Sunday, September 5, 2010
Cikal bakal siliwangi
Sri Baduga Maharaja (Ratu
Jayadewata) mengawali
pemerintahan zaman Pajajaran,
yang memerintah selama 39
tahun ( 1482-1521). Pada masa
inilah Pakuan mencapai puncak
perkembangannya.
Dalam prasasti Batutulis
diberitakan bahwa Sri Baduga
dinobatkan dua kali, yaitu yang
pertama ketika Jayadewata
menerima tahta Kerajaan Galuh
dari ayahnya (Prabu Dewa
Niskala) yang kemudian bergelar
Prabu Guru Dewapranata. Yang
kedua ketika ia menerima tahta
Kerajaan Sunda dari mertuanya,
Susuktunggal. Dengan peristiwa
ini, ia menjadi penguasa Sunda-
Galuh dan dinobatkan dengar
gelar Sri Baduga Maharaja Ratu
Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang
Ratu Dewata. Jadi sekali lagi dan
untuk terakhir kalinya, setelah
"sepi" selama 149 tahun, Jawa
Barat kembali menyaksikan
iring-iringan rombongan raja
yang berpindah tempat dari
timur ke barat. Untuk
menuliskan situasi kepindahan
keluarga kerajaan dapat dilihat
pada Pindahnya Ratu Pajajaran
Prabu Siliwangi
Di Jawa Barat Sri Baduga ini
lebih dikenal dengan nama
Prabu Siliwangi. Nama Siliwangi
sudah tercatat dalam Kropak
630 sebagai lakon pantun.
Naskah itu ditulis tahun 1518
ketika Sri Baduga masih hidup.
Lakon Prabu Siliwangi dalam
berbagai versinya berintikan
kisah tokoh ini menjadi raja di
Pakuan. Peristiwa itu dari segi
sejarah berarti saat Sri Baduga
mempunyai kekuasaan yang
sama besarnya dengan Wastu
Kancana (kakeknya) alias Prabu
Wangi (menurut pandangan
para pujangga Sunda).
Menurut tradisi lama. orang
segan atau tidak boleh
menyebut gelar raja yang
sesungguhnya, maka juru
pantun mempopulerkan
sebutan Siliwangi. Dengan nama
itulah ia dikenal dalam literatur
Sunda. Wangsakerta pun
mengungkapkan bahwa
Siliwangi bukan nama pribadi, ia
menulis:
"Kawalya ta wwang Sunda
lawan ika wwang Carbon
mwang sakweh ira wwang
Jawa Kulwan anyebuta Prabhu
Siliwangi raja Pajajaran.
Dadyeka dudu ngaran
swaraga nira".
Indonesia: Hanya orang Sunda
dan orang Cirebon serta
semua orang Jawa Barat yang
menyebut Prabu Siliwangi raja
Pajajaran. Jadi nama itu bukan
nama pribadinya.
Biografi
Masa muda
Waktu mudanya Sri Baduga
terkenal sebagai kesatria
pemberani dan tangkas bahkan
satu-satunya yang pernah
mengalahkan Ratu Japura
(Amuk Murugul) waktu bersaing
memperbutkan Subanglarang
(istri kedua Prabu Siliwangi
yang beragama Islam). Dalam
berbagai hal, orang sezamannya
teringat kepada kebesaran
mendiang buyutnya (Prabu
Maharaja Lingga Buana) yang
gugur di Bubat yang digelari
Prabu Wangi.
Tentang hal itu, Pustaka
Rajyarajya i Bhumi Nusantara
II/2 mengungkapkan bahwa
orang Sunda menganggap Sri
Baduga sebagai pengganti
Prabu Wangi, sebagai silih yang
telah hilang. Naskahnya berisi
sebagai berikut (artinya saja):
"Di medan perang Bubat ia
banyak membinasakan
musuhnya karena Prabu
Maharaja sangat menguasai
ilmu senjata dan mahir
berperang, tidak mau
negaranya diperintah dan
dijajah orang lain.
Ia berani menghadapi pasukan
besar Majapahit yang dipimpin
oleh sang Patih Gajah Mada
yang jumlahnya tidak
terhitung. Oleh karena itu, ia
bersama semua pengiringnya
gugur tidak tersisa.
Ia senantiasa mengharapkan
kemakmuran dan
kesejahteraan hidup rakyatnya
di seluruh bumi Jawa Barat.
Kemashurannya sampai
kepada beberapa negara di
pulau-pulau Dwipantara atau
Nusantara namanya yang lain.
Kemashuran Sang Prabu
Maharaja membangkitkan
(rasa bangga kepada)
keluarga, menteri-menteri
kerajaan, angkatan perang
dan rakyat Jawa Barat. Oleh
karena itu nama Prabu
Maharaja mewangi.
Selanjutnya ia di sebut Prabu
Wangi. Dan keturunannya lalu
disebut dengan nama Prabu
Siliwangi. Demikianlah
menurut penuturan orang
Sunda".
Perang Bubat
Kesenjangan antara pendapat
orang Sunda dengan kenyataan
sejarah seperti yang
diungkapkan di atas mudah
dijajagi. Pangeran Wangsakerta,
penanggung jawab penyusunan
Sejarah Nusantara, menganggap
bahwa tokoh Prabu Wangi
adalah Maharaja Linggabuana
yang gugur di Bubat, sedangkan
penggantinya ("silih"nya) bukan
Sri Baduga melainkan Wastu
Kancana (kakek Sri Baduga, yang
menurut naskah Wastu Kancana
disebut juga Prabu Wangisutah).
Nah, orang Sunda tidak
memperhatikan perbedaan ini
sehingga menganggap Prabu
Siliwangi sebagai putera Wastu
Kancana (Prabu Anggalarang).
Tetapi dalam Carita
Parahiyangan disebutkan bahwa
Niskala Wastu Kancana itu
adalah "seuweu" Prabu Wangi.
Mengapa Dewa Niskala (ayah Sri
Baduga) dilewat? Ini disebabkan
Dewa Niskala hanya menjadi
penguasa Galuh. Dalam
hubungan ini tokoh Sri Baduga
memang penerus "langsung"
dari Wastu Kancana. Menurut
Pustaka Rajyarajya I Bhumi
Nusantara II/4, ayah dan mertua
Sri Baduga (Dewa Niskala dan
Susuktunggal) hanya bergelar
Prabu, sedangkan Jayadewata
bergelar Maharaja (sama seperti
kakeknya Wastu Kancana
sebagai penguasa Sunda-Galuh).
Dengan demikian, seperti
diutarakan Amir Sutaarga
(1965), Sri Baduga itu dianggap
sebagai "silih" (pengganti)
Prabu Wangi Wastu Kancana
(oleh Pangeran Wangsakerta
disebut Prabu Wangisutah).
"Silih" dalam pengertian
kekuasaan ini oleh para
pujangga babad yang kemudian
ditanggapi sebagai pergantian
generasi langsung dari ayah
kepada anak sehingga Prabu
Siliwangi dianggap putera
Wastu Kancana.
Kebijakan dalam kehidupan
sosial
Tindakan pertama yang diambil
oleh Sri Baduga setelah resmi
dinobatkan jadi raja adalah
menunaikan amanat dari
kakeknya (Wastu Kancana) yang
disampaikan melalui ayahnya
(Ningrat Kancana) ketika ia
masih menjadi mangkubumi di
Kawali. Isi pesan ini bisa
ditemukan pada salah satu
prasasti peninggalan Sri Baduga
di Kebantenan. Isinya sebagai
berikut (artinya saja):
Semoga selamat. Ini tanda
peringatan bagi Rahyang
Niskala Wastu Kancana. Turun
kepada Rahyang Ningrat
Kancana, maka selanjutnya
kepada Susuhunan sekarang
di Pakuan Pajajaran. Harus
menitipkan ibukota di Jayagiri
dan ibukota di Sunda
Sembawa.
Semoga ada yang
mengurusnya. Jangan
memberatkannya dengan
"dasa", "calagra", "kapas
timbang", dan "pare
dongdang".
Maka diperintahkan kepada para
petugas muara agar jangan
memungut bea. Karena
merekalah yang selalu berbakti
dan membaktikan diri kepada
ajaran-ajaran. Merekalah yang
tegas mengamalkan peraturan
dewa.
Dengan tegas di sini disebut
"dayeuhan" (ibukota) di Jayagiri
dan Sunda Sembawa. Penduduk
kedua dayeuh ini dibebaskan
dari 4 macam pajak, yaitu
"dasa" (pajak tenaga
perorangan), "calagra" (pajak
tenaga kolektif), "kapas
timbang" (kapas 10 pikul) dan
"pare dondang" (padi 1
gotongan). Dalam kropak 630,
urutan pajak tersebut adalah
dasa, calagra, "upeti",
"panggeureus reuma".
Dalam koropak 406 disebutkan
bahwa dari daerah Kandang
Wesi (sekarang Bungbulang,
Garut) harus membawa "kapas
sapuluh carangka" (10 carangka
= 10 pikul = 1 timbang atau
menurut Coolsma, 1 caeng
timbang) sebagai upeti ke
Pakuan tiap tahun. Kapas
termasuk upeti. Jadi tidak
dikenakan kepada rakyat secara
perorangan, melainkan kepada
penguasa setempat.
"Pare dondang" disebut
"panggeres reuma". Panggeres
adalah hasil lebih atau hasil
cuma-cuma tanpa usaha. Reuma
adalah bekas ladang. Jadi, padi
yang tumbuh terlambat
(turiang) di bekas ladang
setelah dipanen dan kemudian
ditinggalkan karena petani
membuka ladang baru, menjadi
hak raja atau penguasa
setempat (tohaan). Dongdang
adalah alat pikul seperti "tempat
tidur" persegi empat yang diberi
tali atau tangkai berlubang
untuk memasukan pikulan.
Dondang harus selalu digotong.
Karena bertali atau bertangkai,
waktu digotong selalu berayun
sehingga disebut
"dondang" (berayun). Dondang
pun khusus dipakai untuk
membawa barang antaran pada
selamatan atau arak-arakan.
Oleh karena itu, "pare
dongdang" atau "penggeres
reuma" ini lebih bersifat barang
antaran.
Pajak yang benar-benar
hanyalah pajak tenaga dalam
bentuk "dasa" dan "calagra" (Di
Majapahit disebut "walaghara =
pasukan kerja bakti). Tugas-
tugas yang harus dilaksanakan
untuk kepentingan raja
diantaranya : menangkap ikan,
berburu, memelihara saluran air
(ngikis), bekerja di ladang atau
di "serang ageung" (ladang
kerajaan yang hasil padinya di
peruntukkan bagi upacara
resmi).
Dalam kropak 630 disebutkan
"wwang tani bakti di
wado" (petani tunduk kepada
wado). Wado atau wadwa ialah
prajurit kerajaan yang
memimpin calagara. Sistem
dasa dan calagara ini terus
berlanjut setelah zaman
kerajaan. Belanda yang di
negaranya tidak mengenal
sistem semacam ini
memanfaatkanna untuk "rodi".
Bentuk dasa diubah menjadi
"Heerendiensten" (bekerja di
tanah milik penguasa atau
pembesar). Calagara diubah
menjadi
"Algemeenediensten" (dinas
umum) atau
"Campongdiesnten" (dinas
Kampung) yang menyangkut
kepentingan umum, seperti
pemeliharaan saluran air, jalan,
rumah jada dan keamanan. Jenis
pertama dilakukan tanpa
imbalan apa-apa, sedangkan
jenis kedua dilakuan dengan
imbalan dan makan.
"Preangerstelsel" dan
"Cultuurstelsel" yang keduanya
berupa sistem tanam paksa
memanfaatkan tradisi pajak
tenaga ini.
Dalam akhir abad ke-19
bentuknya berubah menjadi
"lakon gawe" dan berlaku untuk
tingkat desa. Karena bersifat
pajak, ada sangsi untuk mereka
yang melalaikannya. Dari sinilah
orang Sunda mempunyai
peribahasa "puraga tamba
kadengda" (bekerja sekedar
untuk menghindari hukuman
atau dendaan). Bentuk dasa
pada dasarnya tetap
berlangsung. Di desa ada
kewajiban "gebagan" yaitu
bekerja di sawah bengkok dan ti
tingkat kabupaten bekerja untuk
menggarap tanah para
pembesar setempat.
Jadi "gotong royong tradisional
berupa bekerja untuk
kepentingan umum atas
perintah kepala desa", menurut
sejarahnya bukanlah gotong
royong. Memang tradisional,
tetapi ide dasarnya adalah pajak
dalam bentuk tenaga. Dalam
Pustaka Jawadwipa disebut
karyabhakti dan sudah dikenal
pada masa Tarumanagara dalam
abad ke-5.
Piagam-piagam Sri Baduga
lainnya berupa "piteket" karena
langsung merupakan
perintahnya. Isinya tidak hanya
pembebasan pajak tetapi juga
penetapan batas-batas
"kabuyutan" di Sunda Sembawa
dan Gunung Samaya yang
dinyatakan sebagai "lurah
kwikuan" yang disebut juga
desa perdikan, desa bebas pajak.
Peristiwa-peristiwa di masa
pemerintahannya
Beberapa peristiwa menurut
sumber-sumber sejarah:
Carita Parahiyangan
Dalam sumber sejarah ini,
pemerintahan Sri Baduga
dilukiskan demikian :
"Purbatisi purbajati, mana mo
kadatangan ku musuh ganal
musuh alit. Suka kreta tang lor
kidul kulon wetan kena kreta
rasa. Tan kreta ja lakibi dina
urang reya, ja loba di
sanghiyang siksa".
(Ajaran dari leluhur dijunjung
tinggi sehingga tidak akan
kedatangan musuh, baik
berupa laskar maupun
penyakit batin. Senang
sejahtera di utara, barat dan
timur. Yang tidak merasa
sejahtera hanyalah rumah
tangga orang banyak yang
serakah akan ajaran agama).
Dari Naskah ini dapat diketahui,
bahwa pada saat itu telah
banyak Rakyat Pajajaran yang
beralih agama (Islam) dengan
meninggalkan agama lama.
Pustaka Nagara Kretabhumi
parwa I sarga 2.
Naskah ini menceritakan, bahwa
pada tanggal 12 bagian terang
bulan Caitra tahun 1404 Saka,
Syarif Hidayat menghentikan
pengiriman upeti yang
seharusnya di bawa setiap
tahun ke Pakuan Pajajaran.
[Syarif Hidayat masih cucu Sri
Baduga dari Lara Santang. Ia
dijadikan raja oleh uanya
(Pangeran Cakrabuana) dan
menjadi raja merdeka di
Pajajaran di Bumi Sunda (Jawa
Barat)]
Ketika itu Sri Baduga baru saja
menempati istana Sang Bhima
(sebelumnya di Surawisesa).
Kemudian diberitakan, bahwa
pasukan Angkatan Laut Demak
yang kuat berada di Pelabuhan
Cirebon untuk menjada
kemungkinan datangnya
serangan Pajajaran.
Tumenggung Jagabaya beserta
60 anggota pasukannya yang
dikirimkan dari Pakuan ke
Cirebon, tidak mengetahui
kehadiran pasukan Demak di
sana. Jagabaya tak berdaya
menghadapi pasukan gabungan
Cirebon-Demak yang jumlahnya
sangat besar. Setelah berunding,
akhirnya Jagabaya menghamba
dan masuk Islam.
Peristiwa itu membangkitkan
kemarahan Sri Baduga. Pasukan
besar segera disiapkan untuk
menyerang Cirebon. Akan tetapi
pengiriman pasukan itu dapat
dicegah oleh Purohita (pendeta
tertinggi) keraton Ki Purwa
Galih. [Cirebon adalah daerah
warisan Cakrabuana
(Walangsungsang) dari
mertuanya (Ki Danusela) dan
daerah sekitarnya diwarisi dari
kakeknya Ki Gedeng Tapa (Ayah
Subanglarang).
Cakrabuana sendiri dinobatkan
oleh Sri Baduga (sebelum
menjadi Susuhunan) sebagai
penguasa Cirebon dengan gelar
Sri Mangana. Karena Syarif
Hidayat dinobatkan oleh
Cakrabuana dan juga masih cucu
Sri Baduga, maka alasan
pembatalan penyerangan itu
bisa diterima oleh penguasa
Pajajaran].
Demikianlah situasi yang
dihadapi Sri Baduga pada awal
masa pemerintahannya. Dapat
dimaklumi kenapa ia
mencurahkan perhatian kepada
pembinaan agama, pembuatan
parit pertahanan, memperkuat
angkatan perang, membuat
jalan dan menyusun PAGELARAN
(formasi tempur). [Pajajaran
adalah negara yang kuat di
darat, tetapi lemah di laut.
Menurut sumber Portugis, di
seluruh kerajaan, Pajajaran
memiliki kira-kira 100.000
prajurit. Raja sendiri memiliki
pasukan gajah sebanyak 40
ekor. Di laut, Pajajaran hanya
memiliki enam buah Kapal Jung
150 ton dan beberaa lankaras
(?) untuk kepentingan
perdagangan antar-pulaunya
(saat itu perdagangan kuda jenis
Pariaman mencapai 4000 ekor/
tahun)].
Keadaan makin tegang ketika
hubungan Demak-Cirebon
makin dikukuhkan dengan
perkawinan putera-puteri dari
kedua belah pihak. Ada empat
pasangan yang dijodohkan,
yaitu :
1. Pangeran Hasanudin
dengan Ratu Ayu Kirana
(Purnamasidi).
2. Ratu Ayu dengan Pangeran
Sabrang Lor.
3. Pangeran Jayakelana
dengan Ratu Pembayun.
4. Pangeran Bratakelana
dengan Ratu Ayu Wulan
(Ratu Nyawa).
Perkawinan Pangeran Sabrang
Lor alias Yunus Abdul Kadir
dengan Ratu Ayu terjadi 1511.
Sebagai Senapati Sarjawala,
panglima angkatan laut,
Kerajaan Demak, Sabrang Lor
untuk sementara berada di
Cirebon.
Persekutuan Cirebon-Demak
inilah yang sangat
mencemaskan Sri Baduga di
Pakuan. Tahun 1512, ia
mengutus putera mahkota
Surawisesa menghubungi
Panglima Portugis Alfonso
d'Albuquerque di Malaka (ketika
itu baru saja gagal merebut
Pelabuhan Pasai atau Samudra
Pasai). Sebaliknya upaya
Pajajaran ini telah pula
meresahkan pihak Demak.
Pangeran Cakrabuana dan
Susuhunan Jati (Syarif Hidayat)
tetap menghormati Sri Baduga
karena masing-masing sebagai
ayah dan kakek. Oleh karena itu
permusuhan antara Pajajaran
dengan Cirebon tidak
berkembang ke arah
ketegangan yang melumpuhkan
sektor-sektor pemerintahan. Sri
Baduga hanya tidak senang
hubungan Cirebon-Demak yang
terlalu akrab, bukan terhadap
Kerajaan Cirebon. Terhadap
Islam, ia sendiri tidak
membencinya karena salah
seorang permaisurinya,
Subanglarang, adalah seorang
muslimah dan ketiga anaknya --
Walangsungsang alias
Cakrabuana, Lara Santang, dan
Raja Sangara -- diizinkan sejak
kecil mengikuti agama ibunya
(Islam).
Karena permusuhan tidak
berlanjut ke arah pertumpahan
darah, maka masing masing
pihak dapat mengembangkan
keadaan dalam negerinya.
Demikianlah pemerintahan Sri
Baduga dilukiskan sebagai
zaman kesejahteraan (Carita
Parahiyangan). Tome Pires ikut
mencatat kemajuan zaman Sri
Baduga dengan komentar "The
Kingdom of Sunda is justly
governed; they are true
men" (Kerajaan Sunda
diperintah dengan adil; mereka
adalah orang-orang jujur).
Juga diberitakan kegiatan
perdagangan Sunda dengan
Malaka sampai ke kepulauan
Maladewa (Maladiven). Jumlah
merica bisa mencapai 1000
bahar (1 bahar = 3 pikul)
setahun, bahkan hasil tammarin
(asem) dikatakannya cukup
untuk mengisi muatan 1000
kapal.
Naskah Kitab Waruga Jagat dari
Sumedang dan Pancakaki
Masalah karuhun Kabeh dari
Ciamis yang ditulis dalam abad
ke-18 dalam bahasa Jawa dan
huruf Arab-pegon masih
menyebut masa pemerintahan
Sri Baduga ini dengan masa
gemuh Pakuan (kemakmuran
Pakuan) sehingga tak
mengherankan bila hanya Sri
Baduga yang kemudian
diabadikan kebesarannya oleh
raja penggantinya dalam zaman
Pajajaran.
Sri Baduga Maharaja alias Prabu
Siliwangi yang dalam Prasasti
Tembaga Kebantenan disebut
Susuhuna di Pakuan Pajajaran,
memerintah selama 39 tahun
(1482 - 1521). Ia disebut secara
anumerta Sang Lumahing (Sang
Mokteng) Rancamaya karena ia
dipusarakan di Rancamaya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment