Tuesday, August 31, 2010

Lubang hitam ( black hole )

Lubang Hitam (Black Hole)
Lubang hitam adalah sebuah
pemusatan massa yang cukup
besar sehingga menghasilkan
gaya gravitasi yang sangat
besar. Gaya gravitasi yang
sangat besar ini mencegah apa
pun lolos darinya kecuali melalui
perilaku terowongan kuantum.
Medan gravitasi begitu kuat
sehingga 8kecepatan lepas di
dekatnya mendekati kecepatan
cahaya. Tak ada sesuatu,
termasuk radiasi
elektromagnetik yang dapat
lolos dari gravitasinya, bahkan
cahaya hanya dapat masuk
tetapi tidak dapat keluar atau
melewatinya, dari sini diperoleh
kata "hitam". Istilah "lubang
hitam" telah tersebar luas,
meskipun ia tidak menunjuk ke
sebuah lubang dalam arti biasa,
tetapi merupakan sebuah
wilayah di angkasa di mana
semua tidak dapat kembali.
Secara teoritis, lubang hitam
dapat memliki ukuran apa pun,
dari mikroskopik sampai ke
ukuran alam raya yang dapat
diamati.
Teori adanya lubang hitam
pertama kali diajukan pada abad
ke-18 oleh John Michell and
Pierre-Simon Laplace,
selanjutnya dikembangkan oleh
astronom Jerman bernama Karl
Schwarzschild, pada tahun
1916, dengan berdasar pada
teori relativitas umum dari
Albert Einstein, dan semakin
dipopulerkan oleh Stephen
William Hawking. Pada saat ini
banyak astronom yang percaya
bahwa hampir semua galaksi
dialam semesta ini mengelilingi
lubang hitam pada pusat
galaksi.
http://www.mystrangenewmexico.com/stora
Adalah John Archibald Wheeler
pada tahun 1967 yang
memberikan nama "Lubang
Hitam" sehingga menjadi
populer di dunia bahkan juga
menjadi topik favorit para
penulis fiksi ilmiah. Kita tidak
dapat melihat lubang hitam
akan tetapi kita bisa mendeteksi
materi yang tertarik / tersedot
ke arahnya. Dengan cara inilah,
para astronom mempelajari dan
mengidentifikasikan banyak
lubang hitam di angkasa lewat
observasi yang sangat hati-hati
sehingga diperkirakan di
angkasa dihiasi oleh jutaan
lubang hitam.
Lubang Hitam tercipta ketika
suatu obyek tidak dapat
bertahan dari kekuatan tekanan
gaya gravitasinya sendiri.
Banyak obyek (termasuk
matahari dan bumi) tidak akan
pernah menjadi lubang hitam.
Tekanan gravitasi pada matahari
dan bumi tidak mencukupi
untuk melampaui kekuatan
atom dan nuklir dalam dirinya
yang sifatnya melawan tekanan
gravitasi. Tetapi sebaliknya
untuk obyek yang bermassa
sangat besar, tekanan gravitasi-
lah yang menang.
Massa dari lubang hitam terus
bertambah dengan cara
menangkap semua materi
didekatnya. Semua materi tidak
bisa lari dari jeratan lubang
hitam jika melintas terlalu
dekat. Jadi obyek yang tidak bisa
menjaga jarak yang aman dari
lubang hitam akan terhisap.
Berlainan dengan reputasi yang
disandangnya saat ini yang
menyatakan bahwa lubang
hitam dapat menghisap apa saja
disekitarnya, lubang hitam tidak
dapat menghisap material yang
jaraknya sangat jauh dari
dirinya. dia hanya bisa menarik
materi yang lewat sangat dekat
dengannya. Contoh : bayangkan
matahari kita menjadi lubang
hitam dengan massa yang sama.
Kegelapan akan menyelimuti
bumi dikarenakan tidak ada
pancaran cahaya dari lubang
hitam, tetapi bumi akan tetap
mengelilingi lubang hitam itu
dengan jarak dan kecepatan
yang sama dengan saat ini dan
tidak terhisap masuk
kedalamnya.
Bahaya akan mengancam hanya
jika bumi kita berjarak 10 mil
dari lubang hitam, dimana hal
ini masih jauh dari kenyataan
bahwa bumi berjarak 93 juta mil
dari matahari. Lubang hitam
juga dapat bertambah massanya
dengan cara bertubrukan
dengan lubang hitam yang lain
sehingga menjadi satu lubang
hitam yang lebih besar.

Riwayat Karawang

Sejarah Singkat Kabupaten Karawang Abad ke-17 kerajaan terbesar di Pulau Jawa adalah Mataram dengan rajanya yang terkenal yaitu Sultan Agung Hanyokrokusumo, Sultan Agung adalah seorang raja yang tidak menginginkan wilayah Nusantara dikuasai atau dijajah oleh bangsa asing dan ingin mempersatukan Nusantara dibawah satu kekuasaan bangsa sendiri. Pada abad ke-17 VOC sudah menanamkan kekuasaannya di Batavia oleh karena itu Sultan Agung berupaya mengusir VOC dari bumi Nusantara dengan jalan menyerang Batavia, tetapi pada waktu itu para raja di wilayah Nusantara belum ada persatuan dan kesatuan untuk menghadapi musuh dari luar, masing-masing berjuang sendiri bahkan ada sebagian yang memihak penjajah. Hal ini disebabkan adanya politik Devide Et Impera dari penjajah sehingga Sultan Agung bukan saja harus berhadapan dengan serdadu VOC tetapi juga harus menghadapi tentara dari kerajaan Banten. Sebagai daerah atau tempat untuk menyerang VOC di Batavia, Karawang pada waktu itu dikuasasi oleh para prajurit Mataram dijadikan sebagai basis atau pangkal perjuangan. Sultan Agung memerintahkan Rangga Gede untuk : Mempersiapkan bala tentara/ membenahi prajurit Mempersiapakan logistik dengan jalan menjadikan daerah Karawang menjadi lumbung padi. Tanggal 14 September 1633 Masehi, bertepatan dengan Tanggal 10 Maulud 143 Hijriyah. Raja Mataram, Sultan Agung melantik Singaperbangsa sebagai Bupati Karawang pertama, sehingga secara tradisi setiap tanggal 10 Mualud diperingati sebagai Hari Jadi Kabupaten Karawang. Pada zaman revolusi kemerdekaan Republik Indonesia, Karawang merupakan salah satu daerah yang menjadi kancah perjuangan melawan penjajah Belanda, seperti yang dilukiskan dalam sajak Chairil Anwar berjudul " Karawang Bekasi". Menjelang Proklamasi Kemerdakaan Bung Karno dan Bung Hatta bersama para pemuda militan mempersiapkan diri di Rengasdengklok tepatnya di Kampung Bojong Kecamatan Rengasdengklok, Proklamator Sukarno – Hatta menyusun naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Peristiwa penting ini merupakan bukti otentik bahwa Kabupaten Karawang memiliki nilai HISTORIS yang besar peranannya bagi kejayaan Nusa dan Bangsa sehingga tidak berlebihan kiranya Karawang diberi julukan sebagai daerah pangkal perjuangan, maka di tempat-tempat tersebut dibangun tugu kesepakatan kebulatan tekad untuk memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia. Hal ini tentunya mendorong semua pihak untuk berperan serta dalam melaksanakan pembangunan dengan lebih giat lagi. Pelat Kuning Kandang Sapi Gede Mengawali berdirinya Kabupaten Karawang Karawang berdiri sejak dikeluarkannya piagam Pelat Kuning Kandang Sapi Gede oleh Sultan Agung kepada Raden Singaperbangsa dan Raden Wirasaba, 3,8 abad lampau. Saat itu, wilayah Karawang sangat luas, meliputi Bekasi, Subang, Purwakarta. Memasuki sejarah perjalanan Kabupaten Karawang, kita awali dengan kedatangan seorang Hafidz Qur ’an dari Champa sekitar abad ke XV masehi yang bernama Syech Hasanudin bin Yusuf Idofi, atau yang terkenal dengan julukannya, Syech Quro. Ia mendirikan paguron-paguron islam di Karawang, tepatnya di kampung Pulobata desa Pulokalapa, kecamatan Lemahabang-Wadas. Sejak penyebaran agama yang diwahyukan Allah SWT kepada Rasulullah SAW itulah, kemudian agama Islam menyebar di seantero jagat oleh para waliullah yang terkenal dengan sebutan wali Sanga. Pada masa penyebaran agama Islam di Karawang, komplek pemakaman Syech Quro masih merupakan hutan belantara dan rawa-rawa. Hal ini bisa kita duga apabila menelaah asal kata Karawang berasal dari bahasa sunda Ka-Rawa-an yang artinya tempat penuh rawa. Nama tersebut sesuai dengan keadaan geografis Kabupaten Karawang yang berawa-rawa. Bukti yang memperkuat pendapat tersebut yakni dengan banyaknya nama- nama daerah di Kabupaten Karawang yang diawali dengan kata Rawa seperti; Rawasari, Rawagempol, Rawa sikut, Rawa Gede, Rawa Merta, Rawa Gabus dan rawa-rawa lainnya. Namun, menurut sumber lain pada buku-buku Portugis (tahun 1512 dan 1522) menyebutkan, nama Karawang diambil dari bahasa Portugis “ Caravan”. Istilah ini diberikan bangsa Portugis karena apabila orang-orang yang bepergian akan melawati daerah rawan, untuk keamanan mereka pergi berkafilah-kafilah dengan menggunakan hewan seperti Kuda, Sapi, Kerbau atau Keledai. Demikian pula halnya yang terjadi pada jaman dahulu, kesatuan-kesatuan kafilah yang dalam bahasa Portugis disebut “ Caravan” membuat pelabuhan-pelabuhan di sekitar muara sungai Citarum yang menjorok ke pedalaman Karawang. Sehingga disebut dengan “Caravan” yang kemudian berubah menjadi Karawang. Dalam sumber pada buku-buku Portugis (tahun 1512 dan 1522) tadi, Karawng memang terletak di sekitar Sungai Citarum. Memang pada masa itu, keberadaan Karawang dikenal sebagai jalu Lalu Lintas yang sangat penting untuk menghubungkan Kerajaan Pakuan Padjajaran dengan Kerajaan Galuh Pakuan yang berpusat di daerah Ciamis. Hal diatas ada kaitannya dengan yang dijelaskan Tendam. Menurut Tendam”… dari Pakuan Padjajaran ada sebuah jalan yang dapat melalui Cileungsi atau Cibarusah, Warung Gede, Tanjung Pura, Karawang, Cikao, Purwakarta, Sagalaherang terus ke Sumedang, Tomo, Sindang Kasih, Raja Galuh, Talaga, Kawali dan akhirya berpusat di kerajaan Galuh Pakuan di Ciamis dan Bojong Galuh. Luas wlayah kabupaten Karawang saat itu, tidak sama dengan luas wilayah Kabupaten Karawang pada masa sekarang. Pada masa itu, luas wilayah Kabupaten Karawang meliputi Bekasi, Subang, Purwakarta dan Karawang sendiri. Perang Mataram-Banten Kerajaan Padjajaran runtuh pada tahun 1579 M. Pada tahun 1570 M kerajaan Sumedang Larang berdiri sebagai penerus kerajaan Padjajaran dengan rajanya yang bernama Prabu Geusan Ulun, putra pasangan Ratu Pucuk Umum (disebet juga Pengeran istri) deingan Pangeran Santri keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Kerajaan Ilam Sumedang Larang, pusat pemerintahannya berada di Dayeuh Luhur membawahi Sumedang, Galuh, Limbangan, Sukakerta dan Karawang. Prabu Geusan Ulun wafat pada tahun 1608, dan digantikan oleh putranya Rangga Gempol Kusumahdinata, putra Prabu Geusan Ulun dari istrinya Harismaya keturunan Madura. Pada masa itu di Jawa Tengah telah berdiri kerajaan Mataram dengan rajanya Sultan Agung (1613-1345) yang bercita-cita ingin menguasai Pulau Jawa dan mengusir Kompeni (Belanda) dari Batavia. Demi menjaga keselamatan wilayah kekuasaan Mataram di daerah Barat, pada tahun 1628 dan 1629, Sultan Agung melakukan penyerangan terhadap VOC (Belanda) di Batavia. Namun gagal sehubungan situasi medan yang sangat berat dan berjangkitnya penyakit Malaria serta karena kurangnya kebutuhan logistik. Dengan kegagalan tersebut, Sultan Agung mencari strategi penyerangan terhadap kompeni dan menunjuk Karawang sebagai pusat logistik yang mempunyai pemerintahan sendiri dibawah kekuasaan Mataram dan dikomandani oleh seorang pemimpin yang cakap dan ahli perang serta mampu menggerakkan masyarakat untuk membangun pesawahan guna mendukung pengadaan Logistik dalam persiapan melakukan penyeragan kembali terhadap VOC (Belanda) diBatavia. Tahun 1632, Sultan Agung mengutus Wiraperbangsa Sari Galuh untuk membawa 1000 prajurit beserta keluarganya ke Karawang. Tujuan pasukan yang dipimpin oleh Wiraperbangsa adalah selain membebaskan pengaruh Banten di Karawang juga untuk mempersiapkan kebutuhan logistik sebagai bekal melakukan penyerangan kembali terhadap VOC (Belanda) di Batavia. Tugas yang diemban Wiraperbangsa dapat dilaksanakan dengan baik. Hasilnya bahkan sempat dilaporkan kepada Sultan Agung di Mataram. Atas keberhasilannya, Wiraperbangsa dianugerahi jabatan Wedana (sekarang tingkat Bupati) di Karawang dan mendapat gelar Adipati Kertabumi III serta diberi hadiah senjata berupa sebilah Keris yang bernama “Karo sinjang”. Setelah penganugerahan dilakukan di Mataram, Wiraperbangsa melanjutkan kembali tugasnya dan melakukan perjalanan ke Karawang. Namun takdir illahi berkata lain. Saat singgah sementara untuk menjenguk keluarganya di Galuh, Wiraperbangsa keburu wafat. Pelat Kuning Kandang Sapi Gede Jabatan Wiraperbangsa sebagai Wedana di Karawang kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Raden Singaperbangsa yang di anugrahi gelar Adipati Kertabumi IV memerintah di Karawang pada tahun 1633-1677. tugas pokok Raden Singaperbangsa di awal kepemimpinannya adalah mengusir VOC (Belanda) di Batavia. Untuk itu, Raden Singaperbangsa membangun pesawahan untuk kebutuhan logistik semasa perang. Selain itu, Raden Singaperbangsa juga mendapat tambahan 2000 keluarga. Pembangunan pusat logistik dan pesawahan demi memenuhi kebutuhan logistik perang itu tersurat dalam “ Piagam Pelat Kuning Kandang Sapi Gede” yang bunyinya adalah sebagai berikut; “panget ingkang Piagam Kanjeng ing Ki Rangga Gede ing Sumedang kagadehaken ing si Astrawardana. Mulane sun gdehi peagem, sun kongkon anggraksa kaagengan dalem siti Nagara Agung, kilen waten Cipamingkis, wetan wates Cilamaya, serta kon anunggoni lumbung isina Pun Pari Limang tkes punjul tiga welas jait. Basakala tan anggrawahani piagem, lagi lampahipan Kyai Yudha-bangsa kaping kalih ki wangsa Taruna, ingkang potusan Kanjeng Dalem Ambakta tata titi yang kalih ewu; Wadana nipun Kyai Singaperbangsa, kalih ki Wirasaba kang dipunwadanahakeun ing manir. Sasangpun katampi dipunrenahakeun Waringinpitu lan ing Tanjungpura, anggraksa siti NagaraGung Bongan Kilen, kala nulis piagem ing dina rebo tanggal ping sapuluh sasi Mulud tahun alif. Kang anulis piagem manira anggaprana titi ”. Terjemahan isi piagam tersebut didalam bahasa Indonesia adalah; “Peringatan piagam Raja kepada Ki Ranggagede di Sumedang diserahkan kepada Si Astrawardana. Sebabnya maka saya serahi piagam, ialah karena saya berikan tugas menjaga tanah negara agung di sebelah timur berbatas Cilamaya, serta saya tugaskan menunggu lumbung berisi Padi lima takes lebih tiga welas jahit. Adapun padai tersebut diterima oleh Ki Singaperbangsa, baskalatan yang menyaksikan piagam dan kedua Ki Wangsataruna yang diutus oleh Raja untuk pergi dengan membawa 2000 keluarga. Pimpinannya adalah Kyai Singaperbangsa serta Ki Wirasaba. Sesudah piagam diterima, kemudian mereka ditempatkan di Waringinpitu dan di Tanjungpura. Tugasnya adalah menjaga tanah nagara agung di sebelah barat. Piagam ini ditulis pada hari Rabu tanggal 10 bulan Mulud tahun Alif. Yang menulis piagam ini ialah saya, Anggaprana. Selesai ”. Demikian isi ‘Piagam Pelat Kuningan Kandang Sapi Gede’ yang dibuat pada tanggal 10 bulan Mulud tahun Alif atau hari Rabu tanggal 10 Rabi ’ul awal tahun 1043 hijriah, yang bertempatan dengan tanggal 14 September 1633 Masehi dan pada hitungan tahun Jawa/Saka adalah hari Rabu tanggal 10 Mulud 1555. Tanggal yang tercantum dalam isi Piagam Pelat Kuningan Kandang Sapi Gede kemudian dijadikan sebagai “Hari Jadi Kabupaten Karawang”. Penetapan tanggal itu berdasarkan hasil penelitian panitia sejarah yang dibentuk dengan surat Keputusan Bupati Kepala daerah Tingkat II Karawang, Letkol (inf) H. Husni Hamid dengan SK-nya nomor 170/PEM/H?SK/1968 pada tanggal 1 Juni 1968. adapun bukti hasil penelitian dan pengkajian itu terdapat dalam tulisan para pakar sejarah yakni; Dr. Brenes dalam “Tyds Taal Land en Volkenkude’ XXVIII halaman 352, 355 yang menetapkan tahun 1633 sebagai tahun jadinya Karawang

Amanat ti Galunggung

Amanat Galunggung (Kropak 632); Ajaran Darmasiksa kepada Rahiyang Sanjaya Tim Wacana Nusantara 8 April 2010 Sebagai koleksi Perpustakaan Nasional Jakarta, naskah ini dikenal sebagai Kropak 632. Naskah yang dulu koleksi Masyarakat Batavia ini memuat ketatanegaraan Sunda zaman dahulu. Judul Amanat Galunggung diberikan oleh Saleh Danasasmita dkk (1987). Padahal kata amanat tak ditulis dalam teks (amanat merupakan kata Arab). Sebelumnya para ahli menyebutnya Naskah Kabuyutan Ciburuy di Bayongbong, Garut, Jawa Barat. Galunggung sendiri merupakan gunung berapi di wilayah Garut. Naskah Kabuyutan Ciburuy atau Amanat Galunggung Naskah ini diperkirakan disusun pada abad ke-15, ditulis pada daun lontar dan nipah, menggunakan bahasa Sunda kuno dan aksara Sunda. Sayang, naskah ini tak bertarikh dan juga tak lengkap. Yang tersedia hanya enam helai daun. Dilihat dari penulisan kata-katanya, dapat ditafsir bahwa naskah ini lebih tua dari Sanghyang Siksakanda ng Karesian (1518 M) dan Carita Parahyangan (1580 M) yang ditulis pada abad ke-16. Dalam Amanat Galungggung ejaannya ditulis: kwalwat, gwareng, anwam, dan hamwa; yang di dalam Carita Parahyangan dieja: kolot, goreng, anom, dan hamo. Naskah ini menarik perhatian Holle, Brandes, Pleyte, dan Poerbatjaraka. Pleyte menyebut naskah ini sebagai “pseudo- Padjadjaransche Kroniek”. Kemudian para sarjana Indonesia mengatakan bahwa data sejarah yang terkandung dalam bagian awal naskah sesungguhnya hanya merupakan pengantar ke arah fungsi teks sesungguhnya, yakni sebagai pelajaran keagamaan yang disampaikan Rakryan atau Rakeyan Darmasiksa. Pada 1981 tesk ini diterbitkan sebagai stensilan oleh Atja dan Danasasmita. Tahun 1987, Danasasmita dkk mempublikasikannya dalam bentuk buku. Karel Frederik Holle, seorang pemerhati sastra dan budaya Sunda asal Belanda, yang juga tertarik akan Naskah Kabuyutan Ciburuy. Teksnya berisi tentang usaha Darmasiska dan orang-orang yang “membuka” wilayah Galungggung (nya nyusuk na Galungggung). Selebihnya teks ini berisi nasihat perihal budi pekerti yang disampaikan Rakyan Darmasiksa, Raja Kerajaan Sunda, yang duduk di Galunggung, kepada putranya, yakni Ragasuci atau Sang Lumahing Taman. Karena itu, sering pula naskah ini disebut Amanat Prabuguru Darmasiksa. Dari naskah ini diketahui peran kabuyutan, bukan hanya sebagai tempat pemujaan, melainkan dijadikan sebagai salah satu cara penopang integritas terhadap negara, sehingga tempat itu dilindungi dan disakralkan oleh raja. Prabuguru Darmasiksa Dalam Carita Parahyangan diceritakan, Darmasiksa (ada juga yang menyebutnya Prabu Sanghyang Wisnu) memerintah selama 150 tahun. Ada pun Naskah Wangsakerta menyebut angka 122 tahun, yakni tahun 1097 – 1219 Saka (1175 – 1297 M). Darmasiksa naik tahta setelah 16 tahun Prabu Jayabaya (1135 – 1159 M), penguasa Kediri-Jenggala tiada. Darmasiksa memiliki kesempatan menyaksikan lahirnya Kerajaan Majapahit (1293 M). Menurut Pustaka Nusantara II/2, Prabuguru Darmasiksa pernah memberikan peupeujeuh (nasihat) kepada cucunya, yakni Wijaya, pendiri Majapahit, sebagai berikut: Haywa ta sira kedo athawamerep ngalindih Bhumi Sunda mapan wus kinaliliran ring ki sanak ira dlaha yan ngku wus angemasi. Hetunya nagaramu wu agheng jaya santosa wruh ngawang kottman ri puyut kalisayan mwang jayacatrumu, ngke pinaka mahaprabhu. Ika hana ta daksina sakeng Hyang Tunggal mwang dumadi seratanya. Ikang sayogyanya rajyaa Jawa rajya Sunda parasparopasarpana atuntunan tangan silih asih pantara ning padulur. Yatanyan tan pratibandeng nyakrawartti rajya sowangsong. Yatanyan siddha hitasukha. Yan rajya Sunda duhkantara. Wilwatika sakopayanya maweh caranya: mangkana juga rajya Sunda ring Wilwatika. Inti dari nasihatnya adalah menjelaskan tentang larangan untuk tidak menyerang Sunda karena mereka bersaudara. Jika masing-masing memerintah sesuai dengan haknya maka akan mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang sempurna. Perihal Prabu Darmasiksa memberikan wejangan kepada Sanjaya, Carita Parahyangan (CP) pun membeberkan hal tersebut. Dalam CP —yang sebagian besar isinya menceritakan kepahlawanan Sanjaya, raja Sunda di Pakuan dan Galuh di Jawa Barat dan pendiri Mataram Kuno di Jawa Tengah (sama dengan Pararaton yang menceritakan sepak terjang Ken Angrok) — disebutkan bahwa Patih Galuh menasihati agar Rahiyang Sanjaya mematuhi Sanghyang Darmasiksa. Naskah ini memulai ceritanya dari alur Kerajaan Saunggalah I (Kuningan) yang diperkirakan telah ada pada awal abad 8 M. Secara politis, Saunggalah merupakan alternatif untuk menyelesaikan pembagian kekuasaan antara keturunan Wretikandayun, yaitu anak-anak Mandi Minyak dengan anak-anak Sempak Waja, Naskah ini menjelaskan sisi dan perkembangan keturunan Wretikandayun di luar Galuh. Dari naskah Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawadwipa, kita tahu bahwa nama Raja Saunggalah I bernama Resiguru Demunawan. Kedudukan sebagai penguasa di wilayah tersebut diberikan oleh ayahnya, yakni Sempak Waja, putra Wretikandayun pendiri Galuh. Resiguru Demunawan merupakan kakak kandung dari kakak kandung Purbasora, yang pernah menjadi raja di Galuh pada 716-732. Demunawan memiliki keistimewaan dari saudara- saudara lainnya, baik sekandung maupun dari seluruh keturunan Kendan. Sekali pun tidak pernah menguasai Galuh secara fisik, namun ia mampu memperoleh gelar resi guru, sebuah gelar yang tidak sembarangan bisa didapat, sekali pun oleh raja-raja terkenal, tanpa memilik sifat ksatria minandita. Bahkan pasca Tarumanagara, gelar ini hanya diperoleh Resiguru Manikmaya, pendiri Kendan, Resiguru Darmasiksa, dan Resiguru Niskala Wastu Kancana raja di Kawali. Seorang raja bergelar resiguru diyakini telah mampu membuat sebuah ajaran (pandangan hidup) yang dijadikan acuan kehidupan masyarakatnya. Prabuguru Darmasiksa pertama kali memerintah di Saunggalah I (persisnya di desa Ciherang, Kadugede, Kab. Kuningan), kemudian memindahkan ke Saunggalah 2, (Mangunreja, Tasikmalaya), selanjutnya menjadi raja Di Pakuan Pajajaran. Menurut teks Bujangga Manik (akhir abad ke- 15 atau awal abad ke-16), lokasi lahan tersebut terletak di daerah Tasik Selatan sebelah barat, bahkan kerajaan ini mampu mempertahankan kehadirannya setelah Pajajaran dan Galuh runtuh. Pada abad ke-18 nama kerajaan tersebut masih ada, namun setingkat kabupaten, dengan nama Kabupaten Galunggung, berpusat di Singaparna. Mungkin sebab inilah penduduk Kampung Naga Salawu di Tasik enggan menyebut Singaparna, tetap menyebut Galunggung untuk wilayah Singaparna. Kemudian Darmasiksa diangkat menjadi Raja Sunda di Pakuan), sedangkan Saunggalah diserahkan kepada putranya, yakni Ragasuci alias Sang Lumahing Taman. “Kesadaran Sejarah” Berbeda dengan Carita Parahyangan yang jelas menceritakan perjalanan pemerintahan raja-raja kuno di Jawa Barat, Amanat Galunggung ini membeberkan ajaran moral dan aturan sosial yang harus dipatuhi oleh urang Sunda. Namun, dalam naskah Amanat Galunggung ini terdapat baris- baris kalimat yang menyatakan pentingnya masa lalu sebagai “tunggak” (tonggak) atau “tunggul” untuk masa berikutnya, maka dari itu seyogyanya generasi kini harus tetap menghormati nilai-nilai yang diwarisi generasi sebelumnya. Berikut petikan dan terjemaahannya: Hana nguni hana mangke tan hana nguni tan hana mangke aya ma beuheula aya tu ayeuna hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna hana tunggak hana watang tan hana tunggak tan hana watang hana ma tunggulna aya tu catangna (Ada dahulu ada sekarang bila tidak ada dahulu tidak akan ada sekarang karena ada masa silam maka ada masa kini bila tidak ada masa silam tidak akan ada masa kini ada tonggak tentu ada batang bila tidak ada tonggak tidak akan ada batang bila ada tunggulnya tentu ada catangnya) Bagi masyarakat Sunda Kuno — juga Jawa dan etnis-etnis lain di Indonesia, terutama pada masa klasik (Hindu-Buddha) —“ kesadaran sejarah” bukanlah kesadaran seseorang atau pun sekelompok orang terhadap peristiwa-peristiwa masa lalu di mana peristiwa- peristiwa tersebut harus ditentukan kebenarannya (secara ilmiah), melainkan kesadaran generasi mendatang terhadap nilai-nilai yang pernah ditanamkan oleh generasi sebelumnya. Hampir tak pernah ditemukan sebuah kronik sejarah—kecuali Nagarakretagama karya Prapanca —dalam bentuk pustaka di Indonesia yang memang bertujuan untuk mencatat peristiwa-persitiwa penting pada masanya beserta pencantuman tarikh-tarikhnya. Di Jawa Barat sendrir, kecuali Fragmen Carita Parahyangan dan Carita Parahyangan, naskah- naskah Sunda Kuno yang dihasilkan pada abad-abad ke-15 dan ke-16 hampir semua merupakan teks religius, pedoman moral, atau sejenis “ sastra-jurnal” seperti Bujangga Manik. Memang dalam naskah-naskah pedoman moral itu dapat diketahui sejumlah aspek kehidupan sosial- ekonomi-budaya yang dapat dijadikan acuan sebagai “informasi sejarah”, namun hampir tak ada catatan-catatan mengenani peristiwa politik yang akan memuaskan para peniliti sejarah, kecuali peneliti filologi dan arkeologi. Intisari Teks Halaman 1 Prabu Darmasiksa menjelaskan tentang nama-nama raja leluhurnya. Ia memberikan amanat atau nasihat kepada: anak, cucu, umpi (turunan ke-3), cicip (ke-4), muning (ke-5), anggasantana (ke-6), kulasantana (ke-7), pretisantana (ke-8), wit wekas (ke-9, hilang jejak), sanak saudara, dan semuanya. Halaman 2 Dijelaskan perlu mempunyai kewaspadaan akan kemungkinan dapat direbutnya kemuliaan (kewibawaan dan kekuasaan) serta kejayaan bangsa sendiri oleh orang asing. Perilaku negatif yang dilarang: Jangan merasa diri yang paling benar, jaling jujur, paling lurus, Jangan menikah dengan saudara, jangan membunuh yang tidak berdosa, jangan merampas hak orang lain, jangan menyakiti orang yang tidak bersalah, jangan saling mencurigai. Halaman 3 1. Harus dijaga kemungkinan orang asing dapat merebut kabuyutan (tanah yang disakralkan). 2. Siapa saja yang dapat menduduki tanah yang disakralkan (Galunggung), akan beroleh kesaktian, unggul perang, berjaya, bisa mewariskan kekayaan sampai turun temurun. 3. Bila terjadi perang, pertahankanlah kabuyutan yang disucikan itu. 4. Cegahlah kabuyutan (tanah yang disucikan) jangan sampai dikuasai orang asing. 5. Lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah dari pada raja putra yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan/tanah airnya. 6. Jangan memarahi orang yang tidak bersalah, jangan tidak berbakti kepada leluhur yang telah mampu mempertahankan tanahnya (kabuyutannya) pada zamannya. Halaman 4 1. Hindarilah sikap tidak mengindahkan aturan, termasuk melanggar pantangan diri sendiri. 2. Orang yang melanggar aturan, tidak tahu batas, tidak menyadari akan nasihat para leluhurnya, sulit untuk diobati sebab diserang musuh yang “halus”. 3. Orang yang keras kepala, yaitu orang yang ingin menang sendiri, tidak mau mendengar nasihat ayah- bunda, tidak mengindahkan ajaran moral (patikrama) digambarkan sebagai pucuk alang-alang yang memenuhi tegal. Halaman 5 1. Orang yang mendengarkan nasihat leluhurnya akan tenteram hidupnya, berjaya. 2. Orang yang tetap hati ibaratnya telah sampai di puncak gunung. 3. Bila kita tidak saling bertengkar dan tidak merasa diri paling lurus dan paling benar, maka manusia di seluruh dunia akan tenteram, ibarat gunung yang tegak abadi, seperti telaga yang bening airnya; seperti kita kembali ke kampung halaman tempat berteduh. 4. Peliharalah kesempurnaan agama, pegangan hidup kita semua. 5. Jangan kosong (tidak mengetahui) dan jangan merasa bingung dengan ajaran keutamaan dari leluhur. 6. Semua yang dinasihatkan ini adalah amanat dari Rakeyan Darmasiksa. Halaman 6 Sang Raja Purana merasa bangga dengan ayahandanya (Rakeyan Darmasiksa), yang telah membuat ajaran/ pegangan hidup yang lengkap dan sempurna. Bila ajaran Darmasiksa ini tetap dipelihara dan dilaksanakan maka akan terjadi: 1. Raja pun akan tenteram dalam menjalankan tugasnya. 2. Keluarga/tokoh masyarakat akan lancar mengumpulkan bahan makanan. 3. Ahli strategi akan unggul perangnya. 4. Pertanian akan subur. 5. Panjang umur. 6. Sang Rama (tokoh masyarakat) bertanggung jawab atas kemakmuran hidup; Sang Resi (cerdik pandai, berilmu), bertanggung jawab atas kesejahteraan; Sang Prabu (birokrat) bertanggung jawab atas kelancaran pemerintahan. Perilaku yang dilarang, yakni: berebut kedudukan, berebut penghasilan, berebut hadiah. Perilaku yang dianjurkan: bersama-sama mengerjakan kemuliaan, melalui perbuatan, ucapan, dan itikad yang bijaksana. Halaman 7 Akan menjadi orang terhormat dan merasa senang bila mampu menegakkan ajaran/agama; akan menjadi orang terhormat bila dapat menghubungkan kasih sayang dengan sesama manusia. Itulah manusia yang mulia. Dalam ajaran patikrama (etika), yang disebut bertapa itu adalah beramal melalui apa yang kita kerjakan. Buruk amalnya, buruk pula tapanya; amalnya sedang, sedang pula tapanya; sempurna amalnya/kerjanya, sempurna tapanya. Kita menjadi kaya karena kita bekerja, berhasil tapanya. Orang lainlah yang akan menilai pekerjaan/tapa kita. Perilaku yang dianjurkan: perbuatan, ucapan, dan tekad harus bijaksana. Harus bersifat hakiki, bersungguh-sungguh, memikat hati, suka mengalah, murah senyum, berseri hati dan mantap bicara. Perilaku yang dilarang: jangan berkata berteriak, menyindir- nyindir, menjelekkan sesama orang dan berbicara mengada- ada. Halaman 8. 1. Bila orang lain menyebut kerja kita jelek (bukan jelek fisik), yang harus disesali adalah diri kita sendiri. 2. Tidak benar, karena takut dicela orang, lalu kita tidak bekerja/bertapa. 3. Tidak benar pula bila kita berkeja hanya karena ingin dipuji orang. 4. Orang yang mulia itu adalah yang sempurna amalnya, dia akan kaya karena hasil tapanya itu. 5. Camkan ujaran para orangtua agar masuk surga di kahiyangan. 6. Kejujuran dan kebenaran itu ada pada diri sendiri. 7. Itulah yang disebut dengan “ kita menyengaja berbuat baik”. Perilaku yang dianjurkan: harus cekatan, terampil, tulus hati, rajin dan tekun, tangkas, bersemangat, perwira, teliti, penuh keutamaan, dan berani tampil. Yang dikatakan semua ini itulah yang disebut orang yang berhasil tapanya. Halaman 9 Perlu diketahui bahwa yang mengisi neraka itu adalah manusia yang suka mengeluh karena malas beramal; banyak yang diinginkannya tetapi tidak tersedia di rumahnya, akhirnya meminta-minta kepada orang lain. Arwah yang masuk ke neraka itu dalam tiga gelombang, berupa manusia yang pemalas, keras kepala, pander/bodoh, pemenung, pemalu, mudah tersinggung, selalu berdusta, bersungut-sungut, menggerutu, mudah bosan, segan mengalah, ambisius, mudah terpengaruh, mudah percaya padangan omongan orang lain, tidak teguh memegang amanat, sulit hati. Halaman 10 1. Orang pemalas tetapi banyak yang diinginkannya selalu akan meminta dikasihani orang lain. Itu sangat tercela. 2. Orang pemalas seperti air di daun talas, plin-plan namanya. Jadilah dia manusia pengiri melihat keutamaan orang lain. 3. Amal yang baik seperti ilmu padi makin lama makin merunduk karena penuh bernas. Bila setiap orang berilmu padi maka kehidupan masyarakat pun akan seperti itu. Janganlah meniru padi yang hampa, tengadah tapi tanpa isi. 4. Jangan pula meniru padi rebah muda, hasilnya nihil, karena tidak dapat dipetik hasilnya. Halaman 11 1. Orang yang berwatak rendah, pasti tidak akan hidup lama. 2. Sayangilah orang tua, oleh karena itu hati-hatilah dalam memilih istri, memilih hamba, agar hati orangtua tidak tersakiti. 3. Bertanyalah kepada orang- orang tua tentang agama hukum para leluhur, agar hirup tidak tersesat. 4. Ada dahulu (masa lampau) maka ada sekarang (masa kini), tidak akan ada masa sekarang kalau tidak ada masa yang terdahulu. 5. Ada pokok (pohon) ada pula batangnya, tidak akan ada batang kalau tidak ada pokoknya. 6. Bila ada tunggulnya maka tentu akan ada batang (catang)-nya. 7. Ada jasa tentu ada anugerahnya. Tidak ada jasa tidak akan ada anugerahnya. Perbuatan yang berlebihan akan menjadi sia-sia. Halaman 12 1. Perbuatan yang berlebihan akan menjadi sia- sia, dan akhirnya sama saja dengan tidak beramal yang baik. 2. Orang yang terlalu banyak keinginannya, ingin kaya sekaya-kayanya, tetapi tidak berkarya yang baik, maka keinginannya itu tidak akan tercapai. 3. Ketidakpastian dan kesemerawutan keadaan dunia ini disebabkan karena salah perilaku dan salah tindak dari para orang terkemuka, penguasa, para cerdik pandai, para orang kaya; semuanya salah bertindak, termasuk para raja di seluruh dunia. 4. Bila tidak mempunyai rumah/kekayaan yang banyak ya jangan beristri banyak. 5. Bila tidak mampu berproses menjadi orang suci, ya jangan bertapa. Halaman 13 1. Keinginan tidak akan tercapai tanpa berkarya, tidak punya keterampilan, tidak rajin, rendah diri, merasa berbakat buruk. Itulah yang disebut hidup percuma saja. 2. Tirulah wujudnya air di sungai, terus mengalir dalam alur yang dilaluinya. Itulah yang tidak sia-sia. Pusatkan perhatian kepa cita-cita yang diinginkan. Itulah yang disebut dengan kesempurnaan dan keindahan. 3. Teguh semangat tidak mempedulikan hal-hal yang akan memengaruhi tujuan kita. 4. Perhatian harus selalu tertuju/terfokus pada alur yang dituju. 5. Senang akan keelokan/ keindahan. 6. Kuat pendirian tidak mudah terpengaruh. 7. Jangan mendengarkan ucapan-ucapan yang buruk. 8. Konsentrasikan perhatian pada cita-cita yang ingin dicapai. Kepustakaan Ayatrohaedi dkk. 1987. Sewaka Darma, Sanghiyang Siksa Kandang Karesian - Amanat Galunggung. Depdikbud. Danasasmita, Saleh, dkk. 1983-1984. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat. Pemerintah Propinsi Daerah Tk I. Jawa Barat. Noorduyn J. dan A. Teeuw. 2009. Tiga Pustaka Sunda Kuna. Diterjemahkan oleh Hawe Setiawan. Jakarta: Pustaka Jaya. Suryalaga, H.R.Hidayat. “ Kuningan: Dengan Amanat Sewaka Darma dari Prabuguru Darmasiksa ”, makalah yang disampaikan pada Sosialisasi Garapan Dinas Tataruang & Permukiman Prop. Jabar. Di Kab. Kuningan, 17-10-2003, dan pada Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara VI (SIPN-VI) oleh MANASSA Cabang Bandung (Jawa Barat), 12-14 Agustus 2002 di Hotel Puri Khatulistiwa - Jatinangor – Sumedang dalam http:// www.sundanet.com/? p=244&cpage=1# comment-69411 Dec 2004 www.nalaroza.wordpress.com http:// akibalangantrang.blogspot.com/ 2008/09/naskah-amanat- galungung.html 19 February 2010, diposkan Jumat, 05 September 2008, diambil 19 February 2010

20 strategi perang Sunda abad XVI

Bagaimana strategi orang Sunda dulu berperang, belum banyak dibahas. Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian hanya menyebutkan nama-nama strategi perang yang diterapkan, paling tidak sampai abad ke-16. Dalam Sanghyang Siksakandang Karesian disebutkan, "Bila ingin tahu tentang perilaku perang, seperti makarabihwa, katrabihwa, lisangbihwa, singhabihwa, garudabihwa, cakrabihwa, sucimuka, brajapanjara, asumaliput, meraksimpir, gagaksangkur, luwakmaturut, kidangsumeka, babahbuhaya, ngalinggamanik, lemahmrewasa, adipati, prebusakti, pakeprajurit, tapaksawetrik, tanyalah panglima perang." (Danasasmita, dkk., 1987). Tulisan ini mencoba mendeskripsikan strategi perang dimaksud. Mudah- mudahan bisa jadi bahan kajian yang lebih mendalam untuk berbagai pemanfaatan. 1. Makarabihwa; cara mengalahkan musuh dengan tidak berperang. Mengalahkan musuh dari dalam musuh itu sendiri, dengan menggunakan kekuatan pengaruh. Praktik merusak kekuatan musuh dari dalam agar merasa kalah sebelum berperang. 2. Katrabihwa; posisi prajurit saat menyerang musuh, ada yang ditempatkan di atas, biasanya dengan menggunakan senjata panah, dan prajurit yang di bawah, biasanya menggunakan tombak dan berkuda. 3. Lisangbihwa; sebelum perang dimulai, Panglima Perang/Hulu Jurit mengumpulkan pasukan tempurnya agar seluruh prajurit berteguh hati menjadi pasukan yang berani dan bersemangat berperang untuk mengalahkan musuh walau pun kekuatan lebih kecil. 4. Singhabihwa; mengalahkan pertahanan musuh dengan cara menyusup. Para penyusup merupakan tim kecil yang jumlahnya hanya lima orang, terdiri atas ahli perang, ahli strategi, dan ahli memengaruhi musuh. Musuh terpengaruh oleh strategi yang kita lancarkan sehingga pada tahap ini musuh hancur oleh pikirannya sendiri. Waktunya sangat lama. 5. Garudabihwa; memusatkan kekuatan pasukan pada posisi yang tersebar di beberapa titik penting yang telah ditentukan untuk pertempuran. Kekuatan di setiap titik jumlahnya 20 orang. Dengan simbol-simbol khusus, prajurit yang tersebar itu akan menyerang secara berbarengan dan sekaligus, kemudian menyebar kembali untuk mempersiapkan penyerangan berikutnya. 6. Cakrabihwa; menyusupkan beberapa orang prajurit ke benteng pertahanan musuh dengan cara rahasia dengan tujuan utama untuk menyusupkan persenjataan yang kelak akan digunakan oleh pasukan saat bertempur. Mereka harus prajurit yang sangat terlatih dan mengetahui medan serta mengetahui cara-cara penyusupan. 7. Sucimuka; upaya pembersihan musuh setelah perang usai sebab biasanya masih ada musuh yang berdiam di persembunyian. Para prajurit harus mengetahui daerah- daerah yang pantas digunakan sebagai tempat berlindung dan menjadi persembunyian musuh yang sudah tercerai-berai. Prajurit harus mengetahui jalan- jalan yang dijadikan tempat untuk meloloskan diri. Pembersihan ini sangat penting agar musuh tidak menghimpun kekuatannya kembali. 8. Brajapanjara; mendidik beberapa orang musuh agar bekerja untuk pihak kita. Setelah dianggap tidak membahayakan, mereka dilepas kembali ke daerahnya untuk dijadikan mata-mata. Orang itulah yang akan mengirimkan informasi mengenai kekuatan musuh, seperti jenis dan jumlah senjata yang mereka miliki, dan strategi perang apa yang akan digunakan. Harus sangat hati- hati saat mendidiknya. 9. Asumaliput; setiap prajurit harus mengetahui tempat berlindung atau bersembunyi serta tidak akan diketahui musuh, seperti di dalam gua, tetapi harus pandai melihat situasi. 10. Meraksimpir; cara berperang ketika prajurit berada di daerah yang lebih rendah, sedangkan musuh berada di daerah yang lebih tinggi. Bila posisinya demikian, pasukan dipersenjatai dengan tombak dan berkuda. 11. Gagaksangkur; cara berperang ketika prajurit berada di daerah yang lebih tinggi, sedangkan musuh berada di bawah. Cara mengalahkan musuh dari atas, seperti cara meloncat atau menghadang. 12. Luwakmaturut; gerakan untuk memburu musuh yang kabur dari lapangan pertempuran. Prajurit harus tahu cara pengejaran yang paling cepat di berbagai medan yang berbeda. Pengejaran musuh harus sampai di tempat persembunyiannya, apakah di air, atau yang lari ke dalam hutan. 13. Kudangsumeka; cara menggunakan pedang yang lebih kecil. Bila menyusup ke daerah musuh, prajurit harus mengetahui cara-cara menyembunyikan pedang/ senjata itu agar tidak diketahui musuh. 14. Babahbuhaya; cara menghimpun kekuatan prajurit pada saat pasukan tertekan dan terjepit musuh, seperti cara/ upaya memulihkan mental, semangat, dan kekuatan prajurit. Dilatihkan ke mana harus berlari, jangan sampai berlari ke daerah kekuatan musuh. Cara bagaimana bila saat berlari ada musuh di depan, atau musuh yang terus mengejar, serta cara bagaimana memilih tempat perlindungan. Bila terlihat aman, prajurit merundingkan upaya penyelamatan dan merencanakan penyerangan balik. 15. Ngalinggamanik; prajurit yang sudah terlatih dipersenjatai dengan senjata rahasia, atau senjata keramat kerajaan, seperti tombak. Prajurit dilatih untuk mengendalikan senjata keramat itu, bila tidak, bisa-bisa prajurit itu yang terpental atau pingsan. 16. Lemahmrewasa; cara berperang di hutan belantara atau di tempat-tempat yang rimbun, terutama ketika pasukan dalam keadaan terdesak dengan senjata pasukan yang sudah tidak mampu melayani kekuatan persenjataan musuh. Semua potensi yang bisa digunakan sebagai senjata dimanfaatkan, seperti batu atau batang pohon. 17. Adipati; teknik untuk melatih prajurit yang akan dijadikan prajurit dengan kemampuan khusus. Pasukan komando yang memunyai kemampuan perseorangan yang tangguh dan dapat diandalkan. 18. Prebusakti; setiap prajurit dibekali latihan keahlian khusus seperti tenaga dalam agar senjata lebih berisi, lebih matih, punya kekuatan mengalahkan musuh secara luar biasa. 19. Pakeprajurit; sering kali raja menitahkan untuk tidak berperang. Prajurit terpilih, yaitu prajurit yang sudah terlatih untuk berunding, mengadakan perundingan- perindingan sehingga musuh dapat dikalahkan tanpa berperang. Namun, Panglima Perang/Sang Hulu Jurit, sesungguhnya menghendaki kemenangan dengan cara berperang. 20. Tapaksawetrik; cara-cara berperang di air: bagaimana cara mengelabui musuh agar tidak mengetahui pergerakan prajurit, serta cara-cara menggunakan senjata di air, seperti di sungai. Prajurit harus terlatih untuk mendekati musuh melalui jalan air. Senjata Persenjataan yang digunakan dalam perang pada zaman itu pada umumnya sudah berupa senjata dari logam, apakah itu tombak atau pun pedang. Peninggalan senjata yang ditemukan di beberapa tempat di Jawa Barat, masih dapat dilihat di Museum Nasional di Jakarta (Lihat Krom, "Laporan Kepurbakalaan Jawa Barat 1914"). Sementara itu, kendaraan yang digunakan saat bertempur pada umumnya adalah kuda. Tulisan ini merupakan upaya pendahuluan untuk mengetahui deskripsi dari setiap istilah strategi perang yang terdapat dalam Sanghyang Siksakandang Karesian. Sumber: http://pikiran- rakyat.com/index.php? mib=beritadetail&id=23546

Ramalan jayabaya raja kediri

Syair Jayabaya (dalam tiga bahasa: bahasa Jawa Kuno [asli], bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris) Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran. Kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda. One day there will be a cart without a horse. Tanah Jawa kalungan wesi. Tanah Jawa berkalung besi. The island of Java will wear a necklace of iron. Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang. Perahu berlayar di ruang angkasa. There will be a boat flying in the sky. Kali ilang kedhunge. Sungai kehilangan lubuk. The river will loose its current. Pasar ilang kumandhang. Pasar kehilangan suara. There will be markets without crowds. Iku tandha yen tekane jaman Jayabaya wis cedhak. Itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat. These are the signs that the Jayabaya era is coming. Bumi saya suwe saya mengkeret. Bumi semakin lama semakin mengerut. The earth will shrink. Sekilan bumi dipajeki. Sejengkal tanah dikenai pajak. Every inch of land will be taxed. Jaran doyan mangan sambel. Kuda suka makan sambal. Horses will devour chili sauce. Wong wadon nganggo pakeyan lanang. Orang perempuan berpakaian lelaki. Women will dress in men ’s clothes. Iku tandhane yen wong bakal nemoni wolak-waliking jaman. Itu pertanda orang akan mengalami zaman berbolak- balik. These are signs that the people is facing the era of turning upside down. Akeh janji ora ditetepi. Banyak janji tidak ditepati. Many promises are unkept. Akeh wong wani nglanggar sumpahe dhewe. Banyak orang berani melanggar sumpah sendiri. Many break their oath. Manungsa padha seneng nyalah. Orang-orang saling lempar kesalahan. People will tend to blame on each other. Ora ngendahake hukum Allah. Tak peduli akan hukum Allah. They will ignore God’s law. Barang jahat diangkat-angkat. Yang jahat dijunjung-junjung. Evil things will be lifted up. Barang suci dibenci. Yang suci (justru) dibenci. Holy things will be despised. Akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit. Banyak orang hanya mementingkan uang. Many people will become fixated on money. Lali kamanungsan. Lupa jati kemanusiaan. Ignoring humanity. Lali kabecikan. Lupa hikmah kebaikan. Forgetting kindness. Lali sanak lali kadang. Lupa sanak lupa saudara. Abandoning their families. Akeh bapa lali anak. Banyak ayah lupa anak. Fathers will abandon their children. Akeh anak wani nglawan ibu. Banyak anak berani melawan ibu. Children will be disrespectful to their mothers. Nantang bapa. Menantang ayah. And battle against their fathers. Sedulur padha cidra. Saudara dan saudara saling khianat. Siblings will collide violently. Kulawarga padha curiga. Keluarga saling curiga. Family will be suspicious of each other. Kanca dadi mungsuh. Kawan menjadi lawan. Friends become enemies. Akeh manungsa lali asale. Banyak orang lupa asal-usul. People will forget their roots. Ukuman ratu ora adil. Hukuman raja tidak adil The ruler ’s judgements will be unjust. Akeh pangkat sing jahat lan ganjil. Banyak pembesar jahat dan ganjil There will be many peculiar and evil leaders. Akeh kelakuan sing ganjil. Banyak ulah-tabiat ganjil Many will behave strangely. Wong apik-apik padha kapencil. Orang yang baik justru tersisih. Good people will be isolated. Akeh wong nyambut gawe apik- apik padha krasa isin. Banyak orang yang bekerja halal justru malu. Many people will be too embarrassed to do the right things. Luwih utama ngapusi. Lebih mengutamakan menipu. Choosing falsehood instead. Wegah nyambut gawe. Malas menunaikan kerja. Many will be lazy to work. Kepingin urip mewah. Inginnya hidup mewah. Seduced by luxury. Ngumbar nafsu angkara murka, nggedhekake duraka. Melepas nafsu angkara murka, memupuk durhaka. They will take the easy path of crime and deceit. Wong bener thenger-thenger. Si benar termangu-mangu. The honest will be confused. Wong salah bungah. Si salah gembira ria. The dishonest will be joyful. Wong apik ditampik-tampik. Si baik ditolak ditampik. The good will be rejected. Wong jahat munggah pangkat. Si jahat naik pangkat. The evil ones will rise to the top. Wong agung kasinggung. Yang mulia dilecehkan Noble people will be abused. Wong ala kapuja. Yang jahat dipuji-puji. Evil doers will be worshipped. Wong wadon ilang kawirangane. Perempuan hilang malu. Women will become shameless. Wong lanang ilang kaprawirane. Laki-laki hilang perwira Men will loose their courage. Akeh wong lanang ora duwe bojo. Banyak laki-laki tak mau beristri. Men will choose not to get married. Akeh wong wadon ora setya marang bojone. Banyak perempuan ingkar pada suami. Women will be unfaithful to their husbands. Akeh ibu padha ngedol anake. Banyak ibu menjual anak. Mothers will sell their babies. Akeh wong wadon ngedol awake. Banyak perempuan menjual diri. Women will engage in prostitution. Akeh wong ijol bebojo. Banyak orang tukar pasangan. Couples will trade partners. Wong wadon nunggang jaran. Perempuan menunggang kuda. Women will ride horses. Wong lanang linggih plangki. Laki-laki naik tandu. Men will be carried in a stretcher. Randha seuang loro. Dua janda harga seuang (red.: seuang = 8,5 sen). Two divorcees will be valued at 8,5 cents. Prawan seaga lima. Lima perawan lima picis. A virgin will be valued at 10 cents. Dhudha pincang laku sembilan uang. Duda pincang laku sembilan uang. A crippled widower will be valued at nine uang ’s Akeh wong ngedol ngelmu. Banyak orang berdagang ilmu. Many will earn their living by trading their knowledge. Akeh wong ngaku-aku. Banyak orang mengaku diri. Many will claims other’s merits as their own. Njabane putih, njerone dhadhu. Di luar putih, di dalam jingga. White outwardly but orange inwardly Ngakune suci, nanging sucine palsu. Mengaku suci, tapi palsu belaka. They will proclaim their righteousness despite their sinful ways. Akeh bujuk akeh lojo. Banyak tipu banyak muslihat. Many will use sly and dirty tricks. Akeh udan salah mangsa. Banyak hujan salah musim. Rains will fall in the wrong season. Akeh prawan tuwa. Banyak perawan tua. Many women will remain virgins into their old age. Akeh randha nglairake anak. Banyak janda melahirkan bayi. Many divorcees will give birth. Akeh jabang bayi lahir nggoleki bapakne. Banyak anak lahir mencari bapaknya. Newborns will search for their fathers. Agama akeh sing nantang. Agama banyak ditentang. Religions will be attacked. Prikamanungsan saya ilang. Perikemanusiaan semakin hilang. Humanitarianism will no longer have importance. Omah suci dibenci. Rumah suci dijauhi. Holy temples will be hated. Omah ala saya dipuja. Rumah maksiat makin dipuja. They will be more fond of praising evil places. Wong wadon lacur ing ngendi- endi. Di mana-mana perempuan lacur Prostitution will be everywhere. Akeh laknat. Banyak kutuk There will be many worthy of damnation. Akeh pengkianat. Banyak pengkhianat. There will be many betrayals. Anak mangan bapak. Anak makan bapak. Children will be against father. Sedulur mangan sedulur. Saudara makan saudara. Siblings will be against siblings. Kanca dadi mungsuh. Kawan menjadi lawan. Friends will become enemies. Guru disatru. Guru dimusuhi. Teacher is treated as an enemy. Tangga padha curiga. Tetangga saling curiga. Neighbours will become suspicious of each other. Kana-kene saya angkara murka. Angkara murka semakin menjadi-jadi. And ruthlessness will be everywhere. Sing weruh kebubuhan. Barangsiapa yang tahu terkena beban. The eyewitness has to take the responsibility. Sing ora weruh ketutuh. Sedang yang tak tahu disalahkan. The ones who know nothing will be prosecuted. Besuk yen ana peperangan. Kelak jika terjadi perang. One day when there will armageddon. Teka saka wetan, kulon, kidul, lan lor. Datang dari timur, barat, selatan, dan utara. In the east, the west, the south, and the north. Akeh wong becik saya sengsara. Banyak orang baik makin sengsara. Good people will suffer more. Wong jahat saya seneng. Sedang yang jahat makin bahagia. Bad people will be happier. Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul. Ketika itu burung gagak dibilang bangau. When this happens, crow will be said heron. Wong salah dianggep bener. Orang salah dipandang benar. The wrong person will be assumed to be honest. Pengkhianat nikmat. Pengkhianat nikmat. Betrayers will live in the utmost of material comfort. Durjana saya sempurna. Durjana semakin sempurna. The deceitful will decline even further. Wong jahat munggah pangkat. Orang jahat naik pangkat. The evil persons will rise to the top. Wong lugu kebelenggu. Orang yang lugu dibelenggu. The modest will be trapped. Wong mulya dikunjara. Orang mulia dipenjara. The noble will be imprisoned. Sing curang garang. Yang curang berkuasa. The fraudulent will be ferocious. Sing jujur kojur. Yang jujur sengsara. The honest will unlucky. Pedagang akeh sing keplarang. Pedagang banyak yang tenggelam. Many merchants will fly in a mess. Wong main akeh sing ndadi. Penjudi banyak merajalela. Gamblers will become more addicted to gambling. Akeh barang haram. Banyak barang haram. Illegal things will be everywhere. Akeh anak haram. Banyak anak haram. Many babies will be born outside of legal marriage. Wong wadon nglamar wong lanang. Perempuan melamar laki-laki. Women will propose marriage. Wong lanang ngasorake drajate dhewe. Laki-laki memperhina derajat sendiri. Men will lower their own status. Akeh barang-barang mlebu luang. Banyak barang terbuang-buang. The merchandise will be left unsold. Akeh wong kaliren lan wuda. Banyak orang lapar dan telanjang. Many people will suffer from starve and stark-naked. Wong tuku ngglenik sing dodol. Pembeli membujuk penjual. Buyers will flatter the sellers. Sing dodol akal okol. Si penjual bermain siasat. Sellers will play tricks and muscles. Wong golek pangan kaya gabah diinteri. Mencari rezeki ibarat gabah ditampi. The way people earn a living will be as paddies being sifted. Sing kebat kliwat. Siapa tangkas lepas. Some will go wild out of control. Sing telah sambat. Siapa terlanjur menggerutu. Those who are too far groaning. Sing gedhe kesasar. Si besar tersasar. The ones on the top will get lost. Sing cilik kepleset. Si kecil terpeleset. The ordinary people will slip. Sing anggak ketunggak. Si congkak terbentur. The arrogant ones will be collided. Sing wedi mati. Si takut mati. The fearful ones will not survive. Sing nekat mbrekat. Si nekat mendapat berkat. The risk takers will be successful. Sing jerih ketindhih. Si hati kecil tertindih The ones who are afraid will be crushed. Sing ngawur makmur. Yang ngawur makmur The careless ones will be wealthy. Sing ngati-ati ngrintih. Yang berhati-hati merintih. The careful ones will whine about their suffering. Sing ngedan keduman. Yang main gila menerima bagian. The crazy ones will get their portion. Sing waras nggagas. Yang sehat pikiran berpikir. The ones who are healthy will think wisely. Wong tani ditaleni. Si tani diikat. The farmers will be controlled. Wong dora ura-ura. Si bohong menyanyi-nyanyi Those who are corrupt will sing happily. Ratu ora netepi janji, musna panguwasane. Raja ingkar janji, hilang wibawanya. The rulers do not keep their promises, will lose their power. Bupati dadi rakyat. Pegawai tinggi menjadi rakyat. The leaders will become ordinary persons. Wong cilik dadi priyayi. Rakyat kecil jadi priyayi. The ordinary people will become leaders. Sing mendele dadi gedhe. Yang curang jadi besar. The dishonest persons will rise to the top. Sing jujur kojur. Yang jujur celaka. The honest ones will be unlucky. Akeh omah ing ndhuwur jaran. Banyak rumah di punggung kuda. There will be many houses on horses ’ back. Wong mangan wong. Orang makan sesamanya. People will attack other people. Anak lali bapak. Anak lupa bapak. Children will ignore their fathers. Wong tuwa lali tuwane. Orangtua lupa ketuaan mereka. The olds forget their oldness. Pedagang adol barang saya laris. Jualan pedagang semakin laris. Merchants will sell out of their merchandise. Bandhane saya ludhes. Namun harta mereka makin habis. Yet, they will lose money. Akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan. Banyak orang mati lapar di samping makanan. Many people will die from starvation in prosperous times. Akeh wong nyekel bandha nanging uripe sangsara. Banyak orang beharta tapi hidup sengsara. Many people will have lots of money yet, be unhappy in their live. Sing edan bisa dandan. Yang gila bisa bersolek. The crazy one will be beautifully attired. Sing bengkong bisa nggalang gedhong. Si bengkok membangun mahligai. The insane will be able to build a lavish estate. Wong waras lan adil uripe nggrantes lan kepencil. Yang waras dan adil hidup merana dan tersisih. The ones who are fair and sane will suffer in their lives and will be isolated. Ana peperangan ing njero. Terjadi perang di dalam. There will be internal wars. Timbul amarga para pangkat akeh sing padha salah paham. Terjadi karena para pembesar banyak salah paham. As a result of misunderstandings between those at the top. Durjana saya ngambra-ambra. Kejahatan makin merajalela. The numbers of evil doers will increase sharply. Penjahat saya tambah. Penjahat makin banyak. There will be more criminals. Wong apik saya sengsara. Yang baik makin sengsara. The good people will live in misery. Akeh wong mati jalaran saka peperangan. Banyak orang mati karena perang. There will be many people die in a war. Kebingungan lan kobongan. Karena bingung dan kebakaran. Others will be disoriented, and their property burnt. Wong bener saya thenger- thenger. Si benar makin tertegun. The honest will be confused. Wong salah saya bungah- bungah. Si salah makin sorak sorai. The dishonest will be joyful. Akeh bandha musna ora karuan lungane. Akeh pangkat lan drajat pada minggat ora karuan sababe Banyak harta hilang entah ke mana. Banyak pangkat dan derajat lenyap entah mengapa. There will be disappearance of great riches, titles, and jobs. Akeh barang-barang haram, akeh bocah haram. Banyak barang haram, banyak anak haram. There will be many illegal goods. Bejane sing lali, bejane sing eling. Beruntunglah si lupa, beruntunglah si sadar. Good luck for the ignoramus, good luck for anyone who is aware. Nanging sauntung-untunge sing lali. Tapi betapa pun beruntung si lupa. Yet, no matter how lucky is the ignoramus. Isih untung sing waspada. Masih lebih beruntung si waspada. It is more lucky for anyone who is alert. Angkara murka saya ndadi. Angkara murka semakin menjadi. Ruthlessness will become worse. Kana-kene saya bingung. Di sana-sini makin bingung. Everywhere the situation will be chaotic. Pedagang akeh alangane. Pedagang banyak rintangan. Doing business will be more difficult. Akeh buruh nantang juragan. Banyak buruh melawan majikan. Workers will challenge their employers. Juragan dadi umpan. Majikan menjadi umpan. The employers will become bait. Sing suwarane seru oleh pengaruh. Yang bersuara tinggi mendapat pengaruh. Those who speak out will be more influential. Wong pinter diingar-ingar. Si pandai direcoki. The wise ones will be ridiculed. Wong ala diuja. Si jahat dimanjakan. The evil ones will be spoiled. Wong ngerti mangan ati. Orang yang mengerti makan hati. The knowledgeable ones will be in much distress. Bandha dadi memala. Harta-benda menjadi penyakit The material comfort will incite crime. Pangkat dadi pemikat. Pangkat menjadi pemukau. Rank and position will become enticing. Sing sawenang-wenang rumangsa menang. Yang sewenang-wenang merasa menang Those who act arbitrarily will feel as if they are the winners. Sing ngalah rumangsa kabeh salah. Yang mengalah merasa serba salah. Those who act wisely will feel as if everything is wrong. Ana bupati saka wong sing asor imane. Ada raja berasal dari orang yang rendah imannya. There will be leaders who are weak in their faith. Patihe kepala judhi. Maha menterinya benggol judi The chief minister is no one but a leader of the gamblers. Wong sing atine suci dibenci. Yang berhati suci dibenci Those who have a holy heart will be rejected. Wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat. Yang jahat dan pandai menjilat makin kuasa. Those who are evil, and know how to flatter their boss, will be promoted. Pemerasan saya ndadra. Pemerasan merajalela. Human exploitation will be worse. Maling lungguh wetenge mblenduk. Pencuri duduk berperut gendut. The corpulent thieves will be able to sit back and relax. Pitik angrem saduwure pikulan. Ayam mengeram di atas pikulan. The hen will hacth eggs in a carrying pole. Maling wani nantang sing duwe omah. Pencuri menantang si empu rumah. Thieves will not be afraid to challenge the target. Begal pada ndhugal. Penyamun semakin kurang ajar. Robbers will dissent into greater evil. Rampok padha keplok-keplok. Perampok semua bersorak- sorai. Looters will be given applause. Wong momong mitenah sing diemong. Si pengasuh memfitnah yang diasuh People will slander their caregivers. Wong jaga nyolong sing dijaga. Si penjaga mencuri yang dijaga. Guards will steel the very things they are to protect. Wong njamin njaluk dijamin. Si penjamin minta dijamin. Guarantors will ask for collateral. Akeh wong mendem donga. Banyak orang mabuk doa. Many will ask for blessings. Kana-kene rebutan unggul. Di mana-mana berebut menang. Everybody will compete for personal victory. Angkara murka ngombro- ombro. Angkara murka menjadi-jadi. Ruthlessness will be everywhere. Agama ditantang. Agama ditantang. Religions will be questioned. Akeh wong angkara murka. Banyak orang angkara murka. Many people will be greedy for power, wealth and, position. Nggedhekake duraka. Membesar-besarkan durhaka. Rebelliousness will increase. Ukum agama dilanggar. Hukum agama dilanggar. Religious law will be broken. Prikamanungsan diiles-iles. Perikemanusiaan diinjak-injak. Human rights will be violated. Kasusilan ditinggal. Tata susila diabaikan Ethics will left behind. Akeh wong edan, jahat, lan kelangan akal budi. Banyak orang gila, jahat, dan hilang akal budi. Many will be insane, cruel, and immoral. Wong cilik akeh sing kepencil. Rakyat kecil banyak tersingkir. Ordinary people will be segregated. Amarga dadi korbane si jahat sing jajil. Karena menjadi korban si jahat si laknat. They will become the victims of evil and cruel persons. Banjur ana Ratu duwe pengaruh lan duwe prajurit. Lalu datang raja berpengaruh dan berprajurit. Then there will come a ruler who is influential. Lan duwe prajurit. Dan punya prajurit. And having armies. Negarane ambane saprawolon. Lebar negeri seperdelapan dunia. The country will measured one- eighth of the world. Tukang mangan suap saya ndadra. Pemakan suap semakin merajalela. The number of people who commit bribery will increase. Wong jahat ditampa. Orang jahat diterima. The evil ones will be accepted. Wong suci dibenci. Orang suci dibenci. The innocent ones will be rejected. Timah dianggep perak. Timah dianggap perak. Tin will be thought to be silver. Emas diarani tembaga. Emas dibilang tembaga Gold will be thought to be copper. Dandang dikandakake kuntul. Gagak disebut bangau. A crow will be thought to be an heron. Wong dosa sentosa. Orang berdosa sentosa. The sinful ones will be safe and live in tranquility. Wong cilik disalahake. Rakyat jelata dipersalahkan. The poor will be blamed. Wong nganggur kesungkur. Si penganggur tersungkur. The unemployed will be rooted up. Wong sregep krungkep. Si tekun terjerembab. The diligent ones will be forced down. Wong nyengit kesengit. Orang busuk hati dibenci. The people will seek revenge against the fiercely violent ones. Buruh mangluh. Buruh menangis. Workers will suffer from overwork. Wong sugih krasa wedi. Orang kaya ketakutan. The rich will feel unsafe. Wong wedi dadi priyayi. Orang takut jadi priyayi. People who belong to the upper class will feel insecure. Senenge wong jahat. Berbahagialah si jahat. Happiness will belong to the evil persons. Susahe wong cilik. Bersusahlah rakyat kecil. Trouble will belong to the poor. Akeh wong dakwa dinakwa. Banyak orang saling tuduh. Many will sue each other. Tindake manungsa saya kuciwa. Ulah manusia semakin tercela. Human behaviour will fall short of moral enlightenment. Ratu karo ratu pada rembugan negara endi sing dipilih lan disenengi. Raja dan raja berunding negeri mana yang dipilih dan disukai. Leaders will discuss and choose which countries are their favourites and which ones are not. Hore! Hore! Hore! Hore! Horray! Horray! Wong Jawa kari separo. Orang Jawa tinggal separo. The Javanese will remain half. Landa-Cina kari sejodho. Belanda-Cina tinggal sepasang. The Dutch and the Chinese each will remain a pair. Akeh wong ijir, akeh wong cethil. Banyak orang kikir, banyak orang bakil. Many become stingy. Sing eman ora keduman. Si hemat tidak mendapat bagian. The cautious ones will not get their portion. Sing keduman ora eman. Yang mendapat bagian tidak berhemat. The ones who receive their portion will be prodigal. Akeh wong mbambung. Banyak orang berulah dungu. Stupidity will be everywhere. Akeh wong limbung. Banyak orang limbung. Bewildered persons will be everywhere. Selot-selote mbesuk wolak- waliking jaman teka. Lambat-laun datanglah kelak terbaliknya zaman. One day, yet slowly, the age of turbulence will come.

Sedikit penjelasan tentang wangsit siliwangi

Wangsit Siliwangi: "Suatu saat nanti, apabila tengah malam terdengar suara pembawa panji, nah itu adalah tandanya." Sosok "Satrio Piningit" memang masih misterius. Banyak sudah yang mencoba untuk menemukannya dengan caranya sendiri-sendiri. Alhasil, ada yang yakin telah menemukannya, bahkan juga ada yang mengaku dirinyalah si Satrio Piningit tersebut. Apabila diteliti maka sosok yang telah ditemukan itu masih bisa diragukan apakah memang dia si calon Ratu Adil? Budak Angon atau "Penggembala" sesungguhnya merupakan konsepsi tentang kehidupan dan kemanusiaan. Dalam konteks diri manusia, Budak Angon merupakan konsep tentang penemuan jati diri dan pengendalian diri untuk apa sesungguhnya kita dicipta. Selain jasad kita yang sesungguhnya hanyalah "tunggangan" yang harus ditundukkan, dikendalikan, dan diarahkan melalui proses "penggembalaan", dalam diri kita juga terdapat kumpulan "sasatoan" yang tidak untuk dimatikan melainkan untuk digembalakan sehingga menjadi potensi dan energi positif bagi penemuan misi hidup kita. Dalam konteks kehidupan sesama, Budak Angon menjelaskan suatu upaya dan proses "penertiban", pembangunan kesadaran, serta pengarahan hubungan antarsesama yang dilandasi cinta dan kasih sayang. Suatu tatanan kehidupan yang lebih berkeadilan. Dalam konteks sosok, pribadi-pribadi yang bekerja keras dalam upaya dan proses yang demikianlah disebut Budak Angon. Keragu-raguan yang muncul mendorong untuk menelaah dan mempelajari kembali apa yang telah diungkapkan dalam naskah-naskah leluhur mengenai sosok Satrio Piningit sejati. Salah satu naskah yang biasa kita gunakan sebagai rujukan yaitu Uga Wangsit Siliwangi. Siliwangi dalam Ugo Wangsitnya menyebut si calon Ratu Adil dengan sebutan Bocah Angon atau Pemuda Penggembala. Beberapa hal yang disebutkan dalam Ugo Wangsit Siliwangi mengenai Bocah Angon yaitu : 1. Suara minta tolong. Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara para pembawa panji, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné.” Kata “suara minta tolong” sepertinya sama dengan ungkapan Joyoboyo dalam bait 169 yaitu “senang menggoda dan minta secara nista, ketahuilah bahwa itu hanya ujian, jangan dihina, ada keuntungan bagi yang dimintai artinya dilindungi anda sekeluarga “. Bocah Angon di awal kemunculannya akan beraksi melakukan hal-hal sebagai pertanda kedatangannya. Salah satunya adalah meminta tolong kepada orang di sekitar daerah Gunung Halimun. Tidak jelas mengapa dia minta tolong kepada orang lain, apakah dia dalam kesulitan ataukah keperluan lainnya. Yang pasti bila telah terjadi hal demikian berarti itu pertanda akan kemunculannya. Sementara dikaitkan dengan Ramalan Joyoboyo paba bait 169 disebutkan bila Bocah Angon tersebut “suka minta secara nista sebagai ujian”. Kalimat tersebut mengindikasikan bahwa minta tolong itu hanya sebatas ujian bagi yang dimintai pertolongan. Ujian apakah itu? belum diketahui ujian apa yang suka dilakukan Bocah Angon pada orang. Sebaiknya kita tunggu saja kejadiannya. 2. Mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Suatu saat nanti akan banyak hal yang ditemui, sebagian-sebagian. Sebab terlanjur dilarang oleh Pemimpin Pengganti! Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala. ” Kata terlanjur dilarang ini apa maksudnya? Apakah dilarang dalam mengungkap fakta-fakta, ato dilarang meluruskan sejarah? sepertinya masih butuh penafsiran lagi. Yang pasti Bocah Angon sepertinya tidak peduli dengan larangan pemimpin. Bahkan bukan hanya tidak peduli dengan larangan tersebut, tetapi lebih dari itu Bocah Angon melawan larangan si pemimpin itu sambil tertawa. Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaan si pemimpin bila dilawan sambil tertawa. Bisa- bisa Bocah Angon dalam situasi bahaya nih karena kerjanya selalu melawan sang pemimpin pengganti. Kata banyak yang ditemui sebagian-sebagian karena terlanjur dilarang pemimpin baru, menunjukkan bahwa yang akan ditemukan masyarakat memang hanya sebagian saja. Oleh karena sebagian saja maka yang ditemukan tersebut belumlah lengkap dan tentunya belum sempurna hasilnya. Tetapi tidak bagi Bocah Angon, dia terus saja mencari sambil melawan. Bisa jadi temuan si Bocah Angon ini kelak merupakan temuan yang paling lengkap dan mendekati kebenaran. 3. Dia gembalakan ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/ kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi. ” Bocah Angon memiliki kebiasaan mengumpulkan daun dan ranting. Kata daun dan ranting yang disebutkan Uga Wangsit Siliwangi dalam bahasa asli Sundanya yaitu “Kalakay jeung Tutunggul“. Kalakay merupakan daun lontar yang biasa digunakan oleh orang kita pada jaman dulu kala sebagai lembaran daun untuk menulis. Sementara Tutunggul merupakan ranting pohon yang biasa digunakan orang kita pada jaman dulu kala sebagai pena untuk menulis. Sehingga Kalakay dan Tutunggul bisa diartikan sebagai kertas dan pena. Si Bocah Angon ini memiliki kegemaran suka menggembalakan kertas dan pena . Dia terus mengumpulkan dan mengumpulkan kedua barang tersebut sebagai gembalaannya. Tidak jelas kenapa dia suka menggembalakan kertas dan pena. Kata mengumpulkan itu berarti kertas dan pena tersebut tidak hanya 1 buah, tetapi jumlahnya banyak dan itu menjadi barang kegemarannya. Selanjutnya disebutkan “Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/ kejadian “. Kalimat tersebut bisa berarti bahwa Bocah Angon menggembalakan kertas dan pena untuk menemukan sejarah dan kejadian. Ntah sejarah dan kejadian apa yang dia kumpulkan, tetapi bisa dimengerti bahwa di Nusantara banyak sekali sejarah yang dirubah, mungkin hal tersebut bisa juga terkait dengan pelurusan sejarah kita. Dia akan terus mengumpulkan sejarah dan kejadian-kejadian penting tentunya untuk menyelesaikan masalah di Nusantara. Wajar saja bila sejarah ditelusuri karena memang untuk menyelesaikan suatu masalah tidak bisa tidak harus mengetahui awal sejarahnya bagaimana bisa terjadi. Dengan kegemarannya menelusuri sejarah dan kejadian yang dituangkan dalam kertas dan pena tersebut kelak masalah di Nusantara akan bisa dibereskan dengan mudah. Semoga. 4. Rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu. Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu ”. Kata di ujung sungai menunjukkan bahwa rumah Bocah Angon letaknya berada dekat dengan hulu sungai. Siliwangi tidak memberikan gambaran berapa jarak antara rumah dengan sungai tersebut. Bisa jadi hanya beberapa meter dari sungai, tetapi bisa jadi puluhan meter dari sungai. Siliwangi juga tidak menyebutkan nama dari sungai tersebut sehingga rada menyulitkan untuk menentukan letak sungainya. Di Jawa terdapat banyak sekali sungai membentang dari utara hingga selatan. Dan rata-rata di pinggir sungai terdapat banyak rumah penduduk dan ini tentunya sangat menyulitkan untuk menentukan letak sungainya yang sesuai kata Siliwangi. Namun yang pasti Bocah Angon rumahnya dekat sungai sehingga bila ada yang mengaku dirinya Bocah Angon tetapi rumahnya jauh dari sungai berarti itu tidak sesuai dengan Ugo Wangsit Siliwangi. Kemudian untuk kata pintunya setinggi batu masih perlu dipertanyakan, apakah atap rumahnya terbuat dari batu? dan juga apakah pintu rumahnya juga terbuat dari batu? kok seperti rumah nenek moyang kita dulu. Bisa jadi demikian tetapi mungkin juga tidak demikian. Kalimat tersebut bisa dipahami bahwa rumah Bocah Angon tidak hanya 1 lantai, namun bertingkat rumahnya. Hal ini diperkuat dengan ungkapan Joyoboyo dalam bait 161 yaitu “berumah seperti Raden Gatotkaca, berupa rumah merpati susun tiga “. Dari ungkapan Joyoboyo menunjukkan ada 3 lantai rumah dari Bocah Angon. Tentunya bukan rumah biasa, bisa jadi rumah tingkat ekonomi menengah atau memang Bocah Angon dari keluarga kaya? belum bisa dipastikan. Oleh karena untuk membuat suatu rumah yang bertingkat dengan bahan semen untuk lantai 2nya, maka dari bahan semen yang padat otomatis akan membentuk batu yang keras . Sehingga bisa dipahami bila pintu lantai pertama akan setinggi batu (setinggi cor semen lantai 2). Memang kebanyakan rumah orang yang bertingkat pintunya pasti akan setinggi lantai 2, tepat di bawah cor semen yang telah menjadi batu tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa rumah Bocah Angon memang bertingkat yang pintunya setinggi lantai tingkat 2-nya. 5. Tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang ”. Kata rimbun oleh pohon Handeuleum dan Hanjuang berarti di depan rumah Bocah Angon terdapat 2 pohon yang sangat subur dan menjadi ciri khas rumahnya. Dalam hal ini hanya disebutkan 2 buah pohon saja, artinya memang hanya ada 2 buah pohon di depan rumahnya sebagai pembeda dari rumah lainnya. Apabila ditelusuri kedua jenis pohon tersebut dalam istilah bahasa Indonesianya memang belum diketahui apa namanya. Kedua kata tersebut sepertinya bahasa kuno dari daerah Sunda tempat Siliwangi berada. Hingga kini belum ada pihak yang merasa mengetahui kedua jenis pohon tersebut. Bahkan orang- orang asli Sundapun juga mengaku tidak mengetahui kedua jenis pohon itu. Kita tunggu saja kelak akan kita ketahui juga. Sementara itu beberapa kalangan justru menafsirkan kata Handeuleum dan Hanjuang sebagai simbol saja. Benarkah kedua pohon itu sebenarnya bukan pohon hidup di atas tanah, tetapi sekedar simbol saja? Coba anda lihat kembali Siliwangi menyebut Pemuda Penggembala dengan “Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. ” Kata pemuda penggembala itu cuma simbol dari Siliwangi. Kemudian simbol tersebut dijelaskan bila yang digembalakan bukan binatang, tetapi daun dan ranting. Sementara kata Handeuleum dan Hanjuang tidak ada kalimat penjelasan selanjutnya . Sehingga kedua kata tersebut dapat dipastikan memang dua buah pohon yang tumbuh di atas tanah. Apabila simbol tentunya Siliwangi akan menjelaskan maksudnya. 6. Pergi bersama pemuda berjanggut. Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné! ” Siapakah pemuda berjanggut itu? Penyebutan pemuda berjanggut ini masih perlu dipertanyakan. Apakah pemuda tersebut merupakan kerabat atau keluarga atau teman ataukah pengasuh si Bocah Angon? Belum jelas diketahui karena memang dalam Ugo Wangsit Siliwangi tidak menyinggung mengenai hal tersebut. Dalam naskah-naskah lain memberitahukan bahwa Ratu Adil memiliki pengasuh yaitu Sabdo Palon. Mungkinkah pemuda berjanggut tersebut adalah Sabdo Palon? Sepertinya tidak karena Sabdo Palon merupakan sosok Jin, sementara penyebutan kata pemuda menunjukkan dia adalah manusia. Jadi pemuda berjanggut bukanlah Sabdo Palon. Misteri ini masih sulit untuk diungkap yang sebenarnya. Pada saat Bocah Angon masih menjadi sosok yang misteri, pada saat yang sama pula ada sosok lain yaitu pemuda berjanggut yang jati dirinya juga masih misteri. Namun yang pasti pemuda tersebut memiliki janggut dan kelak akan kita ketahui setelah tiba waktu kemunculan Bocah Angon. 7. Pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné! Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné !” Bocah Angon sepertinya tidak akan ditemukan sebelum kemunculannya. Ketika orang-orang sudah menemukan rumahnya yang di ujung sungai, dia telah pergi bersama pemuda berjanggut ke Lebak Cawéné. Siliwangi tidak menyebutkan kemudian orang-orang akan berhasil menemukan Bocah Angon di Lebak Cawéné setelah gagal menemukan di rumahnya. Tidak ada kalimat tersebut dalam Ugo Wangsit Siliwangi. Karena tidak ada kata itu maka bisa disimpulkan bahwa jarak antara rumah dengan Lebak Cawéné tidak dekat bahkan mungkin sangat jauh. Siliwangi juga tidak menyebutkan setelah pergi ke Lebak Cawéné si Bocah Angon kemudian kembali lagi ke rumahnya. Karena tidak ada kalimat yang menyebutkan hal tersebut berarti Lebak Cawéné merupakan tempat baru yang ditinggali Bocah Angon setelah rumahnya yang di ujung sungai di tinggal pergi. Apabila Bocah Angon kembali lagi ke rumahnya yang di ujung sungai, maka tentunya Siliwangi akan menyebutnya berhasil ditemukan di rumahnya. Sudah pasti bila orang telah menemukan rumahnya maka akan ditunggui kapan kembalinya. Tetapi ternyata tidak ada kalimat tersebut dalam Ugo Wangsit Siliwangi. Sampai saat ini belum diketahui dimana letak Lebak Cawéné berada. Dalam peta Jawa maupun peta Indonesia, tidak ada daerah yang diberi nama Lebak Cawéné. Oleh karena namanya yang masih asing inilah maka banyak kalangan menafsirkan menurut keyakinannya masing-masing. Ada yang menafsirkan Lebak Cawéné berada di lereng sebuah gunung. Ada juga yang mengatakan berada di petilasan Joyoboyo. Yang lain mengatakan berada di tempat yang ada guanya dan sebagainya membuat semakin tidak jelas saja letak Lebak Cawéné dimana. Tetapi apabila anda meyakini sebuah tempat merupakan Lebak Cawéné, maka bisa dipastikan anda akan memaksakan kehendak untuk menentukan 1 orang di daerah tersebut sebagai calon Ratu Adil. Wah jadi kasian pada orangnya kena sasaran. Ketahuilah bahwa Siliwangi tidak menyebutkan Bocah Angon akan berhasil ditemukan di Lebak Cawéné. Di sisi lain Siliwangi juga tidak memberikan ciri-ciri Lebak Cawéné yang dia katakan sehingga mustahil Lebak Cawéné bisa diketahui sebelum Ratu Adil muncul, kecuali anda lebih sakti dari Siliwangi. Kemampuan sama dengan Siliwangi aja tidak mungkin apalagi lebih tinggi dari Siliwangi, jelas tidak mungkin lagi. 8. Gagak berkoar di dahan mati. Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné! Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati”. Kata Gagak berkoar mungkinkah memang burung Gagak yang suka berkicau, ataukah itu merupakan simbol saja. Banyak kemungkinan mengenai Gagak berkoar tersebut. Namun dalam naskah-naskah lain seperti yang diungkap Ronggowarsito dan Joyoboyo bahwa Bocah Angon sebelum menjadi Ratu Adil hidupnya menderita, dia sering dihina oleh orang. Apabila dikaitkan dengan hal tersebut maka Gagak berkoar itu bisa juga diartikan sebagai orang-orang yang suka menghina si Bocah Angon. Oleh karena hidupnya yang selalu saja dihina orang, maka akhirnya Bocah Angonpun pergi meninggalkan rumahnya. Kemudian dia bersama pemuda berjanggut menuju ke Lebak Cawéné untuk membuka lahan baru disana. Semua mencari tumbal bisa saja diartikan sebagai mencari berita dan ketika yang dicari si Bocah Angon sudah tidak ada, maka tidak bisa tidak mencari berita dari para Gagak yang berkoar tersebut. 9. Ratu Adil sejati. Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati. Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala.” Kita disuruh Siliwangi untuk mencari Bocah Angon, karena dialah yang kelak akan menjadi Ratu Adil sejati. Sepertinya SIliwangi bermaksud memberikan pesan untuk berhati-hati dalam mencari Bocah Angon. Hal ini dikarenakan banyak sekali Bocah Angon palsu akan bermunculan di Jawa ini. Kemunculan Bocah Angon palsu bisa jadi karena dukungan orang lain akan dirinya sehingga dipaksa cocok menjadi Ratu Adil, tetapi juga bisa jadi karena terburu-buru meyakini dirinyalah si Bocah Angon. Lihatlah saat ini telah banyak terdengar dimana-mana dari Jawa bagian barat hingga Jawa bagian timur, orang-orang yang muncul diyakini sebagai Ratu Adil. Bahkan juga bermunculan dimana-mana orang yang mengakui dirinyalah Ratu Adil tersebut. Apabila dimintai bukti maka orang-orang tersebut akan mencocok-cocokkan diri dengan naskah-naskah yang ada untuk meyakinkan orang. Padahal kenyataan tidak semuanya cocok. Untuk itulah Siliwangi berpesan agar kita mencari Ratu Adil sejati, karena Ratu Adil sejati hanya satu sementara Ratu Adil palsu banyak sekali. Walaupun banyak Ratu Adil palsu, hal itu tidak akan mengubah kepastian munculnya yang asli. Apabila yang asli telah muncul maka semua akan terbukti mana yang asli dan mana yang palsu sesuai kata Siliwangi “Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala. ” Demikianlah beberapa hal mengenai Bocah Angon sesuai yang disebutkan dalam naskah Ugo Wangsit Siliwangi. Siliwangi sengaja tidak begitu jelas menggambarkan si Bocah Angon dalam naskahnya sehingga sangat menyulitkan kita untuk menemukannya. Kesengajaan ini dimengerti karena memang akan banyak pihak-pihak yang tentunya menghalangi kemunculan Ratu Adil dengan berbagai alasannya. Pada saat Siliwangi tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai Bocah Angon. Di waktu yang sama pula kita disuruh untuk mencari si Bocah Angon tersebut, memangnya kita ini terlahir sebagai detektif semua. Namun yang pasti kelak akan diketahui juga mana Ratu Adil palsu dan mana Ratu Adil yang sejati tentunya setelah tiba waktu kemunculannya. Untuk itu baik ditunggu, dicari maupun tidak sama sekali sepertinya hasilnya tetap sama. Waktunya akan segera tiba. Sumber: http:// eddycorret.wordpress.com/2008 /07/14/bocah-angon-menurut- ugo-wangsit-siliwangi/

Wangsit siliwangi

Carita Pantung Ngahiangna Pajajaran Pun, sapun kula jurungkeun Mukakeun turub mandepun Nyampeur nu dihandeuleumkeun Teundeun poho nu baréto Nu mangkuk di saung butut Ukireun dina lalangit Tataheun di jero iga! Carita Pantung Ngahiangna Pajajaran Pun, sapun kula jurungkeun Mukakeun turub mandepun Nyampeur nu dihandeuleumkeun Teundeun poho nu baréto Nu mangkuk di saung butut Ukireun dina lalangit Tataheun di jero iga! [edit] UGA WANGSIT SILIWANGI Saur Prabu Siliwangi ka balad Pajajaran anu milu mundur dina sateuacana ngahiang: Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, bisa ngadegkeun deui Pajajaran! Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih! ngaing moal ngahalang-halang. Sabab pikeun ngaing, hanteu pantes jadi Raja, anu somah sakabéhna, lapar baé jeung balangsak. Daréngékeun! Nu dék tetep ngilu jeung ngaing, geura misah ka beulah kidul! Anu hayang balik deui ka dayeuh nu ditinggalkeun, geura misah ka beulah kalér! Anu dék kumawula ka nu keur jaya, geura misah ka beulah wétan! Anu moal milu ka saha-saha, geura misah ka beulah kulon! Daréngékeun! Dia nu di beulah wétan, masing nyaraho: Kajayaan milu jeung dia! Nya turunan dia nu engkéna bakal maréntah ka dulur jeung ka batur. Tapi masing nyaraho, arinyana bakal kamalinaan. Engkéna bakal aya babalesna. Jig geura narindak! Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang! Dia nu marisah ka beulah kalér, daréngékeun! Dayeuh ku dia moal kasampak. Nu ka sampak ngan ukur tegal baladaheun. Turunan dia, lolobana bakal jadi somah. Mun aya nu jadi pangkat, tapi moal boga kakawasaan. Arinyana engké jaga, bakal ka seundeuhan batur. Loba batur ti nu anggang, tapi batur anu nyusahkeun. Sing waspada! Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku- lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi. Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula. Engké bakal réa nu kapanggih, sabagian-sabagian. Sabab kaburu dilarang ku nu disebut Raja Panyelang! Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma. Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa: tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun- alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan. Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal! Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu: warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala- gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru- niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon. Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh- buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang. Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala! Ti harita, ganti deui jaman. Ganti jaman ganti lakon! Iraha? Hanteu lila, anggeus témbong bulan ti beurang, disusul kaliwatan ku béntang caang ngagenclang. Di urut nagara urang, ngadeg deui karajaan. Karajaan di jeroeun karajaan jeung rajana lain teureuh Pajajaran. Laju aya deui raja, tapi raja, raja buta nu ngadegkeun lawang teu beunang dibuka, nangtungkeun panto teu beunang ditutup; nyieun pancuran di tengah jalan, miara heulang dina caringin, da raja buta! Lain buta duruwiksa, tapi buta henteu neuleu, buaya eujeung ajag, ucing garong eujeung monyét ngarowotan somah nu susah. Sakalina aya nu wani ngageuing; nu diporog mah lain satona, tapi jelema anu ngélingan. Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan: taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan............................. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger. Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun. Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; mingkin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato! Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang. Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta- buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné! Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui sakabéhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati. Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon! Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!

Sejarah nusantara, sebuah narasi alternatif

Oleh Timmy Hartadi Banyak sekali penafsiran umum akan nama Nusantara, mungkin yang paling populer adalah rujukan penamaan Nusantara yang dapat diakses di situs wikipedia, di sana disebutkan bahwa ‘Nusantara merupakan istilah yang dipakai oleh orang Indonesia untuk menggambarkan wilayah kepulauan Indonesia dari Sabang sampai Merauke’; pertanyaannya, apakah hanya sebatas itu sajakah wilayah Nusantara dulu? Candi Penataran Nusa sendiri sering diartikan dengan pulau atau kepulauan, penamaan dari leluhur kita dahulu dalam bahasa sansekerta, sedang dalam bahasa sansekerta dengan peradaban yang lebih lama, istilah Nusa disebut dengan Nuswa. Hasil dari penelitian kita terhadap beberapa rontal kuno dan beberapa prasasti, Nuswantara [atau Nusantara, selanjutnya kita bahasakan dengan Nusantara] adalah gabungan dari dua kata, Nusa dan Antara. Nusa sendiri dalam bahasa sansekerta kuno mempunyai arti “sebuah tempat yang dapat ditinggali” …jadi tidak disebutkan secara jelas bahwa itu adalah pulau. Konsepsi dari Nusantara sendiri adalah sebuah kesatuan wilayah yang dipimpin oleh suatu pemerintahan [kerajaan] secara absolut. Jadi dalam Nusantara terdapat satu Kerajaan Induk dengan puluhan bahkan ratusan kerajaan yang menginduk [bedakan menginduk dengan jajahan]. Dalam sebuah periodesasi jaman, Kerajaan induk itu mempunyai seorang pimpinan [raja] dengan kewenangannya yang sangat absolut, sehingga kerajaan- kerajaan yang menginduk sangat hormat dan loyal kepada Kerajaan Induk dan satu sama lain antara kerajaan yang menginduk akan saling bersatu dalam menghadapi ancaman keamanan dari negara-negara di luar wilayah Nusantara, sehingga tak pelak kesatuan dari Nusantara sangat disegani, dihormati dan ditakuti oleh negara-negara lain pada jaman dahulu. Kerajaan Induk biasanya dipimpin oleh seorang raja dengan gelar Sang Maha Prabu atau Sang Maha Raja, atau pada periode jaman sebelumnya dengan Sang Rakai atau Sang Mapanji, serta dibantu oleh Patih [sekarang setara dengan Perdana Menteri] yang bergelar Sang Maha Patih. Sedangkan kerajaan-kerajaan yang menginduk, istilah Kerajaan juga seringkali disebut dengan Kadipaten yang dipimpin oleh raja yang bergelar Kanjeng Prabu Adipati atau Kanjeng Ratu Adipati [apabila dipimpin oleh seorang raja wanita], dan Patih-nya bergelar Sang Patih. Pimpinan Kerajaan Induk tidaklah selamanya turun- temurun, tidak tergantung dari besar-kecilnya wilayah, tapi dilihat dari sosok pimpinannya yang mempunyai kharisma sangat tinggi, kecakapannya dalam memimpin negara dan keberaniannya dalam mengawal Nusantara, sehingga negara- negara lain [kerajaan yang menginduk/Kadipaten] akan dengan suka rela menginduk di bawah sang pemimpin, apalagi sang pemimpin biasanya dianggap mewarisi karisma dari pada dewa, dalam pewayangan- pun beberapa nama raja disebutkan sebagai Dewa sing ngejawantah. Nusantara, atau Indonesia kini [dari bahasa melayu dan pengembangan penamaan wilayah nusantara pada jaman masa kolonial], dahulu dikenal dunia sebagai bangsa yang besar dan terhormat. Orang luar bilang Nusantara adalah “jamrud khatulistiwa” karena di samping Negara kita ini kaya akan hasil bumi juga merupakan Negara yang luar biasa megah dan indah. Bahkan di dalam pewayangan, Nusantara ini dulu diberikan istilah berbahasa kawi/Jawa kuno, yaitu : “Negara kang panjang punjung pasir wukir, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerto raharja” Artinya dalam bahasa Indonesia kurang lebih yaitu : “Luas berwibawa yang terdiri atas daratan dan pegunungan, subur makmur, rapi tentram, damai dan sejahtera“ Sehingga tidak sedikit negara- negara yang dengan sukarela bergabung di bawah naungan bangsa kita. Hal ini tentu saja tidak lepas peranan dari leluhur-leluhur kita yang beradat budaya dan berakhlak tinggi. Di samping bisa mengatur kondisi Negara sedemikian makmur, leluhur kita juga bahkan dapat mengetahui kejadian yang akan terjadi di masa depan dan menuliskannya ke dalam karya sastra. Hal ini bertujuan sebagai panduan atau bekal anak cucunya nanti supaya lebih berhati-hati menjalani roda kehidupan. Akan tetapi penulisannya tidak secara langsung menggambarkan berbagai kejadian di masa mendatang, digunakanlah perlambang sehingga kita harus jeli untuk dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan perlambang itu tadi. Digunakannya perlambang karena secara etika tidaklah sopan apabila manusia mendahului takdir, artinya mendahului Tuhan yang Maha Wenang. Leluhur kita yang menuliskan kejadian masa depan adalah Maharaja di Kerajaan Dahana Pura bergelar Sang Mapanji Sri Aji Jayabaya dalam karyanya Jayabaya Pranitiradya dan Jayabaya Pranitiwakyo. Sering juga disebut “Jangka Jayabaya” atau oleh masyarakat sekarang dikenal dengan nama “Ramalan Jayabaya”, sebetulnya istilah ramalan kuranglah begitu tepat, karena “Jangka Jayabaya” adalah sebuah Sabda, Sabda Pandhita Ratu dari Sang Mapanji Sri Aji Jayabaya, yang artinya adalah akan terjadi dan harus terjadi. Leluhur lainnya adalah R. Ng. Ranggawarsita yang menyusun kejadian mendatang ke dalam tembang-tembang, antara lain Jaka Lodang, Serat Kalatidha, Sabdatama, dll. Kaitannya dengan penanggalan jaman yang ada di Jangka Jayabaya, kita berhasil menemukan bahwa sejarah Nusantara tidak sekerdil sejarah yang tertulis di buku-buku pelajaran sejarah sekolah yang resmi atau literasi sejarah yang ada. Bahkan lebih dari itu, kami menemukan bukti tentang kebesaran leluhur Nusantara yang di peradaban-peradaban sebelumnya mempunyai wilayah yang lebih besar dari yang kita duga selama ini. Data yang diperoleh terdapat di beberapa relief dan prasasti yang dapat dilihat dan dimengerti oleh semua orang. Pola pembacaan yang telah berhasil dipetakan dengan mendokumentasikan lebih dari 20 jenis aksara purba asli Nusantara yang dapat dipakai untuk membaca prasasti dan rontal-rontal kuno, mulai dari Aksara Pra Budi Ratya, Pudak Sategal, Sastra Gentayu, Sastra Wiryawan, Sastra Budhati, Sastra Purwaresmi, Aksara Pajajaran, Aksara Hendra Prawata, Aksara Jamus Kalihwarni, Aksara Keling, Aksara Budha yang ada di Magelang, Aksara Nagari Mojopoit, dll. Sebagai bahan perbandingan, aksara Pallawa yang ada di India itu masih setara dengan jaman Kerajaan Singasari, jadi masih terhitung sangat muda. kembali ke Jangka Jayabaya, telah berhasil dipetakan periodesasi terciptanya bumi sampai ke titik akhir menjadi 3 Jaman Kali [Jaman Besar] atau Tri Kali, dan setiap Jaman Kali terbagi menjadi 7 Jaman Kala [Jaman Sedang] atau Sapta Kala, dan 1 Jaman Kala terbagi menjadi 3 Mangsa Kala [Jaman Kecil] atau Mangsa Kala, serta berhasil mengurutkan sejarah kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara yang mayoritas telah dihilangkan dari sejarah resmi. Tri Kali atau 3 Jaman Besar itu terdiri dari : 1. Kali Swara – jaman penuh suara alam 2. Kali Yoga – jaman pertengahan 3. Kali Sangara – jaman akhir Masing-masing Jaman Besar berusia 700 Tahun Surya, suatu perhitungan tahun yang berbeda dengan Tahun Masehi maupun Tahun Jawa, perhitungan tahun yang digunakan sejak dari awal peradaban. Konversi setiap Jaman Besar [Kali] masing- masing berbeda], saat ini yang telah berhasil dikonversikan adalah penghitungan Kali Sangara [jaman akhir], di mana 1 [satu] Tahun Surya setara dengan 7 Tahun Wuku, satu tahun Wuku terdiri dari 210 hari yang berarti 1 [satu] Tahun Surya pada jaman besar Kali Sangara itu sama dengan 1.470 hari. Berikut adalah uraian tentang pembagian jaman disertai dengan silsilah Kerajaan- kerajaan Besar [Kerajaan Induk] di Nusantara mulai dari jaman Kali Swara, Kali Yoga, sampai Kali Sangara. 1. Kali Swara [ jaman penuh suara alam ] Dibagi atas 7 Jaman Sedang [saptakala], yaitu : 1.1. Kala Kukila [burung] Dibagi atas 3 Jaman Kecil [mangsa kala] : 1.1.1 Mangsa Kala Pakreti [mengerti] 1.1.2 Mangsa Kala Pramana [waspada] 1.1.3 Mangsa Kala Pramawa [terang] Kerajaan-kerajaan Induk Nusantara pada Jaman Sedang Kala Kukila : Keling, Purwadumadi, Purwacarita, Magadha, Gilingwesi, Sadha Keling 1.2. Kala Budha [mulai munculnya kerajaan] Dibagi atas 3 Jaman Kecil [mangsa kala] : 1.2.1 Mangsa Kala Murti [kekuasaan] 1.2.2 Mangsa Kala Samsreti [peraturan] 1.2.3 Mangsa Kala Mataya [manunggal dengan Sang Pencipta] Kerajaan-kerajaan Induk Nusantara pada Jaman Sedang Kala Budha : Gilingwesi, Medang Agung, Medang Prawa, Medang Gili/ Gilingaya, Medang Gana, Medang Pura, Medang Gora, Grejitawati, Medang Sewanda 1.3. Kala Brawa [berani/ menyala] Dibagi atas 3 Jaman Kecil [mangsa kala] : 1.3.1 Mangsa Kala Wedha [pengetahuan] 1.3.2 Mangsa Kala Arcana [tempat sembahyang] 1.3.3 Mangsa Kala Wiruca [meninggal] Kerajaan-kerajaan Induk Nusantara pada Jaman Sedang Kala Brawa : Medang Sewanda, Medang Kamulyan, Medang Gili/Gilingaya 1.4. Kala Tirta [air bah] Dibagi atas 3 Jaman Kecil [mangsa kala] : 1.4.1 Mangsa Kala Raksaka [kepentingan] 1.4.2 Mangsa Kala Walkali [tamak] 1.4.3 Mangsa Kala Rancana [percobaan] Kerajaan-kerajaan Induk Nusantara pada Jaman Sedang Kala Tirta : Purwacarita, Maespati, Gilingwesi, Medang Gele/Medang Galungan 1.5. Kala Rwabara [keajaiban] Dibagi atas 3 Jaman Kecil [mangsa kala] : 1.5.1 Mangsa Kala Sancaya [pergaulan] 1.5.2 Mangsa Kala Byatara [kekuasaan] 1.5.3 Mangsa Kala Swanida [pangkat] Kerajaan-kerajaan Induk Nusantara pada Jaman Sedang Kala Rwabara : Gilingwesi, Medang Kamulyan, Purwacarita, Wirata, Gilingwesi 1.6. Kala Rwabawa [ramai] Dibagi atas 3 Jaman Kecil [mangsa kala] : 1.6.1 Mangsa Kala Wibawa [pengaruh] 1.6.2 Mangsa Kala Prabawa [kekuatan] 1.6.3 Mangsa Kala Manubawa [sarasehan/ pertemuan] Kerajaan-kerajaan Induk Nusantara pada Jaman Sedang Kala Rwabawa : Gilingwesi, Purwacarita, Wirata Anyar 1.7. Kala Purwa [permulaan] Dibagi atas 3 Jaman Kecil [mangsa kala] : 1.7.1 Mangsa Kala Jati [sejati] 1.7.2 Mangsa Kala Wakya [penurut] 1.7.3 Mangsa Kala Mayana [tempat para maya/ Hyang] Kerajaan-kerajaan Induk Nusantara pada Jaman Sedang Kala Purwa : Wirata Kulon [Matsyapati], Hastina Pura 2. Kali Yoga [ jaman pertengahan ] Dibagi atas 7 Jaman Sedang [saptakala], yaitu : 2.1. Kala Brata [bertapa] Dibagi atas 3 Jaman Kecil [mangsa kala] : 2.1.4 Mangsa Kala Yudha [perang] 2.1.5 Mangsa Kala Wahya [saat/ waktu] 2.1.6 Mangsa Kala Wahana [kendaraan] Kerajaan Induk Nusantara pada Jaman Sedang Kala Purwa : Hastina Pura 2.2. Kala Dwara [pintu] Dibagi atas 3 Jaman Kecil [mangsa kala] : 2.2.1 Mangsa Kala Sambada [sesuai/ sepadan] 2.2.2 Mangsa Kala Sambawa [ajaib] 2.2.3 Mangsa Kala Sangkara [nafsu amarah] Kerajaan-kerajaan Induk Nusantara pada Jaman Sedang Kala Dwara : Hastina Pura, Malawapati, Dahana Pura, Mulwapati, Kertanegara 2.3. Kala Dwapara [para dewa] Dibagi atas 3 Jaman Kecil [mangsa kala] : 2.3.1 Mangsa Kala Mangkara [ragu-ragu] 2.3.2 Mangsa Kala Caruka [perebutan] 2.3.3 Mangsa Kala Mangandra [perselisihan] Kerajaan-kerajaan Induk Nusantara pada Jaman Sedang Kala Dwapara : Pengging Nimrata, Galuh, Prambanan, Medang Nimrata, Grejitawati 2.4. Kala Praniti [teliti] Dibagi atas 3 Jaman Kecil [mangsa kala] : 2.4.1 Mangsa Kala Paringga [pemberian/kesayangan] 2.4.2 Mangsa Kala Daraka [sabar] 2.4.3 Mangsa Kala Wiyaka [pandai] Kerajaan-kerajaan Induk Nusantara pada Jaman Sedang Kala Praniti : Purwacarita, Mojopura, Pengging, Kanyuruhan, Kuripan, Kedhiri, Jenggala, Singasari 2.5. Kala Teteka [pendatang] Dibagi atas 3 Jaman Kecil [mangsa kala] : 2.5.1 Mangsa Kala Sayaga [bersiap-siap] 2.5.2 Mangsa Kala Prawasa [memaksa] 2.5.3 Mangsa Kala Bandawala [perang] Kerajaan-kerajaan Induk Nusantara pada Jaman Sedang Kala Teteka : Kedhiri, Galuh, Magada, Pengging 2.6. Kala Wisesa [sangat berkuasa] Dibagi atas 3 Jaman Kecil [mangsa kala] : 2.6.1 Mangsa Kala Mapurusa [sentosa] 2.6.2 Mangsa Kala Nisditya [punahnya raksasa] 2.6.3 Mangsa Kala Kindaka [bencana] Kerajaan-kerajaan Induk Nusantara pada Jaman Sedang Kala Wisesa : Pengging, Kedhiri, Mojopoit [Majapahit] 2.7. Kala Wisaya [fitnah] Dibagi atas 3 Jaman Kecil [mangsa kala] : 2.7.1 Mangsa Kala Paeka [fitnah] 2.7.2 Mangsa Kala Ambondan [pemberontakan] 2.7.3 Mangsa Kala Aningkal [menendang] Kerajaan-kerajaan Induk Nusantara pada Jaman Sedang Kala Wisaya : Mojopoit, Demak, Giri 3. Kali Sangara [ jaman akhir ] Dibagi atas 7 Jaman Sedang [saptakala], yaitu : 3.1. Kala Jangga Dibagi atas 3 Jaman Kecil [mangsa kala] : 3.1.1 Mangsa Kala Jahaya [keluhuran] 3.1.2 Mangsa Kala Warida [kerahasiaan] 3.1.3 Mangsa Kala Kawati [mempersatukan] Kerajaan-kerajaan Induk Nusantara pada Jaman Sedang Kala Jangga : Pajang, Mataram 3.2. Kala Sakti [kuasa] Dibagi atas 3 Jaman Kecil [mangsa kala] : 3.2.1 Mangsa Kala Girinata [Syiwa] 3.2.2 Mangsa Kala Wisudda [pengangkatan] 3.2.3 Mangsa Kala Kridawa [perselisihan] Kerajaan-kerajaan Induk Nusantara pada Jaman Sedang Kala Sakti : Mataram, Kartasura 3.3. Kala Jaya Dibagi atas 3 Jaman Kecil [mangsa kala] : 3.3.1 Mangsa Kala Srenggya [angkuh] 3.3.2 Mangsa Kala Rerewa [gangguan] 3.3.3 Mangsa Kala Nisata [tidak sopan] Kerajaan-kerajaan Induk Nusantara pada Jaman Sedang Kala Jaya : Kartasura, Surakarta, Ngayogyakarta 3.4. Kala Bendu [hukuman/ musibah] Dibagi atas 3 Jaman Kecil [mangsa kala] : 3.4.1 Mangsa Kala Artati [uang/ materi] 3.4.2 Mangsa Kala Nistana [tempat nista] 3.4.3 Mangsa Kala Justya [kejahatan] Kerajaan-kerajaan Induk Nusantara pada Jaman Sedang Kala Jaya : Surakarta, Ngayogyakarta, Indonesia [Republik] 3.5. Kala Suba [pujian] Dibagi atas 3 Jaman Kecil [mangsa kala] : 3.5.1 Mangsa Kala Wibawa [berwibawa/berpengaruh] 3.5.2 Mangsa Kala Saeka [bersatu] 3.5.3 Mangsa Kala Sentosa [sentosa] 3.6. Kala Sumbaga [terkenal] Dibagi atas 3 Jaman Kecil [mangsa kala] : 3.6.1 Mangsa Kala Andana [memberi] 3.6.2 Mangsa Kala Karena [kesenangan] 3.6.3 Mangsa Kala Sriyana [tempat yang indah] 3.7. Kala Surata [menjelang jaman akhir] Dibagi atas 3 Jaman Kecil [mangsa kala] : 3.7.1 Mangsa Kala Daramana [luas] 3.7.2 Mangsa Kala Watara [sederhana] 3.7.3 Mangsa Kala Isaka [pegangan] Metode penelitian dan penelusuran yang digunakan selama ini adalah dengan mengkompilasikan studi literasi pada relief-relief, prasasti- prasasti serta rontal-rontal kuno yang dipadukan dengan Sastra Cetha, sastra yang tidak tersurat secara langsung. Sastra Cetha sendiri adalah sebuah informasi tak terbatas yang sudah digambarkan oleh alam semesta secara jelas, begitu jelasnya sehingga sampai tidak dapat terlihat kalau kita menggunakan daya penangkapan yang terlalu tinggi dan rumit Belajar dari tanah sendiri, belajar dari ajaran leluhur Nusantara sendiri, belajar banyak dari alam semesta, di mana bumi diinjak, di situ langit dijunjung. Timmy Hartadi – Turangga Seta Yogyakarta | Wuku Medhangkungan Selasa Pahing 15 Desember 2009 Disampaikan pada diskusi Jelajah Nusantara MCR, Yogyakarta | Selasa 15 Desember 2009