Tuesday, August 31, 2010
Amanat ti Galunggung
Amanat Galunggung (Kropak
632); Ajaran Darmasiksa kepada
Rahiyang Sanjaya
Tim Wacana Nusantara
8 April 2010
Sebagai koleksi Perpustakaan
Nasional Jakarta, naskah ini
dikenal sebagai Kropak 632.
Naskah yang dulu koleksi
Masyarakat Batavia ini memuat
ketatanegaraan Sunda zaman
dahulu. Judul Amanat
Galunggung diberikan oleh Saleh
Danasasmita dkk (1987).
Padahal kata amanat tak ditulis
dalam teks (amanat merupakan
kata Arab). Sebelumnya para
ahli menyebutnya Naskah
Kabuyutan Ciburuy di
Bayongbong, Garut, Jawa Barat.
Galunggung sendiri merupakan
gunung berapi di wilayah Garut.
Naskah Kabuyutan Ciburuy atau
Amanat Galunggung
Naskah ini diperkirakan disusun
pada abad ke-15, ditulis pada
daun lontar dan nipah,
menggunakan bahasa Sunda
kuno dan aksara Sunda. Sayang,
naskah ini tak bertarikh dan juga
tak lengkap. Yang tersedia
hanya enam helai daun. Dilihat
dari penulisan kata-katanya,
dapat ditafsir bahwa naskah ini
lebih tua dari Sanghyang
Siksakanda ng Karesian (1518
M) dan Carita Parahyangan
(1580 M) yang ditulis pada abad
ke-16. Dalam Amanat
Galungggung ejaannya ditulis:
kwalwat, gwareng, anwam, dan
hamwa; yang di dalam Carita
Parahyangan dieja: kolot,
goreng, anom, dan hamo.
Naskah ini menarik perhatian
Holle, Brandes, Pleyte, dan
Poerbatjaraka. Pleyte menyebut
naskah ini sebagai “pseudo-
Padjadjaransche Kroniek”.
Kemudian para sarjana
Indonesia mengatakan bahwa
data sejarah yang terkandung
dalam bagian awal naskah
sesungguhnya hanya
merupakan pengantar ke arah
fungsi teks sesungguhnya, yakni
sebagai pelajaran keagamaan
yang disampaikan Rakryan atau
Rakeyan Darmasiksa. Pada 1981
tesk ini diterbitkan sebagai
stensilan oleh Atja dan
Danasasmita. Tahun 1987,
Danasasmita dkk
mempublikasikannya dalam
bentuk buku.
Karel Frederik Holle, seorang
pemerhati sastra dan budaya
Sunda asal Belanda, yang juga
tertarik akan Naskah Kabuyutan
Ciburuy.
Teksnya berisi tentang usaha
Darmasiska dan orang-orang
yang “membuka” wilayah
Galungggung (nya nyusuk na
Galungggung). Selebihnya teks
ini berisi nasihat perihal budi
pekerti yang disampaikan
Rakyan Darmasiksa, Raja
Kerajaan Sunda, yang duduk di
Galunggung, kepada putranya,
yakni Ragasuci atau Sang
Lumahing Taman. Karena itu,
sering pula naskah ini disebut
Amanat Prabuguru Darmasiksa.
Dari naskah ini diketahui peran
kabuyutan, bukan hanya sebagai
tempat pemujaan, melainkan
dijadikan sebagai salah satu cara
penopang integritas terhadap
negara, sehingga tempat itu
dilindungi dan disakralkan oleh
raja.
Prabuguru Darmasiksa
Dalam Carita Parahyangan
diceritakan, Darmasiksa (ada
juga yang menyebutnya Prabu
Sanghyang Wisnu) memerintah
selama 150 tahun. Ada pun
Naskah Wangsakerta menyebut
angka 122 tahun, yakni tahun
1097 – 1219 Saka (1175 – 1297
M). Darmasiksa naik tahta
setelah 16 tahun Prabu Jayabaya
(1135 – 1159 M), penguasa
Kediri-Jenggala tiada.
Darmasiksa memiliki
kesempatan menyaksikan
lahirnya Kerajaan Majapahit
(1293 M).
Menurut Pustaka Nusantara II/2,
Prabuguru Darmasiksa pernah
memberikan peupeujeuh
(nasihat) kepada cucunya, yakni
Wijaya, pendiri Majapahit,
sebagai berikut:
Haywa ta sira kedo
athawamerep ngalindih Bhumi
Sunda mapan wus kinaliliran
ring ki sanak ira dlaha yan ngku
wus angemasi. Hetunya
nagaramu wu agheng jaya
santosa wruh ngawang kottman
ri puyut kalisayan mwang
jayacatrumu, ngke pinaka
mahaprabhu. Ika hana ta
daksina sakeng Hyang Tunggal
mwang dumadi seratanya.
Ikang sayogyanya rajyaa Jawa
rajya Sunda parasparopasarpana
atuntunan tangan silih asih
pantara ning padulur. Yatanyan
tan pratibandeng nyakrawartti
rajya sowangsong. Yatanyan
siddha hitasukha. Yan rajya
Sunda duhkantara. Wilwatika
sakopayanya maweh caranya:
mangkana juga rajya Sunda ring
Wilwatika.
Inti dari nasihatnya adalah
menjelaskan tentang larangan
untuk tidak menyerang Sunda
karena mereka bersaudara. Jika
masing-masing memerintah
sesuai dengan haknya maka
akan mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang sempurna.
Perihal Prabu Darmasiksa
memberikan wejangan kepada
Sanjaya, Carita Parahyangan
(CP) pun membeberkan hal
tersebut. Dalam CP —yang
sebagian besar isinya
menceritakan kepahlawanan
Sanjaya, raja Sunda di Pakuan
dan Galuh di Jawa Barat dan
pendiri Mataram Kuno di Jawa
Tengah (sama dengan Pararaton
yang menceritakan sepak
terjang Ken Angrok) —
disebutkan bahwa Patih Galuh
menasihati agar Rahiyang
Sanjaya mematuhi Sanghyang
Darmasiksa.
Naskah ini memulai ceritanya
dari alur Kerajaan Saunggalah I
(Kuningan) yang diperkirakan
telah ada pada awal abad 8 M.
Secara politis, Saunggalah
merupakan alternatif untuk
menyelesaikan pembagian
kekuasaan antara keturunan
Wretikandayun, yaitu anak-anak
Mandi Minyak dengan anak-anak
Sempak Waja, Naskah ini
menjelaskan sisi dan
perkembangan keturunan
Wretikandayun di luar Galuh.
Dari naskah Pustaka Pararatwan
I Bhumi Jawadwipa, kita tahu
bahwa nama Raja Saunggalah I
bernama Resiguru Demunawan.
Kedudukan sebagai penguasa di
wilayah tersebut diberikan oleh
ayahnya, yakni Sempak Waja,
putra Wretikandayun pendiri
Galuh. Resiguru Demunawan
merupakan kakak kandung dari
kakak kandung Purbasora, yang
pernah menjadi raja di Galuh
pada 716-732.
Demunawan memiliki
keistimewaan dari saudara-
saudara lainnya, baik sekandung
maupun dari seluruh keturunan
Kendan. Sekali pun tidak pernah
menguasai Galuh secara fisik,
namun ia mampu memperoleh
gelar resi guru, sebuah gelar
yang tidak sembarangan bisa
didapat, sekali pun oleh raja-raja
terkenal, tanpa memilik sifat
ksatria minandita. Bahkan pasca
Tarumanagara, gelar ini hanya
diperoleh Resiguru Manikmaya,
pendiri Kendan, Resiguru
Darmasiksa, dan Resiguru
Niskala Wastu Kancana raja di
Kawali. Seorang raja bergelar
resiguru diyakini telah mampu
membuat sebuah ajaran
(pandangan hidup) yang
dijadikan acuan kehidupan
masyarakatnya.
Prabuguru Darmasiksa pertama
kali memerintah di Saunggalah I
(persisnya di desa Ciherang,
Kadugede, Kab. Kuningan),
kemudian memindahkan ke
Saunggalah 2, (Mangunreja,
Tasikmalaya), selanjutnya
menjadi raja Di Pakuan
Pajajaran. Menurut teks
Bujangga Manik (akhir abad ke-
15 atau awal abad ke-16), lokasi
lahan tersebut terletak di daerah
Tasik Selatan sebelah barat,
bahkan kerajaan ini mampu
mempertahankan kehadirannya
setelah Pajajaran dan Galuh
runtuh. Pada abad ke-18 nama
kerajaan tersebut masih ada,
namun setingkat kabupaten,
dengan nama Kabupaten
Galunggung, berpusat di
Singaparna. Mungkin sebab
inilah penduduk Kampung Naga
Salawu di Tasik enggan
menyebut Singaparna, tetap
menyebut Galunggung untuk
wilayah Singaparna.
Kemudian Darmasiksa diangkat
menjadi Raja Sunda di Pakuan),
sedangkan Saunggalah
diserahkan kepada putranya,
yakni Ragasuci alias Sang
Lumahing Taman.
“Kesadaran Sejarah”
Berbeda dengan Carita
Parahyangan yang jelas
menceritakan perjalanan
pemerintahan raja-raja kuno di
Jawa Barat, Amanat Galunggung
ini membeberkan ajaran moral
dan aturan sosial yang harus
dipatuhi oleh urang Sunda.
Namun, dalam naskah Amanat
Galunggung ini terdapat baris-
baris kalimat yang menyatakan
pentingnya masa lalu sebagai
“tunggak” (tonggak) atau
“tunggul” untuk masa
berikutnya, maka dari itu
seyogyanya generasi kini harus
tetap menghormati nilai-nilai
yang diwarisi generasi
sebelumnya. Berikut petikan dan
terjemaahannya:
Hana nguni hana mangke
tan hana nguni tan hana
mangke
aya ma beuheula aya tu ayeuna
hanteu ma beuheula hanteu tu
ayeuna
hana tunggak hana watang
tan hana tunggak tan hana
watang
hana ma tunggulna aya tu
catangna
(Ada dahulu ada sekarang
bila tidak ada dahulu tidak akan
ada sekarang
karena ada masa silam maka
ada masa kini
bila tidak ada masa silam tidak
akan ada masa kini
ada tonggak tentu ada batang
bila tidak ada tonggak tidak
akan ada batang
bila ada tunggulnya tentu ada
catangnya)
Bagi masyarakat Sunda Kuno —
juga Jawa dan etnis-etnis lain di
Indonesia, terutama pada masa
klasik (Hindu-Buddha)
—“ kesadaran sejarah”
bukanlah kesadaran seseorang
atau pun sekelompok orang
terhadap peristiwa-peristiwa
masa lalu di mana peristiwa-
peristiwa tersebut harus
ditentukan kebenarannya
(secara ilmiah), melainkan
kesadaran generasi mendatang
terhadap nilai-nilai yang pernah
ditanamkan oleh generasi
sebelumnya. Hampir tak pernah
ditemukan sebuah kronik
sejarah—kecuali
Nagarakretagama karya
Prapanca —dalam bentuk
pustaka di Indonesia yang
memang bertujuan untuk
mencatat peristiwa-persitiwa
penting pada masanya beserta
pencantuman tarikh-tarikhnya.
Di Jawa Barat sendrir, kecuali
Fragmen Carita Parahyangan
dan Carita Parahyangan, naskah-
naskah Sunda Kuno yang
dihasilkan pada abad-abad
ke-15 dan ke-16 hampir semua
merupakan teks religius,
pedoman moral, atau sejenis
“ sastra-jurnal” seperti
Bujangga Manik. Memang dalam
naskah-naskah pedoman moral
itu dapat diketahui sejumlah
aspek kehidupan sosial-
ekonomi-budaya yang dapat
dijadikan acuan sebagai
“informasi sejarah”, namun
hampir tak ada catatan-catatan
mengenani peristiwa politik
yang akan memuaskan para
peniliti sejarah, kecuali peneliti
filologi dan arkeologi.
Intisari Teks
Halaman 1
Prabu Darmasiksa menjelaskan
tentang nama-nama raja
leluhurnya. Ia memberikan
amanat atau nasihat kepada:
anak, cucu, umpi (turunan ke-3),
cicip (ke-4), muning (ke-5),
anggasantana (ke-6),
kulasantana (ke-7), pretisantana
(ke-8), wit wekas (ke-9, hilang
jejak), sanak saudara, dan
semuanya.
Halaman 2
Dijelaskan perlu mempunyai
kewaspadaan akan
kemungkinan dapat direbutnya
kemuliaan (kewibawaan dan
kekuasaan) serta kejayaan
bangsa sendiri oleh orang asing.
Perilaku negatif yang dilarang:
Jangan merasa diri yang paling
benar, jaling jujur, paling lurus,
Jangan menikah dengan
saudara, jangan membunuh
yang tidak berdosa, jangan
merampas hak orang lain,
jangan menyakiti orang yang
tidak bersalah, jangan saling
mencurigai.
Halaman 3
1. Harus dijaga kemungkinan
orang asing dapat merebut
kabuyutan (tanah yang
disakralkan).
2. Siapa saja yang dapat
menduduki tanah yang
disakralkan (Galunggung),
akan beroleh kesaktian,
unggul perang, berjaya,
bisa mewariskan kekayaan
sampai turun temurun.
3. Bila terjadi perang,
pertahankanlah kabuyutan
yang disucikan itu.
4. Cegahlah kabuyutan (tanah
yang disucikan) jangan
sampai dikuasai orang
asing.
5. Lebih berharga kulit lasun
(musang) yang berada di
tempat sampah dari pada
raja putra yang tidak bisa
mempertahankan
kabuyutan/tanah airnya.
6. Jangan memarahi orang
yang tidak bersalah, jangan
tidak berbakti kepada
leluhur yang telah mampu
mempertahankan
tanahnya (kabuyutannya)
pada zamannya.
Halaman 4
1. Hindarilah sikap tidak
mengindahkan aturan,
termasuk melanggar
pantangan diri sendiri.
2. Orang yang melanggar
aturan, tidak tahu batas,
tidak menyadari akan
nasihat para leluhurnya,
sulit untuk diobati sebab
diserang musuh yang
“halus”.
3. Orang yang keras kepala,
yaitu orang yang ingin
menang sendiri, tidak mau
mendengar nasihat ayah-
bunda, tidak
mengindahkan ajaran
moral (patikrama)
digambarkan sebagai
pucuk alang-alang yang
memenuhi tegal.
Halaman 5
1. Orang yang mendengarkan
nasihat leluhurnya akan
tenteram hidupnya,
berjaya.
2. Orang yang tetap hati
ibaratnya telah sampai di
puncak gunung.
3. Bila kita tidak saling
bertengkar dan tidak
merasa diri paling lurus
dan paling benar, maka
manusia di seluruh dunia
akan tenteram, ibarat
gunung yang tegak abadi,
seperti telaga yang bening
airnya; seperti kita kembali
ke kampung halaman
tempat berteduh.
4. Peliharalah kesempurnaan
agama, pegangan hidup
kita semua.
5. Jangan kosong (tidak
mengetahui) dan jangan
merasa bingung dengan
ajaran keutamaan dari
leluhur.
6. Semua yang dinasihatkan
ini adalah amanat dari
Rakeyan Darmasiksa.
Halaman 6
Sang Raja Purana merasa
bangga dengan ayahandanya
(Rakeyan Darmasiksa), yang
telah membuat ajaran/
pegangan hidup yang lengkap
dan sempurna. Bila ajaran
Darmasiksa ini tetap dipelihara
dan dilaksanakan maka akan
terjadi:
1. Raja pun akan tenteram
dalam menjalankan
tugasnya.
2. Keluarga/tokoh
masyarakat akan lancar
mengumpulkan bahan
makanan.
3. Ahli strategi akan unggul
perangnya.
4. Pertanian akan subur.
5. Panjang umur.
6. Sang Rama (tokoh
masyarakat) bertanggung
jawab atas kemakmuran
hidup; Sang Resi (cerdik
pandai, berilmu),
bertanggung jawab atas
kesejahteraan; Sang Prabu
(birokrat) bertanggung
jawab atas kelancaran
pemerintahan.
Perilaku yang dilarang, yakni:
berebut kedudukan, berebut
penghasilan, berebut hadiah.
Perilaku yang dianjurkan:
bersama-sama mengerjakan
kemuliaan, melalui perbuatan,
ucapan, dan itikad yang
bijaksana.
Halaman 7
Akan menjadi orang terhormat
dan merasa senang bila mampu
menegakkan ajaran/agama;
akan menjadi orang terhormat
bila dapat menghubungkan
kasih sayang dengan sesama
manusia. Itulah manusia yang
mulia.
Dalam ajaran patikrama (etika),
yang disebut bertapa itu adalah
beramal melalui apa yang kita
kerjakan. Buruk amalnya, buruk
pula tapanya; amalnya sedang,
sedang pula tapanya; sempurna
amalnya/kerjanya, sempurna
tapanya. Kita menjadi kaya
karena kita bekerja, berhasil
tapanya. Orang lainlah yang
akan menilai pekerjaan/tapa
kita.
Perilaku yang dianjurkan:
perbuatan, ucapan, dan tekad
harus bijaksana. Harus bersifat
hakiki, bersungguh-sungguh,
memikat hati, suka mengalah,
murah senyum, berseri hati dan
mantap bicara.
Perilaku yang dilarang: jangan
berkata berteriak, menyindir-
nyindir, menjelekkan sesama
orang dan berbicara mengada-
ada.
Halaman 8.
1. Bila orang lain menyebut
kerja kita jelek (bukan jelek
fisik), yang harus disesali
adalah diri kita sendiri.
2. Tidak benar, karena takut
dicela orang, lalu kita tidak
bekerja/bertapa.
3. Tidak benar pula bila kita
berkeja hanya karena ingin
dipuji orang.
4. Orang yang mulia itu
adalah yang sempurna
amalnya, dia akan kaya
karena hasil tapanya itu.
5. Camkan ujaran para
orangtua agar masuk surga
di kahiyangan.
6. Kejujuran dan kebenaran
itu ada pada diri sendiri.
7. Itulah yang disebut dengan
“ kita menyengaja berbuat
baik”.
Perilaku yang dianjurkan: harus
cekatan, terampil, tulus hati,
rajin dan tekun, tangkas,
bersemangat, perwira, teliti,
penuh keutamaan, dan berani
tampil. Yang dikatakan semua
ini itulah yang disebut orang
yang berhasil tapanya.
Halaman 9
Perlu diketahui bahwa yang
mengisi neraka itu adalah
manusia yang suka mengeluh
karena malas beramal; banyak
yang diinginkannya tetapi tidak
tersedia di rumahnya, akhirnya
meminta-minta kepada orang
lain.
Arwah yang masuk ke neraka itu
dalam tiga gelombang, berupa
manusia yang pemalas, keras
kepala, pander/bodoh,
pemenung, pemalu, mudah
tersinggung, selalu berdusta,
bersungut-sungut, menggerutu,
mudah bosan, segan mengalah,
ambisius, mudah terpengaruh,
mudah percaya padangan
omongan orang lain, tidak
teguh memegang amanat, sulit
hati.
Halaman 10
1. Orang pemalas tetapi
banyak yang diinginkannya
selalu akan meminta
dikasihani orang lain. Itu
sangat tercela.
2. Orang pemalas seperti air
di daun talas, plin-plan
namanya. Jadilah dia
manusia pengiri melihat
keutamaan orang lain.
3. Amal yang baik seperti
ilmu padi makin lama
makin merunduk karena
penuh bernas.
Bila setiap orang berilmu
padi maka kehidupan
masyarakat pun akan
seperti itu.
Janganlah meniru padi
yang hampa, tengadah tapi
tanpa isi.
4. Jangan pula meniru padi
rebah muda, hasilnya nihil,
karena tidak dapat dipetik
hasilnya.
Halaman 11
1. Orang yang berwatak
rendah, pasti tidak akan
hidup lama.
2. Sayangilah orang tua, oleh
karena itu hati-hatilah
dalam memilih istri,
memilih hamba, agar hati
orangtua tidak tersakiti.
3. Bertanyalah kepada orang-
orang tua tentang agama
hukum para leluhur, agar
hirup tidak tersesat.
4. Ada dahulu (masa lampau)
maka ada sekarang (masa
kini), tidak akan ada masa
sekarang kalau tidak ada
masa yang terdahulu.
5. Ada pokok (pohon) ada
pula batangnya, tidak akan
ada batang kalau tidak ada
pokoknya.
6. Bila ada tunggulnya maka
tentu akan ada batang
(catang)-nya.
7. Ada jasa tentu ada
anugerahnya. Tidak ada
jasa tidak akan ada
anugerahnya.
Perbuatan yang berlebihan
akan menjadi sia-sia.
Halaman 12
1. Perbuatan yang berlebihan
akan menjadi sia- sia, dan
akhirnya sama saja dengan
tidak beramal yang baik.
2. Orang yang terlalu banyak
keinginannya, ingin kaya
sekaya-kayanya, tetapi
tidak berkarya yang baik,
maka keinginannya itu
tidak akan tercapai.
3. Ketidakpastian dan
kesemerawutan keadaan
dunia ini disebabkan
karena salah perilaku dan
salah tindak dari para
orang terkemuka,
penguasa, para cerdik
pandai, para orang kaya;
semuanya salah bertindak,
termasuk para raja di
seluruh dunia.
4. Bila tidak mempunyai
rumah/kekayaan yang
banyak ya jangan beristri
banyak.
5. Bila tidak mampu
berproses menjadi orang
suci, ya jangan bertapa.
Halaman 13
1. Keinginan tidak akan
tercapai tanpa berkarya,
tidak punya keterampilan,
tidak rajin, rendah diri,
merasa berbakat buruk.
Itulah yang disebut hidup
percuma saja.
2. Tirulah wujudnya air di
sungai, terus mengalir
dalam alur yang dilaluinya.
Itulah yang tidak sia-sia.
Pusatkan perhatian kepa
cita-cita yang diinginkan.
Itulah yang disebut dengan
kesempurnaan dan
keindahan.
3. Teguh semangat tidak
mempedulikan hal-hal
yang akan memengaruhi
tujuan kita.
4. Perhatian harus selalu
tertuju/terfokus pada alur
yang dituju.
5. Senang akan keelokan/
keindahan.
6. Kuat pendirian tidak
mudah terpengaruh.
7. Jangan mendengarkan
ucapan-ucapan yang
buruk.
8. Konsentrasikan perhatian
pada cita-cita yang ingin
dicapai.
Kepustakaan
Ayatrohaedi dkk. 1987. Sewaka
Darma, Sanghiyang Siksa
Kandang Karesian - Amanat
Galunggung. Depdikbud.
Danasasmita, Saleh, dkk.
1983-1984. Rintisan
Penelusuran Masa Silam Sejarah
Jawa Barat. Pemerintah Propinsi
Daerah Tk I. Jawa Barat.
Noorduyn J. dan A. Teeuw. 2009.
Tiga Pustaka Sunda Kuna.
Diterjemahkan oleh Hawe
Setiawan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Suryalaga, H.R.Hidayat.
“ Kuningan: Dengan Amanat
Sewaka Darma dari Prabuguru
Darmasiksa ”, makalah yang
disampaikan pada Sosialisasi
Garapan Dinas Tataruang &
Permukiman Prop. Jabar. Di Kab.
Kuningan, 17-10-2003, dan
pada Simposium Internasional
Pernaskahan Nusantara VI
(SIPN-VI) oleh MANASSA Cabang
Bandung (Jawa Barat), 12-14
Agustus 2002 di Hotel Puri
Khatulistiwa - Jatinangor –
Sumedang dalam http://
www.sundanet.com/?
p=244&cpage=1#
comment-69411 Dec 2004
www.nalaroza.wordpress.com
http://
akibalangantrang.blogspot.com/
2008/09/naskah-amanat-
galungung.html 19 February
2010, diposkan Jumat, 05
September 2008, diambil 19
February 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment