Misteri Suara Azan Di Luar
Angkasa. Barat telah mencapai
kemajuan dalam ilmu luar
angkasa. Tapi, sesungguhnya
dari tangan ilmuwan Muslim
misteri angkasa luar itu pertama
kali berhasil disibak.
Islam mencapai puncak
kejayaannya pada era
pemerintahan Daulah
Abbasiyah, terutama pada
bidang ilmu pengetahuan.
Nyaris tak ada sejengkal pun
dari bilik-bilik ilmu ini yang tidak
tersentuh oleh umat Islam.
Termasuk ilmu tentang dunia
luar angkasa. Nashiruddin ath-
Thusi dan al-Biruni adalah
sebagian dari sosok yang cukup
dikenal kepakarannya dalam
bidang ini.
Jadi sebelum ilmuwan Barat
bergelut di dalamnya, para
ilmuwan Islam telah lebih dulu
mendalami dan mengakrabi
dunia angkasa luar. Meski tak
semaju dengan capaian ilmuwan
Barat, tapi dari hasil kajian
ilmuwan Muslimlah pintu-pintu
menuju kemajuan terbuka satu
demi satu.
Bintang, bulan, dan matahari
adalah obyek penelitian yang
paling menarik perhatian para
ilmuwan Muslim kala itu.
Pasalnya, Al-Quran
mengabarkan bahwa ketiga
ciptaan Allah ini mempunyai
fungsi yang luar biasa. Bintang
misalnya, Allah menciptakannya
sebagai petunjuk dalam
menentukan arah.
Inilah yang coba diteliti oleh
ilmuwan Muslim ketika itu. Dari
hasil kajian dunia luar angkasa,
beragam kemudahan bisa
dinikmati umat Islam saat itu.
Satu persatu hikmah dan
manfaat di balik penciptaan
bintang berhasil terkuak. Yang
paling sangat bermanfaat
adalah cara dalam menjadikan
bintang sebagai penunjuk arah.
Jelas saja hasil itu berpengaruh
besar dalam kehidupan umat
Islam saat itu. Sektor
perekonomian termasuk yang
paling merasakan berkahnya.
Perjalanan bisnis para saudagar
Arab yang kerap tersendat oleh
pekatnya malam, kini sudah
mulai teratasi. Dengan adanya
penunjuk arah, hamparan
padang pasir yang
berselimutkan gelapnya malam
bukan lagi 'penyesat' yang perlu
ditakuti. Begitu juga para
nelayan yang mencari ikan di
hamparan laut luas.
Kita juga mengakui bahwa
sebagian dari ilmu perbintangan
ini dikecam oleh para ulama.
Namun, jika kita perhatikan
buku akidah, maka yang
diharamkan adalah ilmu
perbintangan yang digunakan
untuk meramal perkara-perkara
yang belum terjadi, seperti
meramal nasib atau kejadian
tertentu yang sifatnya ghaib
bagi manusia. Lain halnya jika ia
digunakan untuk kepentingan
menentukan arah. Dalam fungsi
ini hukumnya mubah-mubah
saja. Al-Quran sendiri
melegalkannya. Bahkan, hukum
itu bisa berubah menjadi
mustahab atau wajib jika
digunakan untuk menentukan
arah kiblat.
Bukti Sejarah
Di perpustakaan Eropa, kita bisa
menemukan bukti bahwa
sumbangsih ilmuwan Muslim
dalam ilmu luar angkasa bukan
omong kosong. Khususnya yang
berkaitan dengan penamaan
bintang. Seorang penulis Barat
bernama Paul Kunitzsch
menemukannya dalam buku
Almagest karya Ptolomeus
tentang penamaan bintang
"Fomalhault" . Nama itu berasal
dari bahasa Arab, "famul haut"
yang berarti mulut ikan hiu.
Muslim Heritage Foundation
bahkan mencatat ratusan nama
bintang yang berasal dari
Bahasa Arab.
Tapi begitulah siklus kehidupan
yang diinginkan pencipta-Nya.
Allah akan mempergilirkan
kejayaan itu berdasarkan usaha
dan kerja keras setiap kaum.
Itulah yang terjadi pada rezim
Abbasiyah. Pemerintahan yang
semakin melemah memaksa
perkembangan ilmu
pengetahuan kembali masuk ke
jalur lambat. Apa yang telah
dirintis oleh para ilmuwan kita
seolah kehilangan induknya
karena tak lagi mendapat
nafkah perhatian yang
memadai. Salah satu yang
mengalami nasib malang itu
adalah ilmu angkasa luar.
Lahir kembali
Berabad abad terlelap tidur,
akhirnya kejayaan Islam di luar
angkasa yang nyaris terkubur
itu seolah lahir kembali. Sultan
Salman Abdul Aziz adalah aktor
utamanya. Pria berkebangsaan
Arab Saudi ini tak lagi
mengamati ciptaan Allah di luar
angkasa dari bumi. Ia
melihatnya dalam radius yang
lebih dekat.
Pada tahun 1985, ia berangkat
ke luar angkasa sebagai peneliti
mewakili organisasi satelit Arab.
Keberangkatannya tentu saja
mengangkat prestise umat
Islam di dunia internasional.
Pasalnya, pria yang tak lain cucu
pendiri Kerajaan Arab Saudi ini
menjadi orang Islam pertama
yang berhasil menembus luar
angkasa.
Ia melayang di dunia yang
sangat asing ini selama delapan
hari. Sepulang dari luar angkasa
Sultan bukannya istirahat. Pria
kelahiran Riyadh, 27 Juni 1956
ini bersama beberapa orang
temannya, langsung mendirikan
Association of Space Explorers.
Lembaga bertaraf internasional
ini mewadahi para astronot
yang pernah mengangkasa.
Sultan menjadi orang penting di
dalamnya.
Keinginan mengembalikan
kejayaan Islam di luar angkasa
juga ikut menjalar sampai ke
negeri jiran. Pemerintah
Malaysia selalu menunggu
waktu yang tepat untuk
mengirim putra terbaiknya ke
luar angkasa. Dan saat yang
dinanti pun tiba. Pada tahun
2005, pemerintah Malaysia
memutuskan untuk membuat
program mengirim angkasawan
ke Rusia. Mereka belajar di sana
sebelum terbang.
Rencana besar ini tidak
dilakukannya dengan sembrono.
Pendaftaran memang terbuka,
tapi seleksinya diperketat.
Jumlah pendaftar mencapai
11.000 orang. Mereka mengikuti
sembilan tahap seleksi, sampai
akhirnya hanya terpilih sepuluh
di antara mereka yang layak
pergi ke Rusia untuk
memperdalam ilmu angkasa di
sana. Dari sepuluh orang yang
dikirim, Rusia memutuskan
untuk memilih satu saja di
antara mereka yang layak pergi
menjalankan misi di luar
angkasa.
Keberuntungan itu jatuh pada
Dr Sheikh Muszafhar Shukor.
Pria yang sehari-harinya bekerja
di sebuah rumah sakit di
Malaysia, berhasil menyisihkan
ribuan pesaingnya. Ia akhirnya
meluncur ke angkasa pada
tanggal 10 Oktober 2007 lalu.
Sesuai dengan keahliannya
sebagai dokter bedah ortopedik,
di luar angkasa ia menjalani
eksperimen yang terkait dengan
bedah tulang.
Shalat di Luar Angkasa
Penelitian bukanlah satu-
satunya misi Sheikh Muszafhar
di luar angkasa. Ia juga
membawa misi relijius yang
sangat penting. Ia ingin
melaksanakan shalat di luar
angkasa, sekaligus
mengabarkan kepada dunia
bahwa shalat adalah ibadah
yang sangat agung. Ibadah yang
tidak boleh ditinggalkan kapan
dan di mana saja, termasuk
ketika berada di luar angkasa.
Bersama tiga astronot lainnya,
ia mengangkasa selama 12 hari.
Waktu itu umat Islam di bumi
sedang menjalankan ibadah
puasa. Sebagai orang Islam,
Sheikh tetap menjalankan
ibadah itu meski berada ribuan
mil dari bumi. Dan ia mengaku,
berpuasa di langit jauh lebih
nyaman dan khusyuk. Selain
karena tidak merasa haus, lapar,
atau lelah, ia juga bisa melihat
beragam tanda-tanda
kekuasaan Allah.
Di angkasa, Sheikh menjalankan
sejumlah eksperimen yang
diamanahkan kepadanya. Di atas
sana, ia menjalankan fungsinya
sebagai dokter dengan
penelitian-penelitian biologis
dan kimiawinya. Menurut
Sheikh, 12 hari ternyata tidak
cukup panjang untuk
menjalankan semua
eksperimennya.
Sheikh tidak bisa
menyembunyikan rasa puas dari
perjalanannya ini. Bukan saja
karena ia berhasil melakukan
penelitian, sebagaimana yang ia
rencanakan. Di luar angkasa ia
bisa menjumpai banyak sekali
tanda kekuasaan Allah. Yang tak
mungkin terlupakan, ketika ia
mendengar suara adzan di sana.
"Saya seperti menemukan
kedamaian yang berbeda.
Percaya atau tidak, di hari
terakhir sewaktu kami hendak
turun ke bumi, saya mendengar
suara adzan," kisahnya. Rasa
syukur dan senang Sheikh
semakin berlipat karena ia
merasa keberangkatannya tak
sekedar mewakili negaranya,
tapi juga dunia Islam.
[ hidayatullah.com ]
No comments:
Post a Comment