Lubang Hitam (Black Hole)
Lubang hitam adalah sebuah
pemusatan massa yang cukup
besar sehingga menghasilkan
gaya gravitasi yang sangat
besar. Gaya gravitasi yang
sangat besar ini mencegah apa
pun lolos darinya kecuali melalui
perilaku terowongan kuantum.
Medan gravitasi begitu kuat
sehingga 8kecepatan lepas di
dekatnya mendekati kecepatan
cahaya. Tak ada sesuatu,
termasuk radiasi
elektromagnetik yang dapat
lolos dari gravitasinya, bahkan
cahaya hanya dapat masuk
tetapi tidak dapat keluar atau
melewatinya, dari sini diperoleh
kata "hitam". Istilah "lubang
hitam" telah tersebar luas,
meskipun ia tidak menunjuk ke
sebuah lubang dalam arti biasa,
tetapi merupakan sebuah
wilayah di angkasa di mana
semua tidak dapat kembali.
Secara teoritis, lubang hitam
dapat memliki ukuran apa pun,
dari mikroskopik sampai ke
ukuran alam raya yang dapat
diamati.
Teori adanya lubang hitam
pertama kali diajukan pada abad
ke-18 oleh John Michell and
Pierre-Simon Laplace,
selanjutnya dikembangkan oleh
astronom Jerman bernama Karl
Schwarzschild, pada tahun
1916, dengan berdasar pada
teori relativitas umum dari
Albert Einstein, dan semakin
dipopulerkan oleh Stephen
William Hawking. Pada saat ini
banyak astronom yang percaya
bahwa hampir semua galaksi
dialam semesta ini mengelilingi
lubang hitam pada pusat
galaksi.
http://www.mystrangenewmexico.com/stora
Adalah John Archibald Wheeler
pada tahun 1967 yang
memberikan nama "Lubang
Hitam" sehingga menjadi
populer di dunia bahkan juga
menjadi topik favorit para
penulis fiksi ilmiah. Kita tidak
dapat melihat lubang hitam
akan tetapi kita bisa mendeteksi
materi yang tertarik / tersedot
ke arahnya. Dengan cara inilah,
para astronom mempelajari dan
mengidentifikasikan banyak
lubang hitam di angkasa lewat
observasi yang sangat hati-hati
sehingga diperkirakan di
angkasa dihiasi oleh jutaan
lubang hitam.
Lubang Hitam tercipta ketika
suatu obyek tidak dapat
bertahan dari kekuatan tekanan
gaya gravitasinya sendiri.
Banyak obyek (termasuk
matahari dan bumi) tidak akan
pernah menjadi lubang hitam.
Tekanan gravitasi pada matahari
dan bumi tidak mencukupi
untuk melampaui kekuatan
atom dan nuklir dalam dirinya
yang sifatnya melawan tekanan
gravitasi. Tetapi sebaliknya
untuk obyek yang bermassa
sangat besar, tekanan gravitasi-
lah yang menang.
Massa dari lubang hitam terus
bertambah dengan cara
menangkap semua materi
didekatnya. Semua materi tidak
bisa lari dari jeratan lubang
hitam jika melintas terlalu
dekat. Jadi obyek yang tidak bisa
menjaga jarak yang aman dari
lubang hitam akan terhisap.
Berlainan dengan reputasi yang
disandangnya saat ini yang
menyatakan bahwa lubang
hitam dapat menghisap apa saja
disekitarnya, lubang hitam tidak
dapat menghisap material yang
jaraknya sangat jauh dari
dirinya. dia hanya bisa menarik
materi yang lewat sangat dekat
dengannya. Contoh : bayangkan
matahari kita menjadi lubang
hitam dengan massa yang sama.
Kegelapan akan menyelimuti
bumi dikarenakan tidak ada
pancaran cahaya dari lubang
hitam, tetapi bumi akan tetap
mengelilingi lubang hitam itu
dengan jarak dan kecepatan
yang sama dengan saat ini dan
tidak terhisap masuk
kedalamnya.
Bahaya akan mengancam hanya
jika bumi kita berjarak 10 mil
dari lubang hitam, dimana hal
ini masih jauh dari kenyataan
bahwa bumi berjarak 93 juta mil
dari matahari. Lubang hitam
juga dapat bertambah massanya
dengan cara bertubrukan
dengan lubang hitam yang lain
sehingga menjadi satu lubang
hitam yang lebih besar.
Tuesday, August 31, 2010
Riwayat Karawang
Sejarah Singkat
Kabupaten Karawang
Abad ke-17 kerajaan terbesar di
Pulau Jawa adalah Mataram
dengan rajanya yang terkenal
yaitu Sultan Agung
Hanyokrokusumo, Sultan Agung
adalah seorang raja yang tidak
menginginkan wilayah
Nusantara dikuasai atau dijajah
oleh bangsa asing dan ingin
mempersatukan Nusantara
dibawah satu kekuasaan
bangsa sendiri.
Pada abad ke-17 VOC sudah
menanamkan kekuasaannya di
Batavia oleh karena itu Sultan
Agung berupaya mengusir VOC
dari bumi Nusantara dengan
jalan menyerang Batavia, tetapi
pada waktu itu para raja di
wilayah Nusantara belum ada
persatuan dan kesatuan untuk
menghadapi musuh dari luar,
masing-masing berjuang
sendiri bahkan ada sebagian
yang memihak penjajah.
Hal ini disebabkan adanya
politik Devide Et Impera dari
penjajah sehingga Sultan Agung
bukan saja harus berhadapan
dengan serdadu VOC tetapi juga
harus menghadapi tentara dari
kerajaan Banten. Sebagai
daerah atau tempat untuk
menyerang VOC di Batavia,
Karawang pada waktu itu
dikuasasi oleh para prajurit
Mataram dijadikan sebagai basis
atau pangkal perjuangan.
Sultan Agung memerintahkan
Rangga Gede untuk :
Mempersiapkan bala tentara/
membenahi
prajurit
Mempersiapakan logistik
dengan jalan menjadikan
daerah Karawang menjadi
lumbung padi.
Tanggal 14 September 1633
Masehi, bertepatan dengan
Tanggal 10 Maulud 143 Hijriyah.
Raja Mataram, Sultan Agung
melantik Singaperbangsa
sebagai Bupati Karawang
pertama, sehingga secara
tradisi setiap tanggal 10 Mualud
diperingati sebagai Hari Jadi
Kabupaten Karawang.
Pada zaman revolusi
kemerdekaan Republik
Indonesia, Karawang
merupakan salah satu daerah
yang menjadi kancah
perjuangan melawan penjajah
Belanda, seperti yang dilukiskan
dalam sajak Chairil Anwar
berjudul " Karawang Bekasi".
Menjelang Proklamasi
Kemerdakaan Bung Karno dan
Bung Hatta bersama para
pemuda militan
mempersiapkan diri di
Rengasdengklok tepatnya di
Kampung Bojong Kecamatan
Rengasdengklok, Proklamator
Sukarno – Hatta menyusun
naskah proklamasi
kemerdekaan Indonesia tahun
1945.
Peristiwa penting ini
merupakan bukti otentik bahwa
Kabupaten Karawang memiliki
nilai HISTORIS yang besar
peranannya bagi kejayaan Nusa
dan Bangsa sehingga tidak
berlebihan kiranya Karawang
diberi julukan sebagai daerah
pangkal perjuangan, maka di
tempat-tempat tersebut
dibangun tugu kesepakatan
kebulatan tekad untuk
memproklamirkan
kemerdekaan Republik
Indonesia. Hal ini tentunya
mendorong semua pihak untuk
berperan serta dalam
melaksanakan pembangunan
dengan lebih giat lagi.
Pelat Kuning Kandang Sapi Gede
Mengawali berdirinya
Kabupaten Karawang
Karawang berdiri sejak
dikeluarkannya piagam Pelat
Kuning Kandang Sapi Gede oleh
Sultan Agung kepada Raden
Singaperbangsa dan Raden
Wirasaba, 3,8 abad lampau.
Saat itu, wilayah Karawang
sangat luas, meliputi Bekasi,
Subang, Purwakarta.
Memasuki sejarah perjalanan
Kabupaten Karawang, kita awali
dengan kedatangan
seorang Hafidz Qur ’an dari
Champa sekitar abad ke XV
masehi yang bernama Syech
Hasanudin bin Yusuf Idofi, atau
yang terkenal dengan
julukannya, Syech Quro. Ia
mendirikan paguron-paguron
islam di Karawang, tepatnya di
kampung Pulobata desa
Pulokalapa, kecamatan
Lemahabang-Wadas. Sejak
penyebaran agama yang
diwahyukan Allah SWT kepada
Rasulullah SAW itulah,
kemudian agama Islam
menyebar di seantero jagat
oleh para waliullah yang
terkenal dengan sebutan wali
Sanga.
Pada masa penyebaran agama
Islam di Karawang, komplek
pemakaman Syech Quro masih
merupakan hutan belantara dan
rawa-rawa. Hal ini bisa kita
duga apabila menelaah asal
kata Karawang berasal dari
bahasa sunda Ka-Rawa-an yang
artinya tempat penuh rawa.
Nama tersebut sesuai dengan
keadaan geografis Kabupaten
Karawang yang berawa-rawa.
Bukti yang
memperkuat pendapat tersebut
yakni dengan banyaknya nama-
nama daerah di Kabupaten
Karawang yang diawali dengan
kata Rawa seperti; Rawasari,
Rawagempol, Rawa sikut, Rawa
Gede, Rawa Merta, Rawa Gabus
dan rawa-rawa lainnya.
Namun, menurut sumber lain
pada buku-buku Portugis
(tahun 1512 dan 1522)
menyebutkan, nama Karawang
diambil dari bahasa Portugis
“ Caravan”. Istilah ini
diberikan bangsa Portugis
karena apabila orang-orang
yang bepergian akan melawati
daerah rawan, untuk keamanan
mereka pergi berkafilah-kafilah
dengan menggunakan hewan
seperti Kuda, Sapi, Kerbau atau
Keledai. Demikian pula halnya
yang terjadi pada jaman dahulu,
kesatuan-kesatuan kafilah yang
dalam bahasa Portugis disebut
“ Caravan” membuat
pelabuhan-pelabuhan di sekitar
muara sungai Citarum yang
menjorok ke pedalaman
Karawang. Sehingga disebut
dengan “Caravan” yang
kemudian berubah menjadi
Karawang. Dalam sumber pada
buku-buku Portugis (tahun
1512 dan 1522) tadi, Karawng
memang terletak di sekitar
Sungai Citarum. Memang pada
masa itu, keberadaan Karawang
dikenal sebagai jalu Lalu Lintas
yang sangat penting untuk
menghubungkan Kerajaan
Pakuan Padjajaran dengan
Kerajaan Galuh Pakuan yang
berpusat di daerah Ciamis.
Hal diatas ada kaitannya
dengan yang dijelaskan
Tendam. Menurut Tendam”…
dari Pakuan Padjajaran ada
sebuah jalan yang dapat melalui
Cileungsi atau Cibarusah,
Warung Gede, Tanjung Pura,
Karawang, Cikao, Purwakarta,
Sagalaherang terus ke
Sumedang, Tomo, Sindang
Kasih, Raja
Galuh, Talaga, Kawali dan
akhirya berpusat di kerajaan
Galuh Pakuan di Ciamis dan
Bojong Galuh. Luas wlayah
kabupaten Karawang saat itu,
tidak sama dengan luas wilayah
Kabupaten Karawang pada
masa sekarang. Pada masa itu,
luas wilayah Kabupaten
Karawang meliputi Bekasi,
Subang, Purwakarta dan
Karawang sendiri.
Perang Mataram-Banten
Kerajaan Padjajaran runtuh
pada tahun 1579 M. Pada tahun
1570 M kerajaan Sumedang
Larang berdiri sebagai penerus
kerajaan Padjajaran dengan
rajanya yang bernama Prabu
Geusan Ulun, putra pasangan
Ratu Pucuk Umum (disebet juga
Pengeran istri) deingan
Pangeran Santri
keturunan Sunan Gunung Jati
dari Cirebon. Kerajaan Ilam
Sumedang Larang, pusat
pemerintahannya berada di
Dayeuh Luhur membawahi
Sumedang, Galuh, Limbangan,
Sukakerta dan Karawang. Prabu
Geusan Ulun wafat pada tahun
1608, dan digantikan oleh
putranya Rangga Gempol
Kusumahdinata, putra Prabu
Geusan Ulun dari istrinya
Harismaya keturunan Madura.
Pada masa itu di Jawa Tengah
telah berdiri kerajaan Mataram
dengan rajanya Sultan Agung
(1613-1345) yang bercita-cita
ingin menguasai Pulau Jawa
dan mengusir Kompeni
(Belanda) dari
Batavia.
Demi menjaga keselamatan
wilayah kekuasaan Mataram di
daerah Barat, pada tahun 1628
dan 1629, Sultan Agung
melakukan penyerangan
terhadap VOC (Belanda) di
Batavia. Namun gagal
sehubungan situasi medan
yang sangat berat dan
berjangkitnya penyakit Malaria
serta karena kurangnya
kebutuhan logistik.
Dengan kegagalan tersebut,
Sultan Agung mencari strategi
penyerangan terhadap kompeni
dan menunjuk Karawang
sebagai pusat logistik yang
mempunyai pemerintahan
sendiri dibawah kekuasaan
Mataram dan dikomandani oleh
seorang pemimpin yang cakap
dan ahli perang serta mampu
menggerakkan masyarakat
untuk membangun pesawahan
guna mendukung pengadaan
Logistik dalam persiapan
melakukan penyeragan kembali
terhadap VOC (Belanda)
diBatavia.
Tahun 1632, Sultan Agung
mengutus Wiraperbangsa Sari
Galuh untuk membawa 1000
prajurit beserta keluarganya ke
Karawang. Tujuan pasukan
yang dipimpin oleh
Wiraperbangsa adalah selain
membebaskan pengaruh
Banten di Karawang juga untuk
mempersiapkan kebutuhan
logistik sebagai bekal
melakukan penyerangan
kembali terhadap VOC (Belanda)
di Batavia.
Tugas yang diemban
Wiraperbangsa dapat
dilaksanakan dengan baik.
Hasilnya bahkan sempat
dilaporkan kepada Sultan
Agung di Mataram. Atas
keberhasilannya,
Wiraperbangsa dianugerahi
jabatan Wedana (sekarang
tingkat Bupati) di Karawang
dan mendapat gelar Adipati
Kertabumi III serta diberi
hadiah senjata berupa sebilah
Keris yang bernama “Karo
sinjang”.
Setelah penganugerahan
dilakukan di Mataram,
Wiraperbangsa melanjutkan
kembali tugasnya dan
melakukan perjalanan ke
Karawang. Namun takdir illahi
berkata lain.
Saat singgah sementara untuk
menjenguk keluarganya di
Galuh, Wiraperbangsa keburu
wafat.
Pelat Kuning Kandang Sapi Gede
Jabatan Wiraperbangsa sebagai
Wedana di Karawang kemudian
digantikan oleh anaknya yang
bernama Raden Singaperbangsa
yang di anugrahi gelar Adipati
Kertabumi IV memerintah di
Karawang pada tahun
1633-1677. tugas pokok Raden
Singaperbangsa di awal
kepemimpinannya adalah
mengusir VOC (Belanda) di
Batavia.
Untuk itu, Raden
Singaperbangsa membangun
pesawahan untuk kebutuhan
logistik semasa perang. Selain
itu, Raden Singaperbangsa juga
mendapat tambahan 2000
keluarga.
Pembangunan pusat logistik
dan pesawahan demi
memenuhi kebutuhan logistik
perang itu tersurat dalam
“ Piagam Pelat Kuning
Kandang Sapi Gede” yang
bunyinya adalah sebagai
berikut; “panget ingkang
Piagam Kanjeng ing Ki Rangga
Gede ing Sumedang
kagadehaken ing si
Astrawardana. Mulane sun
gdehi peagem, sun kongkon
anggraksa kaagengan dalem siti
Nagara Agung, kilen waten
Cipamingkis, wetan wates
Cilamaya, serta kon anunggoni
lumbung isina Pun Pari Limang
tkes punjul tiga welas jait.
Basakala tan anggrawahani
piagem, lagi lampahipan Kyai
Yudha-bangsa kaping kalih ki
wangsa Taruna, ingkang
potusan Kanjeng Dalem
Ambakta tata titi yang kalih
ewu; Wadana nipun Kyai
Singaperbangsa, kalih ki
Wirasaba kang
dipunwadanahakeun ing manir.
Sasangpun katampi
dipunrenahakeun Waringinpitu
lan ing Tanjungpura, anggraksa
siti NagaraGung Bongan Kilen,
kala nulis piagem ing dina rebo
tanggal ping sapuluh sasi Mulud
tahun alif. Kang anulis piagem
manira anggaprana titi ”.
Terjemahan isi piagam tersebut
didalam bahasa Indonesia
adalah; “Peringatan piagam
Raja kepada Ki Ranggagede di
Sumedang diserahkan kepada Si
Astrawardana. Sebabnya maka
saya serahi piagam, ialah
karena saya berikan tugas
menjaga tanah negara agung di
sebelah timur berbatas
Cilamaya, serta saya tugaskan
menunggu lumbung berisi Padi
lima takes lebih tiga welas jahit.
Adapun padai tersebut diterima
oleh Ki Singaperbangsa,
baskalatan yang menyaksikan
piagam dan kedua Ki
Wangsataruna yang diutus oleh
Raja untuk pergi dengan
membawa 2000 keluarga.
Pimpinannya adalah Kyai
Singaperbangsa serta Ki
Wirasaba. Sesudah piagam
diterima, kemudian mereka
ditempatkan di Waringinpitu
dan di Tanjungpura. Tugasnya
adalah menjaga tanah nagara
agung di sebelah barat. Piagam
ini ditulis pada hari Rabu
tanggal 10
bulan Mulud tahun Alif. Yang
menulis piagam ini ialah saya,
Anggaprana. Selesai ”.
Demikian isi ‘Piagam Pelat
Kuningan Kandang Sapi Gede’
yang dibuat pada tanggal 10
bulan Mulud tahun Alif atau hari
Rabu tanggal 10 Rabi ’ul awal
tahun 1043 hijriah, yang
bertempatan dengan tanggal
14 September 1633 Masehi dan
pada hitungan tahun Jawa/Saka
adalah hari Rabu tanggal 10
Mulud 1555.
Tanggal yang tercantum dalam
isi Piagam Pelat Kuningan
Kandang Sapi Gede kemudian
dijadikan sebagai “Hari Jadi
Kabupaten Karawang”.
Penetapan tanggal itu
berdasarkan hasil penelitian
panitia sejarah yang dibentuk
dengan surat Keputusan Bupati
Kepala daerah Tingkat II
Karawang, Letkol (inf) H. Husni
Hamid dengan SK-nya nomor
170/PEM/H?SK/1968 pada
tanggal 1 Juni 1968. adapun
bukti hasil penelitian dan
pengkajian itu terdapat dalam
tulisan para pakar sejarah yakni;
Dr. Brenes dalam “Tyds Taal
Land en Volkenkude’ XXVIII
halaman 352, 355 yang
menetapkan tahun 1633
sebagai tahun jadinya
Karawang
Amanat ti Galunggung
Amanat Galunggung (Kropak
632); Ajaran Darmasiksa kepada
Rahiyang Sanjaya
Tim Wacana Nusantara
8 April 2010
Sebagai koleksi Perpustakaan
Nasional Jakarta, naskah ini
dikenal sebagai Kropak 632.
Naskah yang dulu koleksi
Masyarakat Batavia ini memuat
ketatanegaraan Sunda zaman
dahulu. Judul Amanat
Galunggung diberikan oleh Saleh
Danasasmita dkk (1987).
Padahal kata amanat tak ditulis
dalam teks (amanat merupakan
kata Arab). Sebelumnya para
ahli menyebutnya Naskah
Kabuyutan Ciburuy di
Bayongbong, Garut, Jawa Barat.
Galunggung sendiri merupakan
gunung berapi di wilayah Garut.
Naskah Kabuyutan Ciburuy atau
Amanat Galunggung
Naskah ini diperkirakan disusun
pada abad ke-15, ditulis pada
daun lontar dan nipah,
menggunakan bahasa Sunda
kuno dan aksara Sunda. Sayang,
naskah ini tak bertarikh dan juga
tak lengkap. Yang tersedia
hanya enam helai daun. Dilihat
dari penulisan kata-katanya,
dapat ditafsir bahwa naskah ini
lebih tua dari Sanghyang
Siksakanda ng Karesian (1518
M) dan Carita Parahyangan
(1580 M) yang ditulis pada abad
ke-16. Dalam Amanat
Galungggung ejaannya ditulis:
kwalwat, gwareng, anwam, dan
hamwa; yang di dalam Carita
Parahyangan dieja: kolot,
goreng, anom, dan hamo.
Naskah ini menarik perhatian
Holle, Brandes, Pleyte, dan
Poerbatjaraka. Pleyte menyebut
naskah ini sebagai “pseudo-
Padjadjaransche Kroniek”.
Kemudian para sarjana
Indonesia mengatakan bahwa
data sejarah yang terkandung
dalam bagian awal naskah
sesungguhnya hanya
merupakan pengantar ke arah
fungsi teks sesungguhnya, yakni
sebagai pelajaran keagamaan
yang disampaikan Rakryan atau
Rakeyan Darmasiksa. Pada 1981
tesk ini diterbitkan sebagai
stensilan oleh Atja dan
Danasasmita. Tahun 1987,
Danasasmita dkk
mempublikasikannya dalam
bentuk buku.
Karel Frederik Holle, seorang
pemerhati sastra dan budaya
Sunda asal Belanda, yang juga
tertarik akan Naskah Kabuyutan
Ciburuy.
Teksnya berisi tentang usaha
Darmasiska dan orang-orang
yang “membuka” wilayah
Galungggung (nya nyusuk na
Galungggung). Selebihnya teks
ini berisi nasihat perihal budi
pekerti yang disampaikan
Rakyan Darmasiksa, Raja
Kerajaan Sunda, yang duduk di
Galunggung, kepada putranya,
yakni Ragasuci atau Sang
Lumahing Taman. Karena itu,
sering pula naskah ini disebut
Amanat Prabuguru Darmasiksa.
Dari naskah ini diketahui peran
kabuyutan, bukan hanya sebagai
tempat pemujaan, melainkan
dijadikan sebagai salah satu cara
penopang integritas terhadap
negara, sehingga tempat itu
dilindungi dan disakralkan oleh
raja.
Prabuguru Darmasiksa
Dalam Carita Parahyangan
diceritakan, Darmasiksa (ada
juga yang menyebutnya Prabu
Sanghyang Wisnu) memerintah
selama 150 tahun. Ada pun
Naskah Wangsakerta menyebut
angka 122 tahun, yakni tahun
1097 – 1219 Saka (1175 – 1297
M). Darmasiksa naik tahta
setelah 16 tahun Prabu Jayabaya
(1135 – 1159 M), penguasa
Kediri-Jenggala tiada.
Darmasiksa memiliki
kesempatan menyaksikan
lahirnya Kerajaan Majapahit
(1293 M).
Menurut Pustaka Nusantara II/2,
Prabuguru Darmasiksa pernah
memberikan peupeujeuh
(nasihat) kepada cucunya, yakni
Wijaya, pendiri Majapahit,
sebagai berikut:
Haywa ta sira kedo
athawamerep ngalindih Bhumi
Sunda mapan wus kinaliliran
ring ki sanak ira dlaha yan ngku
wus angemasi. Hetunya
nagaramu wu agheng jaya
santosa wruh ngawang kottman
ri puyut kalisayan mwang
jayacatrumu, ngke pinaka
mahaprabhu. Ika hana ta
daksina sakeng Hyang Tunggal
mwang dumadi seratanya.
Ikang sayogyanya rajyaa Jawa
rajya Sunda parasparopasarpana
atuntunan tangan silih asih
pantara ning padulur. Yatanyan
tan pratibandeng nyakrawartti
rajya sowangsong. Yatanyan
siddha hitasukha. Yan rajya
Sunda duhkantara. Wilwatika
sakopayanya maweh caranya:
mangkana juga rajya Sunda ring
Wilwatika.
Inti dari nasihatnya adalah
menjelaskan tentang larangan
untuk tidak menyerang Sunda
karena mereka bersaudara. Jika
masing-masing memerintah
sesuai dengan haknya maka
akan mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang sempurna.
Perihal Prabu Darmasiksa
memberikan wejangan kepada
Sanjaya, Carita Parahyangan
(CP) pun membeberkan hal
tersebut. Dalam CP —yang
sebagian besar isinya
menceritakan kepahlawanan
Sanjaya, raja Sunda di Pakuan
dan Galuh di Jawa Barat dan
pendiri Mataram Kuno di Jawa
Tengah (sama dengan Pararaton
yang menceritakan sepak
terjang Ken Angrok) —
disebutkan bahwa Patih Galuh
menasihati agar Rahiyang
Sanjaya mematuhi Sanghyang
Darmasiksa.
Naskah ini memulai ceritanya
dari alur Kerajaan Saunggalah I
(Kuningan) yang diperkirakan
telah ada pada awal abad 8 M.
Secara politis, Saunggalah
merupakan alternatif untuk
menyelesaikan pembagian
kekuasaan antara keturunan
Wretikandayun, yaitu anak-anak
Mandi Minyak dengan anak-anak
Sempak Waja, Naskah ini
menjelaskan sisi dan
perkembangan keturunan
Wretikandayun di luar Galuh.
Dari naskah Pustaka Pararatwan
I Bhumi Jawadwipa, kita tahu
bahwa nama Raja Saunggalah I
bernama Resiguru Demunawan.
Kedudukan sebagai penguasa di
wilayah tersebut diberikan oleh
ayahnya, yakni Sempak Waja,
putra Wretikandayun pendiri
Galuh. Resiguru Demunawan
merupakan kakak kandung dari
kakak kandung Purbasora, yang
pernah menjadi raja di Galuh
pada 716-732.
Demunawan memiliki
keistimewaan dari saudara-
saudara lainnya, baik sekandung
maupun dari seluruh keturunan
Kendan. Sekali pun tidak pernah
menguasai Galuh secara fisik,
namun ia mampu memperoleh
gelar resi guru, sebuah gelar
yang tidak sembarangan bisa
didapat, sekali pun oleh raja-raja
terkenal, tanpa memilik sifat
ksatria minandita. Bahkan pasca
Tarumanagara, gelar ini hanya
diperoleh Resiguru Manikmaya,
pendiri Kendan, Resiguru
Darmasiksa, dan Resiguru
Niskala Wastu Kancana raja di
Kawali. Seorang raja bergelar
resiguru diyakini telah mampu
membuat sebuah ajaran
(pandangan hidup) yang
dijadikan acuan kehidupan
masyarakatnya.
Prabuguru Darmasiksa pertama
kali memerintah di Saunggalah I
(persisnya di desa Ciherang,
Kadugede, Kab. Kuningan),
kemudian memindahkan ke
Saunggalah 2, (Mangunreja,
Tasikmalaya), selanjutnya
menjadi raja Di Pakuan
Pajajaran. Menurut teks
Bujangga Manik (akhir abad ke-
15 atau awal abad ke-16), lokasi
lahan tersebut terletak di daerah
Tasik Selatan sebelah barat,
bahkan kerajaan ini mampu
mempertahankan kehadirannya
setelah Pajajaran dan Galuh
runtuh. Pada abad ke-18 nama
kerajaan tersebut masih ada,
namun setingkat kabupaten,
dengan nama Kabupaten
Galunggung, berpusat di
Singaparna. Mungkin sebab
inilah penduduk Kampung Naga
Salawu di Tasik enggan
menyebut Singaparna, tetap
menyebut Galunggung untuk
wilayah Singaparna.
Kemudian Darmasiksa diangkat
menjadi Raja Sunda di Pakuan),
sedangkan Saunggalah
diserahkan kepada putranya,
yakni Ragasuci alias Sang
Lumahing Taman.
“Kesadaran Sejarah”
Berbeda dengan Carita
Parahyangan yang jelas
menceritakan perjalanan
pemerintahan raja-raja kuno di
Jawa Barat, Amanat Galunggung
ini membeberkan ajaran moral
dan aturan sosial yang harus
dipatuhi oleh urang Sunda.
Namun, dalam naskah Amanat
Galunggung ini terdapat baris-
baris kalimat yang menyatakan
pentingnya masa lalu sebagai
“tunggak” (tonggak) atau
“tunggul” untuk masa
berikutnya, maka dari itu
seyogyanya generasi kini harus
tetap menghormati nilai-nilai
yang diwarisi generasi
sebelumnya. Berikut petikan dan
terjemaahannya:
Hana nguni hana mangke
tan hana nguni tan hana
mangke
aya ma beuheula aya tu ayeuna
hanteu ma beuheula hanteu tu
ayeuna
hana tunggak hana watang
tan hana tunggak tan hana
watang
hana ma tunggulna aya tu
catangna
(Ada dahulu ada sekarang
bila tidak ada dahulu tidak akan
ada sekarang
karena ada masa silam maka
ada masa kini
bila tidak ada masa silam tidak
akan ada masa kini
ada tonggak tentu ada batang
bila tidak ada tonggak tidak
akan ada batang
bila ada tunggulnya tentu ada
catangnya)
Bagi masyarakat Sunda Kuno —
juga Jawa dan etnis-etnis lain di
Indonesia, terutama pada masa
klasik (Hindu-Buddha)
—“ kesadaran sejarah”
bukanlah kesadaran seseorang
atau pun sekelompok orang
terhadap peristiwa-peristiwa
masa lalu di mana peristiwa-
peristiwa tersebut harus
ditentukan kebenarannya
(secara ilmiah), melainkan
kesadaran generasi mendatang
terhadap nilai-nilai yang pernah
ditanamkan oleh generasi
sebelumnya. Hampir tak pernah
ditemukan sebuah kronik
sejarah—kecuali
Nagarakretagama karya
Prapanca —dalam bentuk
pustaka di Indonesia yang
memang bertujuan untuk
mencatat peristiwa-persitiwa
penting pada masanya beserta
pencantuman tarikh-tarikhnya.
Di Jawa Barat sendrir, kecuali
Fragmen Carita Parahyangan
dan Carita Parahyangan, naskah-
naskah Sunda Kuno yang
dihasilkan pada abad-abad
ke-15 dan ke-16 hampir semua
merupakan teks religius,
pedoman moral, atau sejenis
“ sastra-jurnal” seperti
Bujangga Manik. Memang dalam
naskah-naskah pedoman moral
itu dapat diketahui sejumlah
aspek kehidupan sosial-
ekonomi-budaya yang dapat
dijadikan acuan sebagai
“informasi sejarah”, namun
hampir tak ada catatan-catatan
mengenani peristiwa politik
yang akan memuaskan para
peniliti sejarah, kecuali peneliti
filologi dan arkeologi.
Intisari Teks
Halaman 1
Prabu Darmasiksa menjelaskan
tentang nama-nama raja
leluhurnya. Ia memberikan
amanat atau nasihat kepada:
anak, cucu, umpi (turunan ke-3),
cicip (ke-4), muning (ke-5),
anggasantana (ke-6),
kulasantana (ke-7), pretisantana
(ke-8), wit wekas (ke-9, hilang
jejak), sanak saudara, dan
semuanya.
Halaman 2
Dijelaskan perlu mempunyai
kewaspadaan akan
kemungkinan dapat direbutnya
kemuliaan (kewibawaan dan
kekuasaan) serta kejayaan
bangsa sendiri oleh orang asing.
Perilaku negatif yang dilarang:
Jangan merasa diri yang paling
benar, jaling jujur, paling lurus,
Jangan menikah dengan
saudara, jangan membunuh
yang tidak berdosa, jangan
merampas hak orang lain,
jangan menyakiti orang yang
tidak bersalah, jangan saling
mencurigai.
Halaman 3
1. Harus dijaga kemungkinan
orang asing dapat merebut
kabuyutan (tanah yang
disakralkan).
2. Siapa saja yang dapat
menduduki tanah yang
disakralkan (Galunggung),
akan beroleh kesaktian,
unggul perang, berjaya,
bisa mewariskan kekayaan
sampai turun temurun.
3. Bila terjadi perang,
pertahankanlah kabuyutan
yang disucikan itu.
4. Cegahlah kabuyutan (tanah
yang disucikan) jangan
sampai dikuasai orang
asing.
5. Lebih berharga kulit lasun
(musang) yang berada di
tempat sampah dari pada
raja putra yang tidak bisa
mempertahankan
kabuyutan/tanah airnya.
6. Jangan memarahi orang
yang tidak bersalah, jangan
tidak berbakti kepada
leluhur yang telah mampu
mempertahankan
tanahnya (kabuyutannya)
pada zamannya.
Halaman 4
1. Hindarilah sikap tidak
mengindahkan aturan,
termasuk melanggar
pantangan diri sendiri.
2. Orang yang melanggar
aturan, tidak tahu batas,
tidak menyadari akan
nasihat para leluhurnya,
sulit untuk diobati sebab
diserang musuh yang
“halus”.
3. Orang yang keras kepala,
yaitu orang yang ingin
menang sendiri, tidak mau
mendengar nasihat ayah-
bunda, tidak
mengindahkan ajaran
moral (patikrama)
digambarkan sebagai
pucuk alang-alang yang
memenuhi tegal.
Halaman 5
1. Orang yang mendengarkan
nasihat leluhurnya akan
tenteram hidupnya,
berjaya.
2. Orang yang tetap hati
ibaratnya telah sampai di
puncak gunung.
3. Bila kita tidak saling
bertengkar dan tidak
merasa diri paling lurus
dan paling benar, maka
manusia di seluruh dunia
akan tenteram, ibarat
gunung yang tegak abadi,
seperti telaga yang bening
airnya; seperti kita kembali
ke kampung halaman
tempat berteduh.
4. Peliharalah kesempurnaan
agama, pegangan hidup
kita semua.
5. Jangan kosong (tidak
mengetahui) dan jangan
merasa bingung dengan
ajaran keutamaan dari
leluhur.
6. Semua yang dinasihatkan
ini adalah amanat dari
Rakeyan Darmasiksa.
Halaman 6
Sang Raja Purana merasa
bangga dengan ayahandanya
(Rakeyan Darmasiksa), yang
telah membuat ajaran/
pegangan hidup yang lengkap
dan sempurna. Bila ajaran
Darmasiksa ini tetap dipelihara
dan dilaksanakan maka akan
terjadi:
1. Raja pun akan tenteram
dalam menjalankan
tugasnya.
2. Keluarga/tokoh
masyarakat akan lancar
mengumpulkan bahan
makanan.
3. Ahli strategi akan unggul
perangnya.
4. Pertanian akan subur.
5. Panjang umur.
6. Sang Rama (tokoh
masyarakat) bertanggung
jawab atas kemakmuran
hidup; Sang Resi (cerdik
pandai, berilmu),
bertanggung jawab atas
kesejahteraan; Sang Prabu
(birokrat) bertanggung
jawab atas kelancaran
pemerintahan.
Perilaku yang dilarang, yakni:
berebut kedudukan, berebut
penghasilan, berebut hadiah.
Perilaku yang dianjurkan:
bersama-sama mengerjakan
kemuliaan, melalui perbuatan,
ucapan, dan itikad yang
bijaksana.
Halaman 7
Akan menjadi orang terhormat
dan merasa senang bila mampu
menegakkan ajaran/agama;
akan menjadi orang terhormat
bila dapat menghubungkan
kasih sayang dengan sesama
manusia. Itulah manusia yang
mulia.
Dalam ajaran patikrama (etika),
yang disebut bertapa itu adalah
beramal melalui apa yang kita
kerjakan. Buruk amalnya, buruk
pula tapanya; amalnya sedang,
sedang pula tapanya; sempurna
amalnya/kerjanya, sempurna
tapanya. Kita menjadi kaya
karena kita bekerja, berhasil
tapanya. Orang lainlah yang
akan menilai pekerjaan/tapa
kita.
Perilaku yang dianjurkan:
perbuatan, ucapan, dan tekad
harus bijaksana. Harus bersifat
hakiki, bersungguh-sungguh,
memikat hati, suka mengalah,
murah senyum, berseri hati dan
mantap bicara.
Perilaku yang dilarang: jangan
berkata berteriak, menyindir-
nyindir, menjelekkan sesama
orang dan berbicara mengada-
ada.
Halaman 8.
1. Bila orang lain menyebut
kerja kita jelek (bukan jelek
fisik), yang harus disesali
adalah diri kita sendiri.
2. Tidak benar, karena takut
dicela orang, lalu kita tidak
bekerja/bertapa.
3. Tidak benar pula bila kita
berkeja hanya karena ingin
dipuji orang.
4. Orang yang mulia itu
adalah yang sempurna
amalnya, dia akan kaya
karena hasil tapanya itu.
5. Camkan ujaran para
orangtua agar masuk surga
di kahiyangan.
6. Kejujuran dan kebenaran
itu ada pada diri sendiri.
7. Itulah yang disebut dengan
“ kita menyengaja berbuat
baik”.
Perilaku yang dianjurkan: harus
cekatan, terampil, tulus hati,
rajin dan tekun, tangkas,
bersemangat, perwira, teliti,
penuh keutamaan, dan berani
tampil. Yang dikatakan semua
ini itulah yang disebut orang
yang berhasil tapanya.
Halaman 9
Perlu diketahui bahwa yang
mengisi neraka itu adalah
manusia yang suka mengeluh
karena malas beramal; banyak
yang diinginkannya tetapi tidak
tersedia di rumahnya, akhirnya
meminta-minta kepada orang
lain.
Arwah yang masuk ke neraka itu
dalam tiga gelombang, berupa
manusia yang pemalas, keras
kepala, pander/bodoh,
pemenung, pemalu, mudah
tersinggung, selalu berdusta,
bersungut-sungut, menggerutu,
mudah bosan, segan mengalah,
ambisius, mudah terpengaruh,
mudah percaya padangan
omongan orang lain, tidak
teguh memegang amanat, sulit
hati.
Halaman 10
1. Orang pemalas tetapi
banyak yang diinginkannya
selalu akan meminta
dikasihani orang lain. Itu
sangat tercela.
2. Orang pemalas seperti air
di daun talas, plin-plan
namanya. Jadilah dia
manusia pengiri melihat
keutamaan orang lain.
3. Amal yang baik seperti
ilmu padi makin lama
makin merunduk karena
penuh bernas.
Bila setiap orang berilmu
padi maka kehidupan
masyarakat pun akan
seperti itu.
Janganlah meniru padi
yang hampa, tengadah tapi
tanpa isi.
4. Jangan pula meniru padi
rebah muda, hasilnya nihil,
karena tidak dapat dipetik
hasilnya.
Halaman 11
1. Orang yang berwatak
rendah, pasti tidak akan
hidup lama.
2. Sayangilah orang tua, oleh
karena itu hati-hatilah
dalam memilih istri,
memilih hamba, agar hati
orangtua tidak tersakiti.
3. Bertanyalah kepada orang-
orang tua tentang agama
hukum para leluhur, agar
hirup tidak tersesat.
4. Ada dahulu (masa lampau)
maka ada sekarang (masa
kini), tidak akan ada masa
sekarang kalau tidak ada
masa yang terdahulu.
5. Ada pokok (pohon) ada
pula batangnya, tidak akan
ada batang kalau tidak ada
pokoknya.
6. Bila ada tunggulnya maka
tentu akan ada batang
(catang)-nya.
7. Ada jasa tentu ada
anugerahnya. Tidak ada
jasa tidak akan ada
anugerahnya.
Perbuatan yang berlebihan
akan menjadi sia-sia.
Halaman 12
1. Perbuatan yang berlebihan
akan menjadi sia- sia, dan
akhirnya sama saja dengan
tidak beramal yang baik.
2. Orang yang terlalu banyak
keinginannya, ingin kaya
sekaya-kayanya, tetapi
tidak berkarya yang baik,
maka keinginannya itu
tidak akan tercapai.
3. Ketidakpastian dan
kesemerawutan keadaan
dunia ini disebabkan
karena salah perilaku dan
salah tindak dari para
orang terkemuka,
penguasa, para cerdik
pandai, para orang kaya;
semuanya salah bertindak,
termasuk para raja di
seluruh dunia.
4. Bila tidak mempunyai
rumah/kekayaan yang
banyak ya jangan beristri
banyak.
5. Bila tidak mampu
berproses menjadi orang
suci, ya jangan bertapa.
Halaman 13
1. Keinginan tidak akan
tercapai tanpa berkarya,
tidak punya keterampilan,
tidak rajin, rendah diri,
merasa berbakat buruk.
Itulah yang disebut hidup
percuma saja.
2. Tirulah wujudnya air di
sungai, terus mengalir
dalam alur yang dilaluinya.
Itulah yang tidak sia-sia.
Pusatkan perhatian kepa
cita-cita yang diinginkan.
Itulah yang disebut dengan
kesempurnaan dan
keindahan.
3. Teguh semangat tidak
mempedulikan hal-hal
yang akan memengaruhi
tujuan kita.
4. Perhatian harus selalu
tertuju/terfokus pada alur
yang dituju.
5. Senang akan keelokan/
keindahan.
6. Kuat pendirian tidak
mudah terpengaruh.
7. Jangan mendengarkan
ucapan-ucapan yang
buruk.
8. Konsentrasikan perhatian
pada cita-cita yang ingin
dicapai.
Kepustakaan
Ayatrohaedi dkk. 1987. Sewaka
Darma, Sanghiyang Siksa
Kandang Karesian - Amanat
Galunggung. Depdikbud.
Danasasmita, Saleh, dkk.
1983-1984. Rintisan
Penelusuran Masa Silam Sejarah
Jawa Barat. Pemerintah Propinsi
Daerah Tk I. Jawa Barat.
Noorduyn J. dan A. Teeuw. 2009.
Tiga Pustaka Sunda Kuna.
Diterjemahkan oleh Hawe
Setiawan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Suryalaga, H.R.Hidayat.
“ Kuningan: Dengan Amanat
Sewaka Darma dari Prabuguru
Darmasiksa ”, makalah yang
disampaikan pada Sosialisasi
Garapan Dinas Tataruang &
Permukiman Prop. Jabar. Di Kab.
Kuningan, 17-10-2003, dan
pada Simposium Internasional
Pernaskahan Nusantara VI
(SIPN-VI) oleh MANASSA Cabang
Bandung (Jawa Barat), 12-14
Agustus 2002 di Hotel Puri
Khatulistiwa - Jatinangor –
Sumedang dalam http://
www.sundanet.com/?
p=244&cpage=1#
comment-69411 Dec 2004
www.nalaroza.wordpress.com
http://
akibalangantrang.blogspot.com/
2008/09/naskah-amanat-
galungung.html 19 February
2010, diposkan Jumat, 05
September 2008, diambil 19
February 2010
20 strategi perang Sunda abad XVI
Bagaimana strategi orang Sunda
dulu berperang, belum banyak
dibahas. Naskah Sanghyang
Siksakandang Karesian hanya
menyebutkan nama-nama
strategi perang yang diterapkan,
paling tidak sampai abad ke-16.
Dalam Sanghyang Siksakandang
Karesian disebutkan, "Bila ingin
tahu tentang perilaku perang,
seperti makarabihwa,
katrabihwa, lisangbihwa,
singhabihwa, garudabihwa,
cakrabihwa, sucimuka,
brajapanjara, asumaliput,
meraksimpir, gagaksangkur,
luwakmaturut, kidangsumeka,
babahbuhaya, ngalinggamanik,
lemahmrewasa, adipati,
prebusakti, pakeprajurit,
tapaksawetrik, tanyalah
panglima
perang." (Danasasmita, dkk.,
1987).
Tulisan ini mencoba
mendeskripsikan strategi
perang dimaksud. Mudah-
mudahan bisa jadi bahan kajian
yang lebih mendalam untuk
berbagai pemanfaatan.
1. Makarabihwa; cara
mengalahkan musuh dengan
tidak berperang. Mengalahkan
musuh dari dalam musuh itu
sendiri, dengan menggunakan
kekuatan pengaruh. Praktik
merusak kekuatan musuh dari
dalam agar merasa kalah
sebelum berperang.
2. Katrabihwa; posisi prajurit
saat menyerang musuh, ada
yang ditempatkan di atas,
biasanya dengan menggunakan
senjata panah, dan prajurit yang
di bawah, biasanya
menggunakan tombak dan
berkuda.
3. Lisangbihwa; sebelum perang
dimulai, Panglima Perang/Hulu
Jurit mengumpulkan pasukan
tempurnya agar seluruh prajurit
berteguh hati menjadi pasukan
yang berani dan bersemangat
berperang untuk mengalahkan
musuh walau pun kekuatan
lebih kecil.
4. Singhabihwa; mengalahkan
pertahanan musuh dengan cara
menyusup. Para penyusup
merupakan tim kecil yang
jumlahnya hanya lima orang,
terdiri atas ahli perang, ahli
strategi, dan ahli memengaruhi
musuh. Musuh terpengaruh oleh
strategi yang kita lancarkan
sehingga pada tahap ini musuh
hancur oleh pikirannya sendiri.
Waktunya sangat lama.
5. Garudabihwa; memusatkan
kekuatan pasukan pada posisi
yang tersebar di beberapa titik
penting yang telah ditentukan
untuk pertempuran. Kekuatan di
setiap titik jumlahnya 20 orang.
Dengan simbol-simbol khusus,
prajurit yang tersebar itu akan
menyerang secara berbarengan
dan sekaligus, kemudian
menyebar kembali untuk
mempersiapkan penyerangan
berikutnya.
6. Cakrabihwa; menyusupkan
beberapa orang prajurit ke
benteng pertahanan musuh
dengan cara rahasia dengan
tujuan utama untuk
menyusupkan persenjataan
yang kelak akan digunakan oleh
pasukan saat bertempur. Mereka
harus prajurit yang sangat
terlatih dan mengetahui medan
serta mengetahui cara-cara
penyusupan.
7. Sucimuka; upaya
pembersihan musuh setelah
perang usai sebab biasanya
masih ada musuh yang berdiam
di persembunyian. Para prajurit
harus mengetahui daerah-
daerah yang pantas digunakan
sebagai tempat berlindung dan
menjadi persembunyian musuh
yang sudah tercerai-berai.
Prajurit harus mengetahui jalan-
jalan yang dijadikan tempat
untuk meloloskan diri.
Pembersihan ini sangat penting
agar musuh tidak menghimpun
kekuatannya kembali.
8. Brajapanjara; mendidik
beberapa orang musuh agar
bekerja untuk pihak kita. Setelah
dianggap tidak membahayakan,
mereka dilepas kembali ke
daerahnya untuk dijadikan
mata-mata. Orang itulah yang
akan mengirimkan informasi
mengenai kekuatan musuh,
seperti jenis dan jumlah senjata
yang mereka miliki, dan strategi
perang apa yang akan
digunakan. Harus sangat hati-
hati saat mendidiknya.
9. Asumaliput; setiap prajurit
harus mengetahui tempat
berlindung atau bersembunyi
serta tidak akan diketahui
musuh, seperti di dalam gua,
tetapi harus pandai melihat
situasi.
10. Meraksimpir; cara berperang
ketika prajurit berada di daerah
yang lebih rendah, sedangkan
musuh berada di daerah yang
lebih tinggi. Bila posisinya
demikian, pasukan dipersenjatai
dengan tombak dan berkuda.
11. Gagaksangkur; cara
berperang ketika prajurit berada
di daerah yang lebih tinggi,
sedangkan musuh berada di
bawah. Cara mengalahkan
musuh dari atas, seperti cara
meloncat atau menghadang.
12. Luwakmaturut; gerakan
untuk memburu musuh yang
kabur dari lapangan
pertempuran. Prajurit harus
tahu cara pengejaran yang
paling cepat di berbagai medan
yang berbeda. Pengejaran
musuh harus sampai di tempat
persembunyiannya, apakah di
air, atau yang lari ke dalam
hutan.
13. Kudangsumeka; cara
menggunakan pedang yang
lebih kecil. Bila menyusup ke
daerah musuh, prajurit harus
mengetahui cara-cara
menyembunyikan pedang/
senjata itu agar tidak diketahui
musuh.
14. Babahbuhaya; cara
menghimpun kekuatan prajurit
pada saat pasukan tertekan dan
terjepit musuh, seperti cara/
upaya memulihkan mental,
semangat, dan kekuatan
prajurit. Dilatihkan ke mana
harus berlari, jangan sampai
berlari ke daerah kekuatan
musuh. Cara bagaimana bila
saat berlari ada musuh di depan,
atau musuh yang terus
mengejar, serta cara bagaimana
memilih tempat perlindungan.
Bila terlihat aman, prajurit
merundingkan upaya
penyelamatan dan
merencanakan penyerangan
balik.
15. Ngalinggamanik; prajurit
yang sudah terlatih
dipersenjatai dengan senjata
rahasia, atau senjata keramat
kerajaan, seperti tombak.
Prajurit dilatih untuk
mengendalikan senjata keramat
itu, bila tidak, bisa-bisa prajurit
itu yang terpental atau pingsan.
16. Lemahmrewasa; cara
berperang di hutan belantara
atau di tempat-tempat yang
rimbun, terutama ketika
pasukan dalam keadaan
terdesak dengan senjata
pasukan yang sudah tidak
mampu melayani kekuatan
persenjataan musuh. Semua
potensi yang bisa digunakan
sebagai senjata dimanfaatkan,
seperti batu atau batang pohon.
17. Adipati; teknik untuk melatih
prajurit yang akan dijadikan
prajurit dengan kemampuan
khusus. Pasukan komando yang
memunyai kemampuan
perseorangan yang tangguh dan
dapat diandalkan.
18. Prebusakti; setiap prajurit
dibekali latihan keahlian khusus
seperti tenaga dalam agar
senjata lebih berisi, lebih matih,
punya kekuatan mengalahkan
musuh secara luar biasa.
19. Pakeprajurit; sering kali raja
menitahkan untuk tidak
berperang. Prajurit terpilih,
yaitu prajurit yang sudah
terlatih untuk berunding,
mengadakan perundingan-
perindingan sehingga musuh
dapat dikalahkan tanpa
berperang. Namun, Panglima
Perang/Sang Hulu Jurit,
sesungguhnya menghendaki
kemenangan dengan cara
berperang.
20. Tapaksawetrik; cara-cara
berperang di air: bagaimana
cara mengelabui musuh agar
tidak mengetahui pergerakan
prajurit, serta cara-cara
menggunakan senjata di air,
seperti di sungai. Prajurit harus
terlatih untuk mendekati musuh
melalui jalan air.
Senjata
Persenjataan yang digunakan
dalam perang pada zaman itu
pada umumnya sudah berupa
senjata dari logam, apakah itu
tombak atau pun pedang.
Peninggalan senjata yang
ditemukan di beberapa tempat
di Jawa Barat, masih dapat
dilihat di Museum Nasional di
Jakarta (Lihat Krom, "Laporan
Kepurbakalaan Jawa Barat
1914"). Sementara itu,
kendaraan yang digunakan saat
bertempur pada umumnya
adalah kuda.
Tulisan ini merupakan upaya
pendahuluan untuk mengetahui
deskripsi dari setiap istilah
strategi perang yang terdapat
dalam Sanghyang Siksakandang
Karesian.
Sumber: http://pikiran-
rakyat.com/index.php?
mib=beritadetail&id=23546
Ramalan jayabaya raja kediri
Syair Jayabaya
(dalam tiga bahasa: bahasa Jawa
Kuno [asli], bahasa Indonesia,
dan bahasa Inggris)
Besuk yen wis ana kreta tanpa
jaran.
Kelak jika sudah ada kereta
tanpa kuda.
One day there will be a cart
without a horse.
Tanah Jawa kalungan wesi.
Tanah Jawa berkalung besi.
The island of Java will wear a
necklace of iron.
Prahu mlaku ing dhuwur
awang-awang.
Perahu berlayar di ruang
angkasa.
There will be a boat flying in the
sky.
Kali ilang kedhunge.
Sungai kehilangan lubuk.
The river will loose its current.
Pasar ilang kumandhang.
Pasar kehilangan suara.
There will be markets without
crowds.
Iku tandha yen tekane jaman
Jayabaya wis cedhak.
Itulah pertanda zaman Jayabaya
telah mendekat.
These are the signs that the
Jayabaya era is coming.
Bumi saya suwe saya
mengkeret.
Bumi semakin lama semakin
mengerut.
The earth will shrink.
Sekilan bumi dipajeki.
Sejengkal tanah dikenai pajak.
Every inch of land will be taxed.
Jaran doyan mangan sambel.
Kuda suka makan sambal.
Horses will devour chili sauce.
Wong wadon nganggo pakeyan
lanang.
Orang perempuan berpakaian
lelaki.
Women will dress in men ’s
clothes.
Iku tandhane yen wong bakal
nemoni wolak-waliking jaman.
Itu pertanda orang akan
mengalami zaman berbolak-
balik.
These are signs that the people
is facing the era of turning
upside down.
Akeh janji ora ditetepi.
Banyak janji tidak ditepati.
Many promises are unkept.
Akeh wong wani nglanggar
sumpahe dhewe.
Banyak orang berani melanggar
sumpah sendiri.
Many break their oath.
Manungsa padha seneng nyalah.
Orang-orang saling lempar
kesalahan.
People will tend to blame on
each other.
Ora ngendahake hukum Allah.
Tak peduli akan hukum Allah.
They will ignore God’s law.
Barang jahat diangkat-angkat.
Yang jahat dijunjung-junjung.
Evil things will be lifted up.
Barang suci dibenci.
Yang suci (justru) dibenci.
Holy things will be despised.
Akeh manungsa mung
ngutamakke dhuwit.
Banyak orang hanya
mementingkan uang.
Many people will become fixated
on money.
Lali kamanungsan.
Lupa jati kemanusiaan.
Ignoring humanity.
Lali kabecikan.
Lupa hikmah kebaikan.
Forgetting kindness.
Lali sanak lali kadang.
Lupa sanak lupa saudara.
Abandoning their families.
Akeh bapa lali anak.
Banyak ayah lupa anak.
Fathers will abandon their
children.
Akeh anak wani nglawan ibu.
Banyak anak berani melawan
ibu.
Children will be disrespectful to
their mothers.
Nantang bapa.
Menantang ayah.
And battle against their fathers.
Sedulur padha cidra.
Saudara dan saudara saling
khianat.
Siblings will collide violently.
Kulawarga padha curiga.
Keluarga saling curiga.
Family will be suspicious of each
other.
Kanca dadi mungsuh.
Kawan menjadi lawan.
Friends become enemies.
Akeh manungsa lali asale.
Banyak orang lupa asal-usul.
People will forget their roots.
Ukuman ratu ora adil.
Hukuman raja tidak adil
The ruler ’s judgements will be
unjust.
Akeh pangkat sing jahat lan
ganjil.
Banyak pembesar jahat dan
ganjil
There will be many peculiar and
evil leaders.
Akeh kelakuan sing ganjil.
Banyak ulah-tabiat ganjil
Many will behave strangely.
Wong apik-apik padha kapencil.
Orang yang baik justru tersisih.
Good people will be isolated.
Akeh wong nyambut gawe apik-
apik padha krasa isin.
Banyak orang yang bekerja halal
justru malu.
Many people will be too
embarrassed to do the right
things.
Luwih utama ngapusi.
Lebih mengutamakan menipu.
Choosing falsehood instead.
Wegah nyambut gawe.
Malas menunaikan kerja.
Many will be lazy to work.
Kepingin urip mewah.
Inginnya hidup mewah.
Seduced by luxury.
Ngumbar nafsu angkara murka,
nggedhekake duraka.
Melepas nafsu angkara murka,
memupuk durhaka.
They will take the easy path of
crime and deceit.
Wong bener thenger-thenger.
Si benar termangu-mangu.
The honest will be confused.
Wong salah bungah.
Si salah gembira ria.
The dishonest will be joyful.
Wong apik ditampik-tampik.
Si baik ditolak ditampik.
The good will be rejected.
Wong jahat munggah pangkat.
Si jahat naik pangkat.
The evil ones will rise to the top.
Wong agung kasinggung.
Yang mulia dilecehkan
Noble people will be abused.
Wong ala kapuja.
Yang jahat dipuji-puji.
Evil doers will be worshipped.
Wong wadon ilang
kawirangane.
Perempuan hilang malu.
Women will become shameless.
Wong lanang ilang kaprawirane.
Laki-laki hilang perwira
Men will loose their courage.
Akeh wong lanang ora duwe
bojo.
Banyak laki-laki tak mau beristri.
Men will choose not to get
married.
Akeh wong wadon ora setya
marang bojone.
Banyak perempuan ingkar pada
suami.
Women will be unfaithful to
their husbands.
Akeh ibu padha ngedol anake.
Banyak ibu menjual anak.
Mothers will sell their babies.
Akeh wong wadon ngedol
awake.
Banyak perempuan menjual diri.
Women will engage in
prostitution.
Akeh wong ijol bebojo.
Banyak orang tukar pasangan.
Couples will trade partners.
Wong wadon nunggang jaran.
Perempuan menunggang kuda.
Women will ride horses.
Wong lanang linggih plangki.
Laki-laki naik tandu.
Men will be carried in a
stretcher.
Randha seuang loro.
Dua janda harga seuang (red.:
seuang = 8,5 sen).
Two divorcees will be valued at
8,5 cents.
Prawan seaga lima.
Lima perawan lima picis.
A virgin will be valued at 10
cents.
Dhudha pincang laku sembilan
uang.
Duda pincang laku sembilan
uang.
A crippled widower will be
valued at nine uang ’s
Akeh wong ngedol ngelmu.
Banyak orang berdagang ilmu.
Many will earn their living by
trading their knowledge.
Akeh wong ngaku-aku.
Banyak orang mengaku diri.
Many will claims other’s
merits as their own.
Njabane putih, njerone dhadhu.
Di luar putih, di dalam jingga.
White outwardly but orange
inwardly
Ngakune suci, nanging sucine
palsu.
Mengaku suci, tapi palsu belaka.
They will proclaim their
righteousness despite their
sinful ways.
Akeh bujuk akeh lojo.
Banyak tipu banyak muslihat.
Many will use sly and dirty
tricks.
Akeh udan salah mangsa.
Banyak hujan salah musim.
Rains will fall in the wrong
season.
Akeh prawan tuwa.
Banyak perawan tua.
Many women will remain virgins
into their old age.
Akeh randha nglairake anak.
Banyak janda melahirkan bayi.
Many divorcees will give birth.
Akeh jabang bayi lahir nggoleki
bapakne.
Banyak anak lahir mencari
bapaknya.
Newborns will search for their
fathers.
Agama akeh sing nantang.
Agama banyak ditentang.
Religions will be attacked.
Prikamanungsan saya ilang.
Perikemanusiaan semakin
hilang.
Humanitarianism will no longer
have importance.
Omah suci dibenci.
Rumah suci dijauhi.
Holy temples will be hated.
Omah ala saya dipuja.
Rumah maksiat makin dipuja.
They will be more fond of
praising evil places.
Wong wadon lacur ing ngendi-
endi.
Di mana-mana perempuan lacur
Prostitution will be everywhere.
Akeh laknat.
Banyak kutuk
There will be many worthy of
damnation.
Akeh pengkianat.
Banyak pengkhianat.
There will be many betrayals.
Anak mangan bapak.
Anak makan bapak.
Children will be against father.
Sedulur mangan sedulur.
Saudara makan saudara.
Siblings will be against siblings.
Kanca dadi mungsuh.
Kawan menjadi lawan.
Friends will become enemies.
Guru disatru.
Guru dimusuhi.
Teacher is treated as an enemy.
Tangga padha curiga.
Tetangga saling curiga.
Neighbours will become
suspicious of each other.
Kana-kene saya angkara murka.
Angkara murka semakin
menjadi-jadi.
And ruthlessness will be
everywhere.
Sing weruh kebubuhan.
Barangsiapa yang tahu terkena
beban.
The eyewitness has to take the
responsibility.
Sing ora weruh ketutuh.
Sedang yang tak tahu
disalahkan.
The ones who know nothing will
be prosecuted.
Besuk yen ana peperangan.
Kelak jika terjadi perang.
One day when there will
armageddon.
Teka saka wetan, kulon, kidul,
lan lor.
Datang dari timur, barat,
selatan, dan utara.
In the east, the west, the south,
and the north.
Akeh wong becik saya sengsara.
Banyak orang baik makin
sengsara.
Good people will suffer more.
Wong jahat saya seneng.
Sedang yang jahat makin
bahagia.
Bad people will be happier.
Wektu iku akeh dhandhang
diunekake kuntul.
Ketika itu burung gagak dibilang
bangau.
When this happens, crow will be
said heron.
Wong salah dianggep bener.
Orang salah dipandang benar.
The wrong person will be
assumed to be honest.
Pengkhianat nikmat.
Pengkhianat nikmat.
Betrayers will live in the utmost
of material comfort.
Durjana saya sempurna.
Durjana semakin sempurna.
The deceitful will decline even
further.
Wong jahat munggah pangkat.
Orang jahat naik pangkat.
The evil persons will rise to the
top.
Wong lugu kebelenggu.
Orang yang lugu dibelenggu.
The modest will be trapped.
Wong mulya dikunjara.
Orang mulia dipenjara.
The noble will be imprisoned.
Sing curang garang.
Yang curang berkuasa.
The fraudulent will be ferocious.
Sing jujur kojur.
Yang jujur sengsara.
The honest will unlucky.
Pedagang akeh sing keplarang.
Pedagang banyak yang
tenggelam.
Many merchants will fly in a
mess.
Wong main akeh sing ndadi.
Penjudi banyak merajalela.
Gamblers will become more
addicted to gambling.
Akeh barang haram.
Banyak barang haram.
Illegal things will be
everywhere.
Akeh anak haram.
Banyak anak haram.
Many babies will be born outside
of legal marriage.
Wong wadon nglamar wong
lanang.
Perempuan melamar laki-laki.
Women will propose marriage.
Wong lanang ngasorake drajate
dhewe.
Laki-laki memperhina derajat
sendiri.
Men will lower their own status.
Akeh barang-barang mlebu
luang.
Banyak barang terbuang-buang.
The merchandise will be left
unsold.
Akeh wong kaliren lan wuda.
Banyak orang lapar dan
telanjang.
Many people will suffer from
starve and stark-naked.
Wong tuku ngglenik sing dodol.
Pembeli membujuk penjual.
Buyers will flatter the sellers.
Sing dodol akal okol.
Si penjual bermain siasat.
Sellers will play tricks and
muscles.
Wong golek pangan kaya gabah
diinteri.
Mencari rezeki ibarat gabah
ditampi.
The way people earn a living will
be as paddies being sifted.
Sing kebat kliwat.
Siapa tangkas lepas.
Some will go wild out of
control.
Sing telah sambat.
Siapa terlanjur menggerutu.
Those who are too far groaning.
Sing gedhe kesasar.
Si besar tersasar.
The ones on the top will get
lost.
Sing cilik kepleset.
Si kecil terpeleset.
The ordinary people will slip.
Sing anggak ketunggak.
Si congkak terbentur.
The arrogant ones will be
collided.
Sing wedi mati.
Si takut mati.
The fearful ones will not survive.
Sing nekat mbrekat.
Si nekat mendapat berkat.
The risk takers will be
successful.
Sing jerih ketindhih.
Si hati kecil tertindih
The ones who are afraid will be
crushed.
Sing ngawur makmur.
Yang ngawur makmur
The careless ones will be
wealthy.
Sing ngati-ati ngrintih.
Yang berhati-hati merintih.
The careful ones will whine
about their suffering.
Sing ngedan keduman.
Yang main gila menerima
bagian.
The crazy ones will get their
portion.
Sing waras nggagas.
Yang sehat pikiran berpikir.
The ones who are healthy will
think wisely.
Wong tani ditaleni.
Si tani diikat.
The farmers will be controlled.
Wong dora ura-ura.
Si bohong menyanyi-nyanyi
Those who are corrupt will sing
happily.
Ratu ora netepi janji, musna
panguwasane.
Raja ingkar janji, hilang
wibawanya.
The rulers do not keep their
promises, will lose their power.
Bupati dadi rakyat.
Pegawai tinggi menjadi rakyat.
The leaders will become
ordinary persons.
Wong cilik dadi priyayi.
Rakyat kecil jadi priyayi.
The ordinary people will become
leaders.
Sing mendele dadi gedhe.
Yang curang jadi besar.
The dishonest persons will rise
to the top.
Sing jujur kojur.
Yang jujur celaka.
The honest ones will be unlucky.
Akeh omah ing ndhuwur jaran.
Banyak rumah di punggung
kuda.
There will be many houses on
horses ’ back.
Wong mangan wong.
Orang makan sesamanya.
People will attack other people.
Anak lali bapak.
Anak lupa bapak.
Children will ignore their
fathers.
Wong tuwa lali tuwane.
Orangtua lupa ketuaan mereka.
The olds forget their oldness.
Pedagang adol barang saya laris.
Jualan pedagang semakin laris.
Merchants will sell out of their
merchandise.
Bandhane saya ludhes.
Namun harta mereka makin
habis.
Yet, they will lose money.
Akeh wong mati kaliren ing
sisihe pangan.
Banyak orang mati lapar di
samping makanan.
Many people will die from
starvation in prosperous times.
Akeh wong nyekel bandha
nanging uripe sangsara.
Banyak orang beharta tapi hidup
sengsara.
Many people will have lots of
money yet, be unhappy in their
live.
Sing edan bisa dandan.
Yang gila bisa bersolek.
The crazy one will be beautifully
attired.
Sing bengkong bisa nggalang
gedhong.
Si bengkok membangun
mahligai.
The insane will be able to build a
lavish estate.
Wong waras lan adil uripe
nggrantes lan kepencil.
Yang waras dan adil hidup
merana dan tersisih.
The ones who are fair and sane
will suffer in their lives and will
be isolated.
Ana peperangan ing njero.
Terjadi perang di dalam.
There will be internal wars.
Timbul amarga para pangkat
akeh sing padha salah paham.
Terjadi karena para pembesar
banyak salah paham.
As a result of
misunderstandings between
those at the top.
Durjana saya ngambra-ambra.
Kejahatan makin merajalela.
The numbers of evil doers will
increase sharply.
Penjahat saya tambah.
Penjahat makin banyak.
There will be more criminals.
Wong apik saya sengsara.
Yang baik makin sengsara.
The good people will live in
misery.
Akeh wong mati jalaran saka
peperangan.
Banyak orang mati karena
perang.
There will be many people die in
a war.
Kebingungan lan kobongan.
Karena bingung dan kebakaran.
Others will be disoriented, and
their property burnt.
Wong bener saya thenger-
thenger.
Si benar makin tertegun.
The honest will be confused.
Wong salah saya bungah-
bungah.
Si salah makin sorak sorai.
The dishonest will be joyful.
Akeh bandha musna ora karuan
lungane.
Akeh pangkat lan drajat pada
minggat ora karuan sababe
Banyak harta hilang entah ke
mana.
Banyak pangkat dan derajat
lenyap entah mengapa.
There will be disappearance of
great riches, titles, and jobs.
Akeh barang-barang haram,
akeh bocah haram.
Banyak barang haram, banyak
anak haram.
There will be many illegal goods.
Bejane sing lali, bejane sing
eling.
Beruntunglah si lupa,
beruntunglah si sadar.
Good luck for the ignoramus,
good luck for anyone who is
aware.
Nanging sauntung-untunge sing
lali.
Tapi betapa pun beruntung si
lupa.
Yet, no matter how lucky is the
ignoramus.
Isih untung sing waspada.
Masih lebih beruntung si
waspada.
It is more lucky for anyone who
is alert.
Angkara murka saya ndadi.
Angkara murka semakin
menjadi.
Ruthlessness will become
worse.
Kana-kene saya bingung.
Di sana-sini makin bingung.
Everywhere the situation will be
chaotic.
Pedagang akeh alangane.
Pedagang banyak rintangan.
Doing business will be more
difficult.
Akeh buruh nantang juragan.
Banyak buruh melawan majikan.
Workers will challenge their
employers.
Juragan dadi umpan.
Majikan menjadi umpan.
The employers will become bait.
Sing suwarane seru oleh
pengaruh.
Yang bersuara tinggi mendapat
pengaruh.
Those who speak out will be
more influential.
Wong pinter diingar-ingar.
Si pandai direcoki.
The wise ones will be ridiculed.
Wong ala diuja.
Si jahat dimanjakan.
The evil ones will be spoiled.
Wong ngerti mangan ati.
Orang yang mengerti makan
hati.
The knowledgeable ones will be
in much distress.
Bandha dadi memala.
Harta-benda menjadi penyakit
The material comfort will incite
crime.
Pangkat dadi pemikat.
Pangkat menjadi pemukau.
Rank and position will become
enticing.
Sing sawenang-wenang
rumangsa menang.
Yang sewenang-wenang merasa
menang
Those who act arbitrarily will
feel as if they are the winners.
Sing ngalah rumangsa kabeh
salah.
Yang mengalah merasa serba
salah.
Those who act wisely will feel as
if everything is wrong.
Ana bupati saka wong sing asor
imane.
Ada raja berasal dari orang yang
rendah imannya.
There will be leaders who are
weak in their faith.
Patihe kepala judhi.
Maha menterinya benggol judi
The chief minister is no one but
a leader of the gamblers.
Wong sing atine suci dibenci.
Yang berhati suci dibenci
Those who have a holy heart
will be rejected.
Wong sing jahat lan pinter jilat
saya derajat.
Yang jahat dan pandai menjilat
makin kuasa.
Those who are evil, and know
how to flatter their boss, will be
promoted.
Pemerasan saya ndadra.
Pemerasan merajalela.
Human exploitation will be
worse.
Maling lungguh wetenge
mblenduk.
Pencuri duduk berperut gendut.
The corpulent thieves will be
able to sit back and relax.
Pitik angrem saduwure pikulan.
Ayam mengeram di atas pikulan.
The hen will hacth eggs in a
carrying pole.
Maling wani nantang sing duwe
omah.
Pencuri menantang si empu
rumah.
Thieves will not be afraid to
challenge the target.
Begal pada ndhugal.
Penyamun semakin kurang ajar.
Robbers will dissent into greater
evil.
Rampok padha keplok-keplok.
Perampok semua bersorak-
sorai.
Looters will be given applause.
Wong momong mitenah sing
diemong.
Si pengasuh memfitnah yang
diasuh
People will slander their
caregivers.
Wong jaga nyolong sing dijaga.
Si penjaga mencuri yang dijaga.
Guards will steel the very things
they are to protect.
Wong njamin njaluk dijamin.
Si penjamin minta dijamin.
Guarantors will ask for
collateral.
Akeh wong mendem donga.
Banyak orang mabuk doa.
Many will ask for blessings.
Kana-kene rebutan unggul.
Di mana-mana berebut menang.
Everybody will compete for
personal victory.
Angkara murka ngombro-
ombro.
Angkara murka menjadi-jadi.
Ruthlessness will be
everywhere.
Agama ditantang.
Agama ditantang.
Religions will be questioned.
Akeh wong angkara murka.
Banyak orang angkara murka.
Many people will be greedy for
power, wealth and, position.
Nggedhekake duraka.
Membesar-besarkan durhaka.
Rebelliousness will increase.
Ukum agama dilanggar.
Hukum agama dilanggar.
Religious law will be broken.
Prikamanungsan diiles-iles.
Perikemanusiaan diinjak-injak.
Human rights will be violated.
Kasusilan ditinggal.
Tata susila diabaikan
Ethics will left behind.
Akeh wong edan, jahat, lan
kelangan akal budi.
Banyak orang gila, jahat, dan
hilang akal budi.
Many will be insane, cruel, and
immoral.
Wong cilik akeh sing kepencil.
Rakyat kecil banyak tersingkir.
Ordinary people will be
segregated.
Amarga dadi korbane si jahat
sing jajil.
Karena menjadi korban si jahat
si laknat.
They will become the victims of
evil and cruel persons.
Banjur ana Ratu duwe pengaruh
lan duwe prajurit.
Lalu datang raja berpengaruh
dan berprajurit.
Then there will come a ruler
who is influential.
Lan duwe prajurit.
Dan punya prajurit.
And having armies.
Negarane ambane saprawolon.
Lebar negeri seperdelapan
dunia.
The country will measured one-
eighth of the world.
Tukang mangan suap saya
ndadra.
Pemakan suap semakin
merajalela.
The number of people who
commit bribery will increase.
Wong jahat ditampa.
Orang jahat diterima.
The evil ones will be accepted.
Wong suci dibenci.
Orang suci dibenci.
The innocent ones will be
rejected.
Timah dianggep perak.
Timah dianggap perak.
Tin will be thought to be silver.
Emas diarani tembaga.
Emas dibilang tembaga
Gold will be thought to be
copper.
Dandang dikandakake kuntul.
Gagak disebut bangau.
A crow will be thought to be an
heron.
Wong dosa sentosa.
Orang berdosa sentosa.
The sinful ones will be safe and
live in tranquility.
Wong cilik disalahake.
Rakyat jelata dipersalahkan.
The poor will be blamed.
Wong nganggur kesungkur.
Si penganggur tersungkur.
The unemployed will be rooted
up.
Wong sregep krungkep.
Si tekun terjerembab.
The diligent ones will be forced
down.
Wong nyengit kesengit.
Orang busuk hati dibenci.
The people will seek revenge
against the fiercely violent ones.
Buruh mangluh.
Buruh menangis.
Workers will suffer from
overwork.
Wong sugih krasa wedi.
Orang kaya ketakutan.
The rich will feel unsafe.
Wong wedi dadi priyayi.
Orang takut jadi priyayi.
People who belong to the upper
class will feel insecure.
Senenge wong jahat.
Berbahagialah si jahat.
Happiness will belong to the evil
persons.
Susahe wong cilik.
Bersusahlah rakyat kecil.
Trouble will belong to the poor.
Akeh wong dakwa dinakwa.
Banyak orang saling tuduh.
Many will sue each other.
Tindake manungsa saya kuciwa.
Ulah manusia semakin tercela.
Human behaviour will fall short
of moral enlightenment.
Ratu karo ratu pada rembugan
negara endi sing dipilih lan
disenengi.
Raja dan raja berunding negeri
mana yang dipilih dan disukai.
Leaders will discuss and choose
which countries are their
favourites and which ones are
not.
Hore! Hore!
Hore! Hore!
Horray! Horray!
Wong Jawa kari separo.
Orang Jawa tinggal separo.
The Javanese will remain half.
Landa-Cina kari sejodho.
Belanda-Cina tinggal sepasang.
The Dutch and the Chinese each
will remain a pair.
Akeh wong ijir, akeh wong
cethil.
Banyak orang kikir, banyak
orang bakil.
Many become stingy.
Sing eman ora keduman.
Si hemat tidak mendapat
bagian.
The cautious ones will not get
their portion.
Sing keduman ora eman.
Yang mendapat bagian tidak
berhemat.
The ones who receive their
portion will be prodigal.
Akeh wong mbambung.
Banyak orang berulah dungu.
Stupidity will be everywhere.
Akeh wong limbung.
Banyak orang limbung.
Bewildered persons will be
everywhere.
Selot-selote mbesuk wolak-
waliking jaman teka.
Lambat-laun datanglah kelak
terbaliknya zaman.
One day, yet slowly, the age of
turbulence will come.
Sedikit penjelasan tentang wangsit siliwangi
Wangsit Siliwangi:
"Suatu saat nanti, apabila
tengah malam terdengar suara
pembawa panji, nah itu adalah
tandanya."
Sosok "Satrio Piningit" memang
masih misterius. Banyak sudah
yang mencoba untuk
menemukannya dengan caranya
sendiri-sendiri. Alhasil, ada yang
yakin telah menemukannya,
bahkan juga ada yang mengaku
dirinyalah si Satrio Piningit
tersebut. Apabila diteliti maka
sosok yang telah ditemukan itu
masih bisa diragukan apakah
memang dia si calon Ratu Adil?
Budak Angon atau
"Penggembala" sesungguhnya
merupakan konsepsi tentang
kehidupan dan kemanusiaan.
Dalam konteks diri manusia,
Budak Angon merupakan
konsep tentang penemuan jati
diri dan pengendalian diri untuk
apa sesungguhnya kita dicipta.
Selain jasad kita yang
sesungguhnya hanyalah
"tunggangan" yang harus
ditundukkan, dikendalikan, dan
diarahkan melalui proses
"penggembalaan", dalam diri
kita juga terdapat kumpulan
"sasatoan" yang tidak untuk
dimatikan melainkan untuk
digembalakan sehingga menjadi
potensi dan energi positif bagi
penemuan misi hidup kita.
Dalam konteks kehidupan
sesama, Budak Angon
menjelaskan suatu upaya dan
proses "penertiban",
pembangunan kesadaran, serta
pengarahan hubungan
antarsesama yang dilandasi
cinta dan kasih sayang. Suatu
tatanan kehidupan yang lebih
berkeadilan. Dalam konteks
sosok, pribadi-pribadi yang
bekerja keras dalam upaya dan
proses yang demikianlah
disebut Budak Angon.
Keragu-raguan yang muncul
mendorong untuk menelaah
dan mempelajari kembali apa
yang telah diungkapkan dalam
naskah-naskah leluhur
mengenai sosok Satrio Piningit
sejati. Salah satu naskah yang
biasa kita gunakan sebagai
rujukan yaitu Uga Wangsit
Siliwangi. Siliwangi dalam Ugo
Wangsitnya menyebut si calon
Ratu Adil dengan sebutan Bocah
Angon atau Pemuda
Penggembala. Beberapa hal
yang disebutkan dalam Ugo
Wangsit Siliwangi mengenai
Bocah Angon yaitu :
1. Suara minta tolong.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi
disebutkan “Suatu saat nanti,
apabila tengah malam, dari
gunung Halimun terdengar
suara para pembawa panji, nah
itu adalah tandanya. Semua
keturunan kalian dipanggil oleh
yang mau menikah di Lebak
Cawéné.” Kata “suara minta
tolong” sepertinya sama
dengan ungkapan Joyoboyo
dalam bait 169 yaitu “senang
menggoda dan minta secara
nista, ketahuilah bahwa itu
hanya ujian, jangan dihina, ada
keuntungan bagi yang dimintai
artinya dilindungi anda
sekeluarga “.
Bocah Angon di awal
kemunculannya akan beraksi
melakukan hal-hal sebagai
pertanda kedatangannya. Salah
satunya adalah meminta tolong
kepada orang di sekitar daerah
Gunung Halimun. Tidak jelas
mengapa dia minta tolong
kepada orang lain, apakah dia
dalam kesulitan ataukah
keperluan lainnya. Yang pasti
bila telah terjadi hal demikian
berarti itu pertanda akan
kemunculannya.
Sementara dikaitkan dengan
Ramalan Joyoboyo paba bait
169 disebutkan bila Bocah
Angon tersebut “suka minta
secara nista sebagai ujian”.
Kalimat tersebut
mengindikasikan bahwa minta
tolong itu hanya sebatas ujian
bagi yang dimintai pertolongan.
Ujian apakah itu? belum
diketahui ujian apa yang suka
dilakukan Bocah Angon pada
orang. Sebaiknya kita tunggu
saja kejadiannya.
2. Mencari sambil melawan,
melawan sambil tertawa.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi
disebutkan “Suatu saat nanti
akan banyak hal yang ditemui,
sebagian-sebagian. Sebab
terlanjur dilarang oleh
Pemimpin Pengganti! Ada yang
berani menelusuri terus
menerus, tidak mengindahkan
larangan, mencari sambil
melawan, melawan sambil
tertawa. Dialah Anak
Gembala. ” Kata terlanjur
dilarang ini apa maksudnya?
Apakah dilarang dalam
mengungkap fakta-fakta, ato
dilarang meluruskan sejarah?
sepertinya masih butuh
penafsiran lagi.
Yang pasti Bocah Angon
sepertinya tidak peduli dengan
larangan pemimpin. Bahkan
bukan hanya tidak peduli
dengan larangan tersebut,
tetapi lebih dari itu Bocah Angon
melawan larangan si pemimpin
itu sambil tertawa. Tidak bisa
dibayangkan bagaimana
perasaan si pemimpin bila
dilawan sambil tertawa. Bisa-
bisa Bocah Angon dalam situasi
bahaya nih karena kerjanya
selalu melawan sang pemimpin
pengganti.
Kata banyak yang ditemui
sebagian-sebagian karena
terlanjur dilarang pemimpin
baru, menunjukkan bahwa yang
akan ditemukan masyarakat
memang hanya sebagian saja.
Oleh karena sebagian saja maka
yang ditemukan tersebut
belumlah lengkap dan tentunya
belum sempurna hasilnya.
Tetapi tidak bagi Bocah Angon,
dia terus saja mencari sambil
melawan. Bisa jadi temuan si
Bocah Angon ini kelak
merupakan temuan yang paling
lengkap dan mendekati
kebenaran.
3. Dia gembalakan ranting daun
kering dan sisa potongan
pohon.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi
disebutkan “Apa yang dia
gembalakan? Bukan kerbau
bukan domba, bukan pula
harimau ataupun banteng.
Tetapi ranting daun kering dan
sisa potongan pohon. Dia terus
mencari, mengumpulkan semua
yang dia temui. Tapi akan
menemui banyak sejarah/
kejadian, selesai jaman yang
satu datang lagi satu jaman
yang jadi sejarah/kejadian baru,
setiap jaman membuat sejarah.
setiap waktu akan berulang itu
dan itu lagi. ”
Bocah Angon memiliki kebiasaan
mengumpulkan daun dan
ranting. Kata daun dan ranting
yang disebutkan Uga Wangsit
Siliwangi dalam bahasa asli
Sundanya yaitu “Kalakay jeung
Tutunggul“. Kalakay
merupakan daun lontar yang
biasa digunakan oleh orang kita
pada jaman dulu kala sebagai
lembaran daun untuk menulis.
Sementara Tutunggul
merupakan ranting pohon yang
biasa digunakan orang kita pada
jaman dulu kala sebagai pena
untuk menulis. Sehingga
Kalakay dan Tutunggul bisa
diartikan sebagai kertas dan
pena.
Si Bocah Angon ini memiliki
kegemaran suka
menggembalakan kertas dan
pena . Dia terus mengumpulkan
dan mengumpulkan kedua
barang tersebut sebagai
gembalaannya. Tidak jelas
kenapa dia suka
menggembalakan kertas dan
pena. Kata mengumpulkan itu
berarti kertas dan pena tersebut
tidak hanya 1 buah, tetapi
jumlahnya banyak dan itu
menjadi barang kegemarannya.
Selanjutnya disebutkan “Dia
terus mencari, mengumpulkan
semua yang dia temui. Tapi akan
menemui banyak sejarah/
kejadian “. Kalimat tersebut
bisa berarti bahwa Bocah Angon
menggembalakan kertas dan
pena untuk menemukan sejarah
dan kejadian. Ntah sejarah dan
kejadian apa yang dia
kumpulkan, tetapi bisa
dimengerti bahwa di Nusantara
banyak sekali sejarah yang
dirubah, mungkin hal tersebut
bisa juga terkait dengan
pelurusan sejarah kita.
Dia akan terus mengumpulkan
sejarah dan kejadian-kejadian
penting tentunya untuk
menyelesaikan masalah di
Nusantara. Wajar saja bila
sejarah ditelusuri karena
memang untuk menyelesaikan
suatu masalah tidak bisa tidak
harus mengetahui awal
sejarahnya bagaimana bisa
terjadi. Dengan kegemarannya
menelusuri sejarah dan kejadian
yang dituangkan dalam kertas
dan pena tersebut kelak
masalah di Nusantara akan bisa
dibereskan dengan mudah.
Semoga.
4. Rumahnya di ujung sungai
yang pintunya setinggi batu.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi
disebutkan “lalu mereka
mencari anak gembala, yang
rumahnya di ujung sungai yang
pintunya setinggi batu ”. Kata
di ujung sungai menunjukkan
bahwa rumah Bocah Angon
letaknya berada dekat dengan
hulu sungai. Siliwangi tidak
memberikan gambaran berapa
jarak antara rumah dengan
sungai tersebut. Bisa jadi hanya
beberapa meter dari sungai,
tetapi bisa jadi puluhan meter
dari sungai.
Siliwangi juga tidak
menyebutkan nama dari sungai
tersebut sehingga rada
menyulitkan untuk menentukan
letak sungainya. Di Jawa
terdapat banyak sekali sungai
membentang dari utara hingga
selatan. Dan rata-rata di pinggir
sungai terdapat banyak rumah
penduduk dan ini tentunya
sangat menyulitkan untuk
menentukan letak sungainya
yang sesuai kata Siliwangi.
Namun yang pasti Bocah Angon
rumahnya dekat sungai
sehingga bila ada yang mengaku
dirinya Bocah Angon tetapi
rumahnya jauh dari sungai
berarti itu tidak sesuai dengan
Ugo Wangsit Siliwangi.
Kemudian untuk kata pintunya
setinggi batu masih perlu
dipertanyakan, apakah atap
rumahnya terbuat dari batu?
dan juga apakah pintu
rumahnya juga terbuat dari
batu? kok seperti rumah nenek
moyang kita dulu. Bisa jadi
demikian tetapi mungkin juga
tidak demikian.
Kalimat tersebut bisa dipahami
bahwa rumah Bocah Angon
tidak hanya 1 lantai, namun
bertingkat rumahnya. Hal ini
diperkuat dengan ungkapan
Joyoboyo dalam bait 161
yaitu “berumah seperti Raden
Gatotkaca, berupa rumah
merpati susun tiga “. Dari
ungkapan Joyoboyo
menunjukkan ada 3 lantai
rumah dari Bocah Angon.
Tentunya bukan rumah biasa,
bisa jadi rumah tingkat ekonomi
menengah atau memang Bocah
Angon dari keluarga kaya?
belum bisa dipastikan.
Oleh karena untuk membuat
suatu rumah yang bertingkat
dengan bahan semen untuk
lantai 2nya, maka dari bahan
semen yang padat otomatis
akan membentuk batu yang
keras . Sehingga bisa dipahami
bila pintu lantai pertama akan
setinggi batu (setinggi cor
semen lantai 2). Memang
kebanyakan rumah orang yang
bertingkat pintunya pasti akan
setinggi lantai 2, tepat di bawah
cor semen yang telah menjadi
batu tersebut. Jadi dapat
disimpulkan bahwa rumah
Bocah Angon memang
bertingkat yang pintunya
setinggi lantai tingkat 2-nya.
5. Tertutupi pohon handeuleum
dan hanjuang.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi
disebutkan “rumahnya di
ujung sungai yang pintunya
setinggi batu, yang rimbun oleh
pohon handeuleum dan
hanjuang ”. Kata rimbun oleh
pohon Handeuleum dan
Hanjuang berarti di depan
rumah Bocah Angon terdapat 2
pohon yang sangat subur dan
menjadi ciri khas rumahnya.
Dalam hal ini hanya disebutkan
2 buah pohon saja, artinya
memang hanya ada 2 buah
pohon di depan rumahnya
sebagai pembeda dari rumah
lainnya.
Apabila ditelusuri kedua jenis
pohon tersebut dalam istilah
bahasa Indonesianya memang
belum diketahui apa namanya.
Kedua kata tersebut sepertinya
bahasa kuno dari daerah Sunda
tempat Siliwangi berada. Hingga
kini belum ada pihak yang
merasa mengetahui kedua jenis
pohon tersebut. Bahkan orang-
orang asli Sundapun juga
mengaku tidak mengetahui
kedua jenis pohon itu. Kita
tunggu saja kelak akan kita
ketahui juga.
Sementara itu beberapa
kalangan justru menafsirkan
kata Handeuleum dan Hanjuang
sebagai simbol saja. Benarkah
kedua pohon itu sebenarnya
bukan pohon hidup di atas
tanah, tetapi sekedar simbol
saja? Coba anda lihat kembali
Siliwangi menyebut Pemuda
Penggembala dengan “Apa
yang dia gembalakan? Bukan
kerbau bukan domba, bukan
pula harimau ataupun banteng.
Tetapi ranting daun kering dan
sisa potongan pohon. ”
Kata pemuda penggembala itu
cuma simbol dari Siliwangi.
Kemudian simbol tersebut
dijelaskan bila yang
digembalakan bukan binatang,
tetapi daun dan ranting.
Sementara kata Handeuleum
dan Hanjuang tidak ada kalimat
penjelasan selanjutnya .
Sehingga kedua kata tersebut
dapat dipastikan memang dua
buah pohon yang tumbuh di
atas tanah. Apabila simbol
tentunya Siliwangi akan
menjelaskan maksudnya.
6. Pergi bersama pemuda
berjanggut.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi
disebutkan “Semua mencari
tumbal, tapi pemuda gembala
sudah tidak ada, sudah pergi
bersama pemuda berjanggut,
pergi membuka lahan baru di
Lebak Cawéné! ” Siapakah
pemuda berjanggut itu?
Penyebutan pemuda berjanggut
ini masih perlu dipertanyakan.
Apakah pemuda tersebut
merupakan kerabat atau
keluarga atau teman ataukah
pengasuh si Bocah Angon?
Belum jelas diketahui karena
memang dalam Ugo Wangsit
Siliwangi tidak menyinggung
mengenai hal tersebut.
Dalam naskah-naskah lain
memberitahukan bahwa Ratu
Adil memiliki pengasuh yaitu
Sabdo Palon. Mungkinkah
pemuda berjanggut tersebut
adalah Sabdo Palon? Sepertinya
tidak karena Sabdo Palon
merupakan sosok Jin, sementara
penyebutan kata pemuda
menunjukkan dia adalah
manusia. Jadi pemuda
berjanggut bukanlah Sabdo
Palon.
Misteri ini masih sulit untuk
diungkap yang sebenarnya.
Pada saat Bocah Angon masih
menjadi sosok yang misteri,
pada saat yang sama pula ada
sosok lain yaitu pemuda
berjanggut yang jati dirinya juga
masih misteri. Namun yang
pasti pemuda tersebut memiliki
janggut dan kelak akan kita
ketahui setelah tiba waktu
kemunculan Bocah Angon.
7. Pergi membuka lahan baru di
Lebak Cawéné!
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi
disebutkan “Semua mencari
tumbal, tapi pemuda gembala
sudah tidak ada, sudah pergi
bersama pemuda berjanggut,
pergi membuka lahan baru di
Lebak Cawéné !” Bocah Angon
sepertinya tidak akan ditemukan
sebelum kemunculannya. Ketika
orang-orang sudah menemukan
rumahnya yang di ujung sungai,
dia telah pergi bersama pemuda
berjanggut ke Lebak Cawéné.
Siliwangi tidak menyebutkan
kemudian orang-orang akan
berhasil menemukan Bocah
Angon di Lebak Cawéné setelah
gagal menemukan di rumahnya.
Tidak ada kalimat tersebut
dalam Ugo Wangsit Siliwangi.
Karena tidak ada kata itu maka
bisa disimpulkan bahwa jarak
antara rumah dengan Lebak
Cawéné tidak dekat bahkan
mungkin sangat jauh.
Siliwangi juga tidak
menyebutkan setelah pergi ke
Lebak Cawéné si Bocah Angon
kemudian kembali lagi ke
rumahnya. Karena tidak ada
kalimat yang menyebutkan hal
tersebut berarti Lebak Cawéné
merupakan tempat baru yang
ditinggali Bocah Angon setelah
rumahnya yang di ujung sungai
di tinggal pergi. Apabila Bocah
Angon kembali lagi ke rumahnya
yang di ujung sungai, maka
tentunya Siliwangi akan
menyebutnya berhasil
ditemukan di rumahnya. Sudah
pasti bila orang telah
menemukan rumahnya maka
akan ditunggui kapan
kembalinya. Tetapi ternyata
tidak ada kalimat tersebut
dalam Ugo Wangsit Siliwangi.
Sampai saat ini belum diketahui
dimana letak Lebak Cawéné
berada. Dalam peta Jawa
maupun peta Indonesia, tidak
ada daerah yang diberi nama
Lebak Cawéné. Oleh karena
namanya yang masih asing
inilah maka banyak kalangan
menafsirkan menurut
keyakinannya masing-masing.
Ada yang menafsirkan Lebak
Cawéné berada di lereng sebuah
gunung. Ada juga yang
mengatakan berada di petilasan
Joyoboyo. Yang lain mengatakan
berada di tempat yang ada
guanya dan sebagainya
membuat semakin tidak jelas
saja letak Lebak Cawéné dimana.
Tetapi apabila anda meyakini
sebuah tempat merupakan
Lebak Cawéné, maka bisa
dipastikan anda akan
memaksakan kehendak untuk
menentukan 1 orang di daerah
tersebut sebagai calon Ratu Adil.
Wah jadi kasian pada orangnya
kena sasaran.
Ketahuilah bahwa Siliwangi
tidak menyebutkan Bocah
Angon akan berhasil ditemukan
di Lebak Cawéné. Di sisi lain
Siliwangi juga tidak memberikan
ciri-ciri Lebak Cawéné yang dia
katakan sehingga mustahil
Lebak Cawéné bisa diketahui
sebelum Ratu Adil muncul,
kecuali anda lebih sakti dari
Siliwangi. Kemampuan sama
dengan Siliwangi aja tidak
mungkin apalagi lebih tinggi
dari Siliwangi, jelas tidak
mungkin lagi.
8. Gagak berkoar di dahan mati.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi
disebutkan “Semua mencari
tumbal, tapi pemuda gembala
sudah tidak ada, sudah pergi
bersama pemuda berjanggut,
pergi membuka lahan baru di
Lebak Cawéné! Yang ditemui
hanya gagak yang berkoar di
dahan mati”. Kata Gagak
berkoar mungkinkah memang
burung Gagak yang suka
berkicau, ataukah itu
merupakan simbol saja.
Banyak kemungkinan mengenai
Gagak berkoar tersebut. Namun
dalam naskah-naskah lain
seperti yang diungkap
Ronggowarsito dan Joyoboyo
bahwa Bocah Angon sebelum
menjadi Ratu Adil hidupnya
menderita, dia sering dihina
oleh orang. Apabila dikaitkan
dengan hal tersebut maka Gagak
berkoar itu bisa juga diartikan
sebagai orang-orang yang suka
menghina si Bocah Angon.
Oleh karena hidupnya yang
selalu saja dihina orang, maka
akhirnya Bocah Angonpun pergi
meninggalkan rumahnya.
Kemudian dia bersama pemuda
berjanggut menuju ke Lebak
Cawéné untuk membuka lahan
baru disana. Semua mencari
tumbal bisa saja diartikan
sebagai mencari berita dan
ketika yang dicari si Bocah
Angon sudah tidak ada, maka
tidak bisa tidak mencari berita
dari para Gagak yang berkoar
tersebut.
9. Ratu Adil sejati.
Dalam Ugo Wangsit Siliwangi
disebutkan “Baik lagi
semuanya. Negara bersatu
kembali. Nusa jaya lagi, sebab
berdiri ratu adil, ratu adil yang
sejati. Tapi ratu siapa? darimana
asalnya sang ratu? Nanti juga
kalian akan tahu. Sekarang, cari
oleh kalian pemuda gembala.”
Kita disuruh Siliwangi untuk
mencari Bocah Angon, karena
dialah yang kelak akan menjadi
Ratu Adil sejati.
Sepertinya SIliwangi bermaksud
memberikan pesan untuk
berhati-hati dalam mencari
Bocah Angon. Hal ini
dikarenakan banyak sekali Bocah
Angon palsu akan bermunculan
di Jawa ini. Kemunculan Bocah
Angon palsu bisa jadi karena
dukungan orang lain akan
dirinya sehingga dipaksa cocok
menjadi Ratu Adil, tetapi juga
bisa jadi karena terburu-buru
meyakini dirinyalah si Bocah
Angon.
Lihatlah saat ini telah banyak
terdengar dimana-mana dari
Jawa bagian barat hingga Jawa
bagian timur, orang-orang yang
muncul diyakini sebagai Ratu
Adil. Bahkan juga bermunculan
dimana-mana orang yang
mengakui dirinyalah Ratu Adil
tersebut. Apabila dimintai bukti
maka orang-orang tersebut
akan mencocok-cocokkan diri
dengan naskah-naskah yang ada
untuk meyakinkan orang.
Padahal kenyataan tidak
semuanya cocok.
Untuk itulah Siliwangi berpesan
agar kita mencari Ratu Adil
sejati, karena Ratu Adil sejati
hanya satu sementara Ratu Adil
palsu banyak sekali. Walaupun
banyak Ratu Adil palsu, hal itu
tidak akan mengubah kepastian
munculnya yang asli. Apabila
yang asli telah muncul maka
semua akan terbukti mana yang
asli dan mana yang palsu sesuai
kata Siliwangi “Tapi ratu siapa?
darimana asalnya sang ratu?
Nanti juga kalian akan tahu.
Sekarang, cari oleh kalian
pemuda gembala. ”
Demikianlah beberapa hal
mengenai Bocah Angon sesuai
yang disebutkan dalam naskah
Ugo Wangsit Siliwangi. Siliwangi
sengaja tidak begitu jelas
menggambarkan si Bocah
Angon dalam naskahnya
sehingga sangat menyulitkan
kita untuk menemukannya.
Kesengajaan ini dimengerti
karena memang akan banyak
pihak-pihak yang tentunya
menghalangi kemunculan Ratu
Adil dengan berbagai alasannya.
Pada saat Siliwangi tidak
memberikan gambaran yang
jelas mengenai Bocah Angon. Di
waktu yang sama pula kita
disuruh untuk mencari si Bocah
Angon tersebut, memangnya
kita ini terlahir sebagai detektif
semua. Namun yang pasti kelak
akan diketahui juga mana Ratu
Adil palsu dan mana Ratu Adil
yang sejati tentunya setelah tiba
waktu kemunculannya. Untuk
itu baik ditunggu, dicari maupun
tidak sama sekali sepertinya
hasilnya tetap sama. Waktunya
akan segera tiba.
Sumber: http://
eddycorret.wordpress.com/2008
/07/14/bocah-angon-menurut-
ugo-wangsit-siliwangi/
Wangsit siliwangi
Carita Pantung
Ngahiangna Pajajaran
Pun, sapun kula jurungkeun
Mukakeun turub mandepun
Nyampeur nu
dihandeuleumkeun
Teundeun poho nu baréto
Nu mangkuk di saung butut
Ukireun dina lalangit
Tataheun di jero iga!
Carita Pantung Ngahiangna
Pajajaran
Pun, sapun kula jurungkeun
Mukakeun turub mandepun
Nyampeur nu
dihandeuleumkeun Teundeun
poho nu baréto Nu mangkuk di
saung butut Ukireun dina
lalangit Tataheun di jero iga!
[edit] UGA WANGSIT SILIWANGI
Saur Prabu Siliwangi ka balad
Pajajaran anu milu mundur dina
sateuacana ngahiang: Lalakon
urang ngan nepi ka poé ieu,
najan dia kabéhan ka ngaing
pada satia! Tapi ngaing henteu
meunang mawa dia pipilueun,
ngilu hirup jadi balangsak, ngilu
rudin bari lapar. Dia mudu
marilih, pikeun hirup ka
hareupna, supaya engké jagana,
jembar senang sugih mukti, bisa
ngadegkeun deui Pajajaran! Lain
Pajajaran nu kiwari, tapi
Pajajaran anu anyar, nu
ngadegna digeuingkeun ku obah
jaman! Pilih! ngaing moal
ngahalang-halang. Sabab pikeun
ngaing, hanteu pantes jadi Raja,
anu somah sakabéhna, lapar baé
jeung balangsak.
Daréngékeun! Nu dék tetep
ngilu jeung ngaing, geura misah
ka beulah kidul! Anu hayang
balik deui ka dayeuh nu
ditinggalkeun, geura misah ka
beulah kalér! Anu dék kumawula
ka nu keur jaya, geura misah ka
beulah wétan! Anu moal milu ka
saha-saha, geura misah ka
beulah kulon!
Daréngékeun! Dia nu di beulah
wétan, masing nyaraho:
Kajayaan milu jeung dia! Nya
turunan dia nu engkéna bakal
maréntah ka dulur jeung ka
batur. Tapi masing nyaraho,
arinyana bakal kamalinaan.
Engkéna bakal aya babalesna. Jig
geura narindak!
Dia nu di beulah kulon! Papay ku
dia lacak Ki Santang! Sabab
engkéna, turunan dia jadi
panggeuing ka dulur jeung ka
batur. Ka batur urut salembur,
ka dulur anu nyorang saayunan
ka sakabéh nu rancagé di
haténa. Engké jaga, mun tengah
peuting, ti gunung Halimun
kadéngé sora tutunggulan, tah
éta tandana; saturunan dia
disambat ku nu dék kawin di
Lebak Cawéné. Ulah sina
talangké, sabab talaga bakal
bedah! Jig geura narindak! Tapi
ulah ngalieuk ka tukang!
Dia nu marisah ka beulah kalér,
daréngékeun! Dayeuh ku dia
moal kasampak. Nu ka sampak
ngan ukur tegal baladaheun.
Turunan dia, lolobana bakal jadi
somah. Mun aya nu jadi pangkat,
tapi moal boga kakawasaan.
Arinyana engké jaga, bakal ka
seundeuhan batur. Loba batur ti
nu anggang, tapi batur anu
nyusahkeun. Sing waspada!
Sakabéh turunan dia ku ngaing
bakal dilanglang. Tapi, ngan di
waktu anu perelu. Ngaing bakal
datang deui, nulungan nu
barutuh, mantuan anu sarusah,
tapi ngan nu hadé laku-
lampahna. Mun ngaing datang
moal kadeuleu; mun ngaing
nyarita moal kadéngé. Mémang
ngaing bakal datang. Tapi ngan
ka nu rancagé haténa, ka nu
weruh di semu anu saéstu, anu
ngarti kana wangi anu sajati
jeung nu surti lantip pikirna, nu
hadé laku lampahna. Mun
ngaing datang; teu ngarupa teu
nyawara, tapi méré céré ku
wawangi. Ti mimiti poé ieu,
Pajajaran leungit ti alam hirup.
Leungit dayeuhna, leungit
nagarana. Pajajaran moal
ninggalkeun tapak, jaba ti
ngaran pikeun nu mapay. Sabab
bukti anu kari, bakal réa nu
malungkir! Tapi engké jaga
bakal aya nu nyoba-nyoba,
supaya anu laleungit kapanggih
deui. Nya bisa, ngan mapayna
kudu maké amparan. Tapi anu
marapayna loba nu arieu-aing
pang pinterna. Mudu arédan
heula.
Engké bakal réa nu kapanggih,
sabagian-sabagian. Sabab
kaburu dilarang ku nu disebut
Raja Panyelang! Aya nu wani
ngoréhan terus terus, teu
ngahiding ka panglarang;
ngoréhan bari ngalawan,
ngalawan sabari seuri. Nyaéta
budak angon; imahna di birit
leuwi, pantona batu
satangtungeun, kahieuman ku
handeuleum, karimbunan ku
hanjuang. Ari ngangonna? Lain
kebo lain embé, lain méong lain
banténg, tapi kalakay jeung
tutunggul. Inyana jongjon
ngorehan, ngumpulkeun anu
kapanggih. Sabagian
disumputkeun, sabab acan
wayah ngalalakonkeun. Engke
mun geus wayah jeung
mangsana, baris loba nu kabuka
jeung raréang ménta
dilalakonkeun. Tapi, mudu
ngalaman loba lalakon, anggeus
nyorang: undur jaman datang
jaman, saban jaman mawa
lalakon. Lilana saban jaman,
sarua jeung waktuna nyukma,
ngusumah jeung nitis, laju nitis
dipinda sukma.
Daréngékeun! Nu kiwari
ngamusuhan urang, jaradi
rajana ngan bakal nepi mangsa:
tanah bugel sisi Cibantaeun
dijieun kandang kebo dongkol.
Tah di dinya, sanagara bakal jadi
sampalan, sampalan kebo
barulé, nu diangon ku jalma
jangkung nu tutunjuk di alun-
alun. Ti harita, raja-raja
dibelenggu. Kebo bulé nyekel
bubuntut, turunan urang narik
waluku, ngan narikna henteu
karasa, sabab murah jaman
seubeuh hakan.
Ti dinya, waluku ditumpakan
kunyuk; laju turunan urang aya
nu lilir, tapi lilirna cara nu kara
hudang tina ngimpi. Ti nu
laleungit, tambah loba nu
manggihna. Tapi loba nu pahili,
aya kabawa nu lain mudu diala!
Turunan urang loba nu hanteu
engeuh, yén jaman ganti
lalakon ! Ti dinya gehger
sanagara. Panto nutup di
buburak ku nu ngaranteur
pamuka jalan; tapi jalan nu
pasingsal!
Nu tutunjuk nyumput jauh;
alun-alun jadi suwung, kebo
bulé kalalabur; laju sampalan nu
diranjah monyét! Turunan urang
ngareunah seuri, tapi seuri teu
anggeus, sabab kaburu: warung
béak ku monyét, sawah béak ku
monyét, leuit béak ku monyét,
kebon béak ku monyét, sawah
béak ku monyét, cawéné
rareuneuh ku monyét. Sagala-
gala diranjah ku monyét.
Turunan urang sieun ku nu niru-
niru monyét. Panarat dicekel ku
monyet bari diuk dina bubuntut.
Walukuna ditarik ku turunan
urang keneh. Loba nu paraeh
kalaparan. ti dinya, turunan
urang ngarep-ngarep pelak
jagong, sabari nyanyahoanan
maresék caturangga. Hanteu
arengeuh, yén jaman geus ganti
deui lalakon.
Laju hawar-hawar, ti tungtung
sagara kalér ngaguruh
ngagulugur, galudra megarkeun
endog. Génjlong saamparan
jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu
mangpring. Pangpring sabuluh-
buluh gading. Monyét ngumpul
ting rumpuyuk. Laju ngamuk
turunan urang; ngamukna teu
jeung aturan. loba nu paraéh teu
boga dosa. Puguh musuh,
dijieun batur; puguh batur
disebut musuh. Ngadak-ngadak
loba nu pangkat nu maréntah
cara nu édan, nu bingung
tambah baringung; barudak
satepak jaradi bapa. nu
ngaramuk tambah rosa;
ngamukna teu ngilik bulu. Nu
barodas dibuburak, nu
harideung disieuh-sieuh. Mani
sahéng buana urang, sabab nu
ngaramuk, henteu beda tina
tawon, dipaléngpéng keuna
sayangna. Sanusa dijieun jagal.
Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu
nyapihna urang sabrang.
Laju ngadeg deui raja, asalna
jalma biasa. Tapi mémang
titisan raja. Titisan raja baheula
jeung biangna hiji putri pulo
Dewata. da puguh titisan raja;
raja anyar hésé apes ku
rogahala! Ti harita, ganti deui
jaman. Ganti jaman ganti lakon!
Iraha? Hanteu lila, anggeus
témbong bulan ti beurang,
disusul kaliwatan ku béntang
caang ngagenclang. Di urut
nagara urang, ngadeg deui
karajaan. Karajaan di jeroeun
karajaan jeung rajana lain
teureuh Pajajaran.
Laju aya deui raja, tapi raja, raja
buta nu ngadegkeun lawang teu
beunang dibuka, nangtungkeun
panto teu beunang ditutup;
nyieun pancuran di tengah jalan,
miara heulang dina caringin, da
raja buta! Lain buta duruwiksa,
tapi buta henteu neuleu, buaya
eujeung ajag, ucing garong
eujeung monyét ngarowotan
somah nu susah. Sakalina aya nu
wani ngageuing; nu diporog
mah lain satona, tapi jelema anu
ngélingan. Mingkin hareup
mingkin hareup, loba buta nu
baruta, naritah deui nyembah
berhala. Laju bubuntut salah nu
ngatur, panarat pabeulit dina
cacadan; da nu ngawalukuna
lain jalma tukang tani. Nya
karuhan: taraté hépé sawaréh,
kembang kapas hapa buahna;
buah paré loba nu teu asup kana
aseupan............................. Da
bonganan, nu ngebonna tukang
barohong; nu tanina ngan
wungkul jangji; nu palinter loba
teuing, ngan pinterna
kabalinger.
Ti dinya datang budak
janggotan. Datangna sajamang
hideung bari nyorén kanéron
butut, ngageuingkeun nu keur
sasar, ngélingan nu keur paroho.
Tapi henteu diwararo! Da
pinterna kabalinger, hayang
meunang sorangan. Arinyana
teu areungeuh, langit anggeus
semu beureum, haseup ngebul
tina pirunan. Boro-boro dék
ngawaro, malah budak nu
janggotan, ku arinyana ditéwak
diasupkeun ka pangbérokan.
Laju arinyana ngawut-ngawut
dapur batur, majarkeun
néangan musuh; padahal
arinyana nyiar-nyiar
pimusuheun.
Sing waspada! Sabab engké
arinyana, bakal nyaram
Pajajaran didongéngkeun. Sabab
sarieuneun kanyahoan,
saenyana arinyana anu jadi
gara-gara sagala jadi dangdarat.
Buta-buta nu baruta; mingkin
hareup mingkin bedegong,
ngaleuwihan kebo bulé.
Arinyana teu nyaraho, jaman
manusa dikawasaan ku sato!
Jayana buta-buta, hanteu pati
lila; tapi, bongan kacarida teuing
nyangsara ka somah anu pada
ngarep-ngarep caringin reuntas
di alun-alun. Buta bakal jaradi
wadal, wadal pamolahna
sorangan. Iraha mangsana?
Engké, mun geus témbong
budak angon! Ti dinya loba nu
ribut, ti dapur laju salembur, ti
lembur jadi sanagara! Nu barodo
jaradi gélo marantuan nu
garelut, dikokolotan ku budak
buncireung! Matakna garelut?
Marebutkeun warisan. Nu hawek
hayang loba; nu boga hak
marénta bagianana. Ngan nu
aréling caricing. Arinyana mah
ngalalajoan. Tapi kabarérang.
Nu garelut laju rareureuh; laju
kakara arengeuh; kabéh gé taya
nu meunang bagian. Sabab
warisan sakabéh béak, béakna
ku nu nyarekel gadéan. Buta-
buta laju nyarusup, nu garelut
jadi kareueung, sarieuneun
ditempuhkeun leungitna nagara.
Laju naréangan budak angon, nu
saungna di birit leuwi nu
pantona batu satangtung, nu
dihateup ku handeuleum
ditihangan ku hanjuang.
Naréanganana budak tumbal.
sejana dék marénta tumbal.
Tapi, budak angon enggeus
euweuh, geus narindak
babarengan jeung budak anu
janggotan; geus mariang pindah
ngababakan, parindah ka Lebak
Cawéné!
Nu kasampak ngan kari gagak,
keur ngelak dina tutunggul.
Daréngékeun! Jaman bakal ganti
deui. tapi engké, lamun Gunung
Gedé anggeus bitu, disusul ku
tujuh gunung. Génjlong deui
sajajagat. Urang Sunda
disarambat; urang Sunda
ngahampura. Hadé deui
sakabéhanana. Sanagara sahiji
deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab
ngadeg ratu adil; ratu adil nu
sajati.
Tapi ratu saha? Ti mana asalna
éta ratu? Engké ogé dia nyaraho.
Ayeuna mah, siar ku dia éta
budak angon!
Jig geura narindak! Tapi, ulah
ngalieuk ka tukang!
Sejarah nusantara, sebuah narasi alternatif
Oleh Timmy Hartadi
Banyak sekali penafsiran umum
akan nama Nusantara, mungkin
yang paling populer adalah
rujukan penamaan Nusantara
yang dapat diakses di situs
wikipedia, di sana disebutkan
bahwa ‘Nusantara merupakan
istilah yang dipakai oleh orang
Indonesia untuk
menggambarkan wilayah
kepulauan Indonesia dari
Sabang sampai Merauke’;
pertanyaannya, apakah hanya
sebatas itu sajakah wilayah
Nusantara dulu?
Candi Penataran
Nusa sendiri sering diartikan
dengan pulau atau kepulauan,
penamaan dari leluhur kita
dahulu dalam bahasa
sansekerta, sedang dalam
bahasa sansekerta dengan
peradaban yang lebih lama,
istilah Nusa disebut dengan
Nuswa.
Hasil dari penelitian kita
terhadap beberapa rontal kuno
dan beberapa prasasti,
Nuswantara [atau Nusantara,
selanjutnya kita bahasakan
dengan Nusantara] adalah
gabungan dari dua kata, Nusa
dan Antara. Nusa sendiri dalam
bahasa sansekerta kuno
mempunyai arti “sebuah
tempat yang dapat ditinggali”
…jadi tidak disebutkan secara
jelas bahwa itu adalah pulau.
Konsepsi dari Nusantara sendiri
adalah sebuah kesatuan wilayah
yang dipimpin oleh suatu
pemerintahan [kerajaan] secara
absolut. Jadi dalam Nusantara
terdapat satu Kerajaan Induk
dengan puluhan bahkan ratusan
kerajaan yang menginduk
[bedakan menginduk dengan
jajahan]. Dalam sebuah
periodesasi jaman, Kerajaan
induk itu mempunyai seorang
pimpinan [raja] dengan
kewenangannya yang sangat
absolut, sehingga kerajaan-
kerajaan yang menginduk
sangat hormat dan loyal kepada
Kerajaan Induk dan satu sama
lain antara kerajaan yang
menginduk akan saling bersatu
dalam menghadapi ancaman
keamanan dari negara-negara di
luar wilayah Nusantara,
sehingga tak pelak kesatuan dari
Nusantara sangat disegani,
dihormati dan ditakuti oleh
negara-negara lain pada jaman
dahulu.
Kerajaan Induk biasanya
dipimpin oleh seorang raja
dengan gelar Sang Maha Prabu
atau Sang Maha Raja, atau pada
periode jaman sebelumnya
dengan Sang Rakai atau Sang
Mapanji, serta dibantu oleh Patih
[sekarang setara dengan
Perdana Menteri] yang bergelar
Sang Maha Patih.
Sedangkan kerajaan-kerajaan
yang menginduk, istilah
Kerajaan juga seringkali disebut
dengan Kadipaten yang
dipimpin oleh raja yang bergelar
Kanjeng Prabu Adipati atau
Kanjeng Ratu Adipati [apabila
dipimpin oleh seorang raja
wanita], dan Patih-nya bergelar
Sang Patih.
Pimpinan Kerajaan Induk
tidaklah selamanya turun-
temurun, tidak tergantung dari
besar-kecilnya wilayah, tapi
dilihat dari sosok pimpinannya
yang mempunyai kharisma
sangat tinggi, kecakapannya
dalam memimpin negara dan
keberaniannya dalam mengawal
Nusantara, sehingga negara-
negara lain [kerajaan yang
menginduk/Kadipaten] akan
dengan suka rela menginduk di
bawah sang pemimpin, apalagi
sang pemimpin biasanya
dianggap mewarisi karisma dari
pada dewa, dalam pewayangan-
pun beberapa nama raja
disebutkan sebagai Dewa sing
ngejawantah.
Nusantara, atau Indonesia kini
[dari bahasa melayu dan
pengembangan penamaan
wilayah nusantara pada jaman
masa kolonial], dahulu dikenal
dunia sebagai bangsa yang
besar dan terhormat. Orang luar
bilang Nusantara adalah
“jamrud khatulistiwa” karena
di samping Negara kita ini kaya
akan hasil bumi juga merupakan
Negara yang luar biasa megah
dan indah.
Bahkan di dalam pewayangan,
Nusantara ini dulu diberikan
istilah berbahasa kawi/Jawa
kuno, yaitu :
“Negara kang panjang punjung
pasir wukir, gemah ripah loh
jinawi, tata tentrem kerto
raharja”
Artinya dalam bahasa Indonesia
kurang lebih yaitu :
“Luas berwibawa yang terdiri
atas daratan dan pegunungan,
subur makmur, rapi tentram,
damai dan sejahtera“
Sehingga tidak sedikit negara-
negara yang dengan sukarela
bergabung di bawah naungan
bangsa kita.
Hal ini tentu saja tidak lepas
peranan dari leluhur-leluhur kita
yang beradat budaya dan
berakhlak tinggi. Di samping
bisa mengatur kondisi Negara
sedemikian makmur, leluhur
kita juga bahkan dapat
mengetahui kejadian yang akan
terjadi di masa depan dan
menuliskannya ke dalam karya
sastra. Hal ini bertujuan sebagai
panduan atau bekal anak
cucunya nanti supaya lebih
berhati-hati menjalani roda
kehidupan.
Akan tetapi penulisannya tidak
secara langsung
menggambarkan berbagai
kejadian di masa mendatang,
digunakanlah perlambang
sehingga kita harus jeli untuk
dapat mengetahui apa yang
dimaksud dengan perlambang
itu tadi. Digunakannya
perlambang karena secara etika
tidaklah sopan apabila manusia
mendahului takdir, artinya
mendahului Tuhan yang Maha
Wenang.
Leluhur kita yang menuliskan
kejadian masa depan adalah
Maharaja di Kerajaan Dahana
Pura bergelar Sang Mapanji Sri
Aji Jayabaya dalam karyanya
Jayabaya Pranitiradya dan
Jayabaya Pranitiwakyo. Sering
juga disebut “Jangka
Jayabaya” atau oleh
masyarakat sekarang dikenal
dengan nama “Ramalan
Jayabaya”, sebetulnya istilah
ramalan kuranglah begitu tepat,
karena “Jangka Jayabaya”
adalah sebuah Sabda, Sabda
Pandhita Ratu dari Sang Mapanji
Sri Aji Jayabaya, yang artinya
adalah akan terjadi dan harus
terjadi.
Leluhur lainnya adalah R. Ng.
Ranggawarsita yang menyusun
kejadian mendatang ke dalam
tembang-tembang, antara lain
Jaka Lodang, Serat Kalatidha,
Sabdatama, dll.
Kaitannya dengan penanggalan
jaman yang ada di Jangka
Jayabaya, kita berhasil
menemukan bahwa sejarah
Nusantara tidak sekerdil sejarah
yang tertulis di buku-buku
pelajaran sejarah sekolah yang
resmi atau literasi sejarah yang
ada. Bahkan lebih dari itu, kami
menemukan bukti tentang
kebesaran leluhur Nusantara
yang di peradaban-peradaban
sebelumnya mempunyai
wilayah yang lebih besar dari
yang kita duga selama ini.
Data yang diperoleh terdapat di
beberapa relief dan prasasti
yang dapat dilihat dan
dimengerti oleh semua orang.
Pola pembacaan yang telah
berhasil dipetakan dengan
mendokumentasikan lebih dari
20 jenis aksara purba asli
Nusantara yang dapat dipakai
untuk membaca prasasti dan
rontal-rontal kuno, mulai dari
Aksara Pra Budi Ratya, Pudak
Sategal, Sastra Gentayu, Sastra
Wiryawan, Sastra Budhati,
Sastra Purwaresmi, Aksara
Pajajaran, Aksara Hendra
Prawata, Aksara Jamus
Kalihwarni, Aksara Keling,
Aksara Budha yang ada di
Magelang, Aksara Nagari
Mojopoit, dll. Sebagai bahan
perbandingan, aksara Pallawa
yang ada di India itu masih
setara dengan jaman Kerajaan
Singasari, jadi masih terhitung
sangat muda.
kembali ke Jangka Jayabaya,
telah berhasil dipetakan
periodesasi terciptanya bumi
sampai ke titik akhir menjadi 3
Jaman Kali [Jaman Besar] atau
Tri Kali, dan setiap Jaman Kali
terbagi menjadi 7 Jaman Kala
[Jaman Sedang] atau Sapta Kala,
dan 1 Jaman Kala terbagi
menjadi 3 Mangsa Kala [Jaman
Kecil] atau Mangsa Kala, serta
berhasil mengurutkan sejarah
kerajaan-kerajaan yang ada di
Nusantara yang mayoritas telah
dihilangkan dari sejarah resmi.
Tri Kali atau 3 Jaman Besar itu
terdiri dari :
1. Kali Swara – jaman penuh
suara alam
2. Kali Yoga – jaman
pertengahan
3. Kali Sangara – jaman akhir
Masing-masing Jaman Besar
berusia 700 Tahun Surya, suatu
perhitungan tahun yang
berbeda dengan Tahun Masehi
maupun Tahun Jawa,
perhitungan tahun yang
digunakan sejak dari awal
peradaban. Konversi setiap
Jaman Besar [Kali] masing-
masing berbeda], saat ini yang
telah berhasil dikonversikan
adalah penghitungan Kali
Sangara [jaman akhir], di mana
1 [satu] Tahun Surya setara
dengan 7 Tahun Wuku, satu
tahun Wuku terdiri dari 210 hari
yang berarti 1 [satu] Tahun
Surya pada jaman besar Kali
Sangara itu sama dengan 1.470
hari.
Berikut adalah uraian tentang
pembagian jaman disertai
dengan silsilah Kerajaan-
kerajaan Besar [Kerajaan Induk]
di Nusantara mulai dari jaman
Kali Swara, Kali Yoga, sampai
Kali Sangara.
1. Kali Swara [ jaman penuh
suara alam ]
Dibagi atas 7 Jaman Sedang
[saptakala], yaitu :
1.1. Kala Kukila [burung]
Dibagi atas 3 Jaman Kecil
[mangsa kala] :
1.1.1 Mangsa Kala Pakreti
[mengerti]
1.1.2 Mangsa Kala Pramana
[waspada]
1.1.3 Mangsa Kala Pramawa
[terang]
Kerajaan-kerajaan Induk
Nusantara pada Jaman Sedang
Kala Kukila :
Keling, Purwadumadi,
Purwacarita, Magadha,
Gilingwesi, Sadha Keling
1.2. Kala Budha [mulai
munculnya kerajaan]
Dibagi atas 3 Jaman Kecil
[mangsa kala] :
1.2.1 Mangsa Kala Murti
[kekuasaan]
1.2.2 Mangsa Kala Samsreti
[peraturan]
1.2.3 Mangsa Kala Mataya
[manunggal dengan Sang
Pencipta]
Kerajaan-kerajaan Induk
Nusantara pada Jaman Sedang
Kala Budha :
Gilingwesi, Medang Agung,
Medang Prawa, Medang Gili/
Gilingaya, Medang Gana, Medang
Pura, Medang Gora, Grejitawati,
Medang Sewanda
1.3. Kala Brawa [berani/
menyala]
Dibagi atas 3 Jaman Kecil
[mangsa kala] :
1.3.1 Mangsa Kala Wedha
[pengetahuan]
1.3.2 Mangsa Kala Arcana
[tempat sembahyang]
1.3.3 Mangsa Kala Wiruca
[meninggal]
Kerajaan-kerajaan Induk
Nusantara pada Jaman Sedang
Kala Brawa :
Medang Sewanda, Medang
Kamulyan, Medang Gili/Gilingaya
1.4. Kala Tirta [air bah]
Dibagi atas 3 Jaman Kecil
[mangsa kala] :
1.4.1 Mangsa Kala Raksaka
[kepentingan]
1.4.2 Mangsa Kala Walkali
[tamak]
1.4.3 Mangsa Kala Rancana
[percobaan]
Kerajaan-kerajaan Induk
Nusantara pada Jaman Sedang
Kala Tirta : Purwacarita,
Maespati, Gilingwesi, Medang
Gele/Medang Galungan
1.5. Kala Rwabara [keajaiban]
Dibagi atas 3 Jaman Kecil
[mangsa kala] :
1.5.1 Mangsa Kala Sancaya
[pergaulan]
1.5.2 Mangsa Kala Byatara
[kekuasaan]
1.5.3 Mangsa Kala Swanida
[pangkat]
Kerajaan-kerajaan Induk
Nusantara pada Jaman Sedang
Kala Rwabara :
Gilingwesi, Medang Kamulyan,
Purwacarita, Wirata, Gilingwesi
1.6. Kala Rwabawa [ramai]
Dibagi atas 3 Jaman Kecil
[mangsa kala] :
1.6.1 Mangsa Kala Wibawa
[pengaruh]
1.6.2 Mangsa Kala Prabawa
[kekuatan]
1.6.3 Mangsa Kala Manubawa
[sarasehan/ pertemuan]
Kerajaan-kerajaan Induk
Nusantara pada Jaman Sedang
Kala Rwabawa :
Gilingwesi, Purwacarita, Wirata
Anyar
1.7. Kala Purwa [permulaan]
Dibagi atas 3 Jaman Kecil
[mangsa kala] :
1.7.1 Mangsa Kala Jati [sejati]
1.7.2 Mangsa Kala Wakya
[penurut]
1.7.3 Mangsa Kala Mayana
[tempat para maya/ Hyang]
Kerajaan-kerajaan Induk
Nusantara pada Jaman Sedang
Kala Purwa :
Wirata Kulon [Matsyapati],
Hastina Pura
2. Kali Yoga [ jaman
pertengahan ]
Dibagi atas 7 Jaman Sedang
[saptakala], yaitu :
2.1. Kala Brata [bertapa]
Dibagi atas 3 Jaman Kecil
[mangsa kala] :
2.1.4 Mangsa Kala Yudha
[perang]
2.1.5 Mangsa Kala Wahya [saat/
waktu]
2.1.6 Mangsa Kala Wahana
[kendaraan]
Kerajaan Induk Nusantara pada
Jaman Sedang Kala Purwa :
Hastina Pura
2.2. Kala Dwara [pintu]
Dibagi atas 3 Jaman Kecil
[mangsa kala] :
2.2.1 Mangsa Kala Sambada
[sesuai/ sepadan]
2.2.2 Mangsa Kala Sambawa
[ajaib]
2.2.3 Mangsa Kala Sangkara
[nafsu amarah]
Kerajaan-kerajaan Induk
Nusantara pada Jaman Sedang
Kala Dwara :
Hastina Pura, Malawapati,
Dahana Pura, Mulwapati,
Kertanegara
2.3. Kala Dwapara [para dewa]
Dibagi atas 3 Jaman Kecil
[mangsa kala] :
2.3.1 Mangsa Kala Mangkara
[ragu-ragu]
2.3.2 Mangsa Kala Caruka
[perebutan]
2.3.3 Mangsa Kala Mangandra
[perselisihan]
Kerajaan-kerajaan Induk
Nusantara pada Jaman Sedang
Kala Dwapara :
Pengging Nimrata, Galuh,
Prambanan, Medang Nimrata,
Grejitawati
2.4. Kala Praniti [teliti]
Dibagi atas 3 Jaman Kecil
[mangsa kala] :
2.4.1 Mangsa Kala Paringga
[pemberian/kesayangan]
2.4.2 Mangsa Kala Daraka
[sabar]
2.4.3 Mangsa Kala Wiyaka
[pandai]
Kerajaan-kerajaan Induk
Nusantara pada Jaman Sedang
Kala Praniti :
Purwacarita, Mojopura,
Pengging, Kanyuruhan, Kuripan,
Kedhiri, Jenggala, Singasari
2.5. Kala Teteka [pendatang]
Dibagi atas 3 Jaman Kecil
[mangsa kala] :
2.5.1 Mangsa Kala Sayaga
[bersiap-siap]
2.5.2 Mangsa Kala Prawasa
[memaksa]
2.5.3 Mangsa Kala Bandawala
[perang]
Kerajaan-kerajaan Induk
Nusantara pada Jaman Sedang
Kala Teteka :
Kedhiri, Galuh, Magada,
Pengging
2.6. Kala Wisesa [sangat
berkuasa]
Dibagi atas 3 Jaman Kecil
[mangsa kala] :
2.6.1 Mangsa Kala Mapurusa
[sentosa]
2.6.2 Mangsa Kala Nisditya
[punahnya raksasa]
2.6.3 Mangsa Kala Kindaka
[bencana]
Kerajaan-kerajaan Induk
Nusantara pada Jaman Sedang
Kala Wisesa :
Pengging, Kedhiri, Mojopoit
[Majapahit]
2.7. Kala Wisaya [fitnah]
Dibagi atas 3 Jaman Kecil
[mangsa kala] :
2.7.1 Mangsa Kala Paeka [fitnah]
2.7.2 Mangsa Kala Ambondan
[pemberontakan]
2.7.3 Mangsa Kala Aningkal
[menendang]
Kerajaan-kerajaan Induk
Nusantara pada Jaman Sedang
Kala Wisaya :
Mojopoit, Demak, Giri
3. Kali Sangara [ jaman akhir ]
Dibagi atas 7 Jaman Sedang
[saptakala], yaitu :
3.1. Kala Jangga
Dibagi atas 3 Jaman Kecil
[mangsa kala] :
3.1.1 Mangsa Kala Jahaya
[keluhuran]
3.1.2 Mangsa Kala Warida
[kerahasiaan]
3.1.3 Mangsa Kala Kawati
[mempersatukan]
Kerajaan-kerajaan Induk
Nusantara pada Jaman Sedang
Kala Jangga :
Pajang, Mataram
3.2. Kala Sakti [kuasa]
Dibagi atas 3 Jaman Kecil
[mangsa kala] :
3.2.1 Mangsa Kala Girinata
[Syiwa]
3.2.2 Mangsa Kala Wisudda
[pengangkatan]
3.2.3 Mangsa Kala Kridawa
[perselisihan]
Kerajaan-kerajaan Induk
Nusantara pada Jaman Sedang
Kala Sakti :
Mataram, Kartasura
3.3. Kala Jaya
Dibagi atas 3 Jaman Kecil
[mangsa kala] :
3.3.1 Mangsa Kala Srenggya
[angkuh]
3.3.2 Mangsa Kala Rerewa
[gangguan]
3.3.3 Mangsa Kala Nisata [tidak
sopan]
Kerajaan-kerajaan Induk
Nusantara pada Jaman Sedang
Kala Jaya :
Kartasura, Surakarta,
Ngayogyakarta
3.4. Kala Bendu [hukuman/
musibah]
Dibagi atas 3 Jaman Kecil
[mangsa kala] :
3.4.1 Mangsa Kala Artati [uang/
materi]
3.4.2 Mangsa Kala Nistana
[tempat nista]
3.4.3 Mangsa Kala Justya
[kejahatan]
Kerajaan-kerajaan Induk
Nusantara pada Jaman Sedang
Kala Jaya :
Surakarta, Ngayogyakarta,
Indonesia [Republik]
3.5. Kala Suba [pujian]
Dibagi atas 3 Jaman Kecil
[mangsa kala] :
3.5.1 Mangsa Kala Wibawa
[berwibawa/berpengaruh]
3.5.2 Mangsa Kala Saeka
[bersatu]
3.5.3 Mangsa Kala Sentosa
[sentosa]
3.6. Kala Sumbaga [terkenal]
Dibagi atas 3 Jaman Kecil
[mangsa kala] :
3.6.1 Mangsa Kala Andana
[memberi]
3.6.2 Mangsa Kala Karena
[kesenangan]
3.6.3 Mangsa Kala Sriyana
[tempat yang indah]
3.7. Kala Surata [menjelang
jaman akhir]
Dibagi atas 3 Jaman Kecil
[mangsa kala] :
3.7.1 Mangsa Kala Daramana
[luas]
3.7.2 Mangsa Kala Watara
[sederhana]
3.7.3 Mangsa Kala Isaka
[pegangan]
Metode penelitian dan
penelusuran yang digunakan
selama ini adalah dengan
mengkompilasikan studi literasi
pada relief-relief, prasasti-
prasasti serta rontal-rontal kuno
yang dipadukan dengan Sastra
Cetha, sastra yang tidak tersurat
secara langsung. Sastra Cetha
sendiri adalah sebuah informasi
tak terbatas yang sudah
digambarkan oleh alam semesta
secara jelas, begitu jelasnya
sehingga sampai tidak dapat
terlihat kalau kita menggunakan
daya penangkapan yang terlalu
tinggi dan rumit
Belajar dari tanah sendiri, belajar
dari ajaran leluhur Nusantara
sendiri, belajar banyak dari alam
semesta, di mana bumi diinjak,
di situ langit dijunjung.
Timmy Hartadi – Turangga Seta
Yogyakarta | Wuku
Medhangkungan
Selasa Pahing 15 Desember
2009
Disampaikan pada diskusi
Jelajah Nusantara
MCR, Yogyakarta | Selasa 15
Desember 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)