budimulya / Sang Hyang
Mahamulya lan mulya ning
budi / abeda nora neda / pan
wus jumbuh sembah lawan
puji / puji amuji ing dawakira /
iya dewe nora dewe / tanpa
dewe pupus.
“Bila budi sudah naik ke
tempat yang mulia, maka
dalam keadaan mulia itu Yang
Mahamulia dan budi berbeda
dan tidak berbeda. Sembah dan
pujian menjadi serupa. Pujian
merupakan pujian terhadap
dirinya. Manusia sendiri yang
mengalami itu, tetapi juga
bukan diri sendiri. Tiada lagi
dirinya, hanya itulah yang dapat
dikatakan. ”
25. Bakda dikir anuli / adonga
sukur Hyang Agung / sawusira
dodonga / asujud sumungkem
siti / takrub asru tepekurira
nelangsa.
“Sesudah dikir ia
memanjatkan doa syukur
kepada Yang Agung, sesudah
itu ia bersujud, merebahkan diri
ke tanah, dan mendekati Tuhan
dengan merasakan
kerendahannya.”
26. Rumasa kinarya titah / beda
ning kawula gusti / lir lebu
kelawan mega / bantala lawan
wiati.
“Ia menyadari bahwa dia
hanya buah ciptaan dan bahwa
antara kawula dan Gusti ada
perbedaan, seperti antara debu
(di tanah) dan awan, atau
seperti antara bumi dan ruang
angkasa.”
Dari beberapa pupuh yang ada
dalam Serat Centhini ini, dapat
memberikan suatu gambaran
bahwa Tuhan dan manusia
tidak sama, karena manusia
adalah ciptaan Tuhan. Namun
manusia bisa mencontoh sifat-
sifat Tuhan dan mengingatnya
dengan memperbanyak dikir
sehingga dapat mengalami
kondisi ekstasis, yakni
kemanunggalan dengan Dzat
Mutlak Tuhan.
Akhir Ramadhan, Sidoarjo, 4
September 2010.
Alang-alang kumitir.
Ditulis oleh Mas Kumitir
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment