Malam yang panjang melantunkan sebuah nyanyian, sebuah cahaya malam yang mencoba untuk menepisku dan udara yang menusuk dinding kamarku mencoba menemaniku.
Perasaanku mulai bermain dengan nada-nada yang tak tentu, melihat bulan seolah tak melihat cahaya
Kini aku hanya berdiri di depan pintu kamarku, menantikan sebuah pengharapan yang akan datang dan pergi.
Entah kapan aku akan datang dan pergi
Inilah gundahan hati yang risau, bahkan disaatku tak bisa melihat didalam kegelapan ini, melihat dengan mata yang penuh kesedihan
Mungkinkah ini perasaan yang sama dengan waktu itu??
Malam ini hanya menjadi sebuah malam yang panjang untuk aku ungkapkan semua perasaan ini.
Menari dan tertawa di dalam sebuah ruang sempit yang tak berujung
Kesendirian yang saat ini ku rasakan membuatku terpaku dan melihat semua ini hanya membuat hatiku sakit.
Bisakah aku keluar dan menepi dari semua kebisingan dan kembimbangan ini ?
Isyarat yang memiliki penglihatan yang tajam bahkan detik demi detik jam dinding kamarku mulai berdetik.
Aku tidak berani menatap akan waktu itu
Masa kelam dan penantianku sudah datang
Aku tak berani menyambutnya Karena aku tahu kegelapan akan menantiku.
Aku coba tepis semua ini tapi jariku tak henti hentinya untuk mengetikkan kata-kata ini. Kendali otak dan perasaan ini mulai menghantui
Kapankah bisa tercipta sebuah syair indah dan memulai sebuah hari tanpa itu semua ?
Lelah berjalan dan hanya melewati berbagai persimpangan
Bosan dan letih jikalau hanya menunggu
Aku harus bangkit dan berdiri tanpa memikirkan apa yang di belakangku.
Ini hanya permainan pemikiran yang mencoba menindasku untuk menjadikanku lemah
AKU HARUS BANGKIT
Wednesday, January 30, 2013
Friday, January 25, 2013
Kisah Beruang dan Syech
Pernah mendengar cerita tentang Si Beruang dan Sang Syeh?
Ceritanya, pada suatu hari ada seekor beruang besar yang sedang terluka kakinya.
Cukup parah nampaknya, Tak diceritakan entah apa penyebab luka di kaki Si Beruang itu.
Pada saat bersamaan, ada seorang Syeh sedang melakukan perjalanan jauh demi mencari ilmu. Di tengah jalan, Sang Syeh menemukan Si Beruang terkapar tak berdaya dengan lukanya.
Hati Syeh yang mulia langsung merangsang otaknya berpikir menolong Si Beruang, tak takut pada tubuh beruang yang sangat besar yang bisa saja melukainya.
Lalu otak pun langsung menggerakkan organ motorik Sang Syeh melakukan pertolongan dan pengobatan pada Si Beruang.
Ya begitulah, hati yang baik akan menimbulkan pemikiran dan aksi yang baik pula. Tidak perlu banyak amm emm amm emm untuk sebuah panggilan kebaikan.
Dua hari berlalu. Ketelatenan Sang Syeh mengobati Si Beruang akhirnya membuahkan hasil. Luka di kaki beruang sembuh.
Hingga ketika Sang Syeh ingin pergi, Si Beruang meminta untuk menjadi pengawalnya, dia berjanji akan melindunginya dari segala bahaya. Itu sebagai balas jasa Si Beruang pada Sang Syeh.
Permintaan itu pun akhirnya di-iya-kan oleh Sang Syeh.
Benar saja, beruang itu banyak sekali membantu.
Menakut-nakuti orang yang ingin berbuat jahat pada Syeh. Mengambilkan buah yang letaknya tinggi, sulit dijangkau oleh Syeh, dan masih banyak yang lain.
Hingga suatu hari, Sang Syeh tertidur dengan pulas karena kelelahan. Seperti biasa, Si Beruang berjaga di dekatnya bak pengawal pribadi. Dan tiba-tiba ada seekor lalat yang hinggap di muka Sang Syeh. Terbang dan hinggap lagi di sekitar tempat yang sama.
Kesal melihat hal itu, Si Beruang berusaha mengusir Si lalat. Tapi sia-sia. Lalat itu pergi sebentar lalu datang lagi. Si Beruang takut sekali tuannya terbangun karena lalat itu. Ingin sekali Si Beruang membunuh lalat itu agar tuannya dapat tidur dengan nyaman.
Dan persis pada saat lalat itu hinggap lama sekali di kepala Sang Syeh, Si Beruang berpikir ini lah waktu yang tepat untuk membunuh Si lalat. Akhirnya Si beruang mengambil batu yang besar dan memukulkannya ke kepala Syeh, tempat lalat itu tadi hinggap. Berakhirlah kehidupan Sang Syeh, di tangan makhluk yang justru paling ingin menjaganya.
Cerita yang bagi saya cukup menarik. Seseorang tidak bisa selalu mengendalikan dan mengatur orang lain dalam melakukan suatu perbuatan atau amal. Kita pun juga tidak bisa serta merta menyalahkan, ketika perbuatan yang diusahakan orang lain justru melukai kita, membuat kita rugi, sakit, stress, dll.
Heyy...lihat lah Si Beruang, apakah dia berniat membunuh Sang Syeh?
Tidak sama sekali bukan?
Dia justru ingin melindungi, ingin berbuat baik, hanya saja caranya yang salah.
Lalu haruskah kita memarahi Si Beruang habis-habisan, menghukumnya, atau meng qisas-nya membayar nyawa dengan nyawa?
Silakan dijawab dengan versinya masing-masing.
Entah saat ini kita sedang berada dalam posisi Sang Syeh (yang dirugikan akibat tindakan orang lain) ataukah sebagai Si Beruang (yang melakukan kesalahan), semoga kita bisa lebih bijak dalam menentukan sikap.Mari kita interospeksi diri.
Ada 2 hal yang harus kita lupakan :
Kebaikan kita pada orang lain, dan Keburukan orang lain pada kita.
Ada 2 hal pula yang harus kita ingat : Kebaikan orang lain pada kita, dan Keburukan kita pada orang lain.
Semoga bisa menangkap hikmahnya. .
Ceritanya, pada suatu hari ada seekor beruang besar yang sedang terluka kakinya.
Cukup parah nampaknya, Tak diceritakan entah apa penyebab luka di kaki Si Beruang itu.
Pada saat bersamaan, ada seorang Syeh sedang melakukan perjalanan jauh demi mencari ilmu. Di tengah jalan, Sang Syeh menemukan Si Beruang terkapar tak berdaya dengan lukanya.
Hati Syeh yang mulia langsung merangsang otaknya berpikir menolong Si Beruang, tak takut pada tubuh beruang yang sangat besar yang bisa saja melukainya.
Lalu otak pun langsung menggerakkan organ motorik Sang Syeh melakukan pertolongan dan pengobatan pada Si Beruang.
Ya begitulah, hati yang baik akan menimbulkan pemikiran dan aksi yang baik pula. Tidak perlu banyak amm emm amm emm untuk sebuah panggilan kebaikan.
Dua hari berlalu. Ketelatenan Sang Syeh mengobati Si Beruang akhirnya membuahkan hasil. Luka di kaki beruang sembuh.
Hingga ketika Sang Syeh ingin pergi, Si Beruang meminta untuk menjadi pengawalnya, dia berjanji akan melindunginya dari segala bahaya. Itu sebagai balas jasa Si Beruang pada Sang Syeh.
Permintaan itu pun akhirnya di-iya-kan oleh Sang Syeh.
Benar saja, beruang itu banyak sekali membantu.
Menakut-nakuti orang yang ingin berbuat jahat pada Syeh. Mengambilkan buah yang letaknya tinggi, sulit dijangkau oleh Syeh, dan masih banyak yang lain.
Hingga suatu hari, Sang Syeh tertidur dengan pulas karena kelelahan. Seperti biasa, Si Beruang berjaga di dekatnya bak pengawal pribadi. Dan tiba-tiba ada seekor lalat yang hinggap di muka Sang Syeh. Terbang dan hinggap lagi di sekitar tempat yang sama.
Kesal melihat hal itu, Si Beruang berusaha mengusir Si lalat. Tapi sia-sia. Lalat itu pergi sebentar lalu datang lagi. Si Beruang takut sekali tuannya terbangun karena lalat itu. Ingin sekali Si Beruang membunuh lalat itu agar tuannya dapat tidur dengan nyaman.
Dan persis pada saat lalat itu hinggap lama sekali di kepala Sang Syeh, Si Beruang berpikir ini lah waktu yang tepat untuk membunuh Si lalat. Akhirnya Si beruang mengambil batu yang besar dan memukulkannya ke kepala Syeh, tempat lalat itu tadi hinggap. Berakhirlah kehidupan Sang Syeh, di tangan makhluk yang justru paling ingin menjaganya.
Cerita yang bagi saya cukup menarik. Seseorang tidak bisa selalu mengendalikan dan mengatur orang lain dalam melakukan suatu perbuatan atau amal. Kita pun juga tidak bisa serta merta menyalahkan, ketika perbuatan yang diusahakan orang lain justru melukai kita, membuat kita rugi, sakit, stress, dll.
Heyy...lihat lah Si Beruang, apakah dia berniat membunuh Sang Syeh?
Tidak sama sekali bukan?
Dia justru ingin melindungi, ingin berbuat baik, hanya saja caranya yang salah.
Lalu haruskah kita memarahi Si Beruang habis-habisan, menghukumnya, atau meng qisas-nya membayar nyawa dengan nyawa?
Silakan dijawab dengan versinya masing-masing.
Entah saat ini kita sedang berada dalam posisi Sang Syeh (yang dirugikan akibat tindakan orang lain) ataukah sebagai Si Beruang (yang melakukan kesalahan), semoga kita bisa lebih bijak dalam menentukan sikap.Mari kita interospeksi diri.
Ada 2 hal yang harus kita lupakan :
Kebaikan kita pada orang lain, dan Keburukan orang lain pada kita.
Ada 2 hal pula yang harus kita ingat : Kebaikan orang lain pada kita, dan Keburukan kita pada orang lain.
Semoga bisa menangkap hikmahnya. .
Wednesday, January 23, 2013
KISAH NYATA ATAU DONGENG??
Saya akan menceritakan beberapa kisah nyata dan saya jamin Anda akan merasakannnya sebagai sekedar dongeng.
Bukan karena Anda tidak mempercayai saya atau sumber-sumber dari mana saya memperoleh kisah-kisah nyata itu, namun terutama karena kita hidup di zaman yang jauh lebih absurd dari dongeng. Atau karena kehidupan kita sudah sedemikian jauh meninggalkan norma- norma nyata dalam kehidupan kemanusiaan.
Baiklah saya mulai saja. Anda sudah siap mengikuti kisah-kisah saya? Inilah:
1. Suatu hari ada seorang tua miskin datang kepada Syeikh hendak menyampaikan sesuatu keperluan meminta tolong kepada tokoh masyarakat yang disegani itu.
Seperti layaknya orang yang sudah tua renta, selama berbicara mengutarakan hajatnya, si orang tua miskin itu bersandarkan pada tongkat penopang ketuaannya. Dan tanpa disadari, ujung tongkatnya itu menghujam pada kaki syeikh itu hingga berdarah-darah. Seperti tidak merasakan apa-apa, Syiekh terus mendengarkan dengan penuh perhatian keluhan wong cilik itu.
Demikianlah ketika orang tua itu sudah mendapatkan dari Syeikh apa yang ia perlukan dan pergi meninggalkan majlis, orang-orang yang dari tadi memendam keheranan pun serta-merta bertanya kepada Syeikh
“Kenapa Syeikh diam saja, tidak menegur ketika orang tua tadi menghujamkan tongkatnya di kaki Syeikh?”
“Kalian kan tahu sendiri, dia datang kepadaku untuk menyampaikan keperluannya;” jawab Syeikh sambil tersenyum, “Kalau aku menjerit atau menegurnya, aku khawatir dia akan merasa bersalah dan tidak jadi menyampaikan hajatnya.”
Lihatlah.
Bukankah kisah di atas bagaikan dongeng saja?!
Mana ada pemimpin atau tokoh masyarakat yang begitu tinggi menempatkan keperluan orang yang memerlukan bantuan dalam perhatiannya? Kalau pun ada, mungkin untuk menemukannya bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami sekarang ini.
2. Syeikh Hasan Al-Bashari, siapa yang tak mengenal tokoh ulama dan sufi di penghujung abad pertama ini? Beliau tinggal bertetangga dengan seorang Nasrani. Apartemen si Nasrani di atas dan beliau di bawah.
Bertahun-tahun mereka bertetangga, belum pernah si Nasrani datang bertandang ke apartemen Syeikh Hasan. Baru ketika Syeikh Hasan jatuh sakit, si Nasrani datang menjenguk.
Ketika menjenguk itulah, si Nasrani baru tahu betapa sederhana kehidupan Syeikh Hasan yang sangat terkenal kebesarannya itu. Tapi yang lebih menarik perhatian si Nasrani adalah adanya sebuah baskom berisi air keruh yang terletak di dekat bale- bale tempat tidur Syeikh Hasan. Apalagi ketika ada tetesan air jatuh tepat dari atas baskom.
Spontan si Nasrani teringat kamar mandinya di atas.
Dengan ragu-ragu si Nasrani pun bertanya: “Syeikh, ini baskom apa?’
“Ah baskom itu, sekedar penampung tetesan air;” jawab Syeikh wajar-wajar saja, “Setiap kali penuh baru saya buang.”
“Sudah berapa lama Syeikh melakukan ini?” tanya si Nasrani lagi dengan suara gemetar, “maksud saya menampung tetesan air dari atas ini?”
“Ya, kurang-lebih sudah dua puluh tahun;” jawab Syeikh kalem, “jadi sudah terbiasa.”
Mendengar itu, si Nasrani langsung menyatakan syahadat. Mengakui Tuhan dan Rasulnya Syeikh Hasan Al-Bashari, Allah swt dan Nabi Muhammad saw.
Seperti dongeng bukan?
Dimana kini Anda bisa menjumpai orang yang menjunjung tinggi ajaran menghormati tetangga seperti Hasan Al-Bashari itu?
3. Datang seseorang melarat kepada sang pemimpin mengeluhkan kondisinya yang sangat lapar. Sang pemimpin pun bertanya kepada isterinya kalau- kalau ada sesuatu yang dapat disuguhkan kepada tamunya.
Ternyata di rumah sang pemimpin yang ada hanya air. Sang pemimpin pun bertanya kepada orang-orang di sekelilingnya,
“Siapa yang bersedia menjamu tamuku ini?”
“Saya;” kata seseorang. Lalu orang ini pun segera pulang ke rumahnya sendiri membawa tamunya.
“Saya membawa tamunya pemimpin kita, tolong sediakan makanan untuk menjamunya!” katanya kepada isterinya.
“Wah, sudah tidak ada makanan lagi, kecuali persediaan untuk anak-anak kita;” bisik sang isteri.
“Sibukkan mereka;” kata suaminya lirih, “kalau datang waktunya makan, usahakan mereka tidur. Nanti kalau si tamu akan masuk untuk makan, padamkan lampu dan kita pura-pura ikut makan, ya!”
Demikianlah keluarga itu menjalankan skenario kepala rumah tangganya. Dan mereka menahan lapar mereka sendiri hingga pagi.
Esok harinya sebelum laporan, sang pemimpin yang tidak lain adalah Rasulullah saw, sudah menyambut kepala rumah tangga (seorang shahabat Anshor) itu dengan tersenyum, sabdanya:
“Allah takjub menyaksikan perlakuan kalian berdua terhadap tamu kalian semalan.”
Anda tahu kisah ini bukan dongeng, karena ini hadis muttafaq ‘alaih yang bersumber dari shahabat Abu Hurairah r.a.
Tapi tetap saja kedengarannya seperti dongeng, bukan ?!
Tiga kisah itu hanyalah sekedar contoh, yang lainnya masih banyak lagi.
Anda bisa dengan mudah menjumpainya di kitab-kitab Anda, di kitab suci Al-Quran, di kitab-kitab Hadis, dan kitab-kitab salaf pegangan kita yang lain. Hampir semuanya bila Anda baca, Anda akan merasa seperti membaca contoh-contoh di atas. Merasa seperti membaca dongeng.
Kalau benar demikian, bukankah ini pertanda bahwa kondisi kehidupan kita sudah semakin jauh saja dengan kondisi ideal seperti yang dicontohkan oleh Salafunaas Shaalihuun, para pemimpin dan pendahulu kita yang saleh-saleh.
Wallahu a’lam.
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari membaca postingan ini Silahkan SHARE ke rekan anda jika menurut anda postingan ini bermanfaat.
Bukan karena Anda tidak mempercayai saya atau sumber-sumber dari mana saya memperoleh kisah-kisah nyata itu, namun terutama karena kita hidup di zaman yang jauh lebih absurd dari dongeng. Atau karena kehidupan kita sudah sedemikian jauh meninggalkan norma- norma nyata dalam kehidupan kemanusiaan.
Baiklah saya mulai saja. Anda sudah siap mengikuti kisah-kisah saya? Inilah:
1. Suatu hari ada seorang tua miskin datang kepada Syeikh hendak menyampaikan sesuatu keperluan meminta tolong kepada tokoh masyarakat yang disegani itu.
Seperti layaknya orang yang sudah tua renta, selama berbicara mengutarakan hajatnya, si orang tua miskin itu bersandarkan pada tongkat penopang ketuaannya. Dan tanpa disadari, ujung tongkatnya itu menghujam pada kaki syeikh itu hingga berdarah-darah. Seperti tidak merasakan apa-apa, Syiekh terus mendengarkan dengan penuh perhatian keluhan wong cilik itu.
Demikianlah ketika orang tua itu sudah mendapatkan dari Syeikh apa yang ia perlukan dan pergi meninggalkan majlis, orang-orang yang dari tadi memendam keheranan pun serta-merta bertanya kepada Syeikh
“Kenapa Syeikh diam saja, tidak menegur ketika orang tua tadi menghujamkan tongkatnya di kaki Syeikh?”
“Kalian kan tahu sendiri, dia datang kepadaku untuk menyampaikan keperluannya;” jawab Syeikh sambil tersenyum, “Kalau aku menjerit atau menegurnya, aku khawatir dia akan merasa bersalah dan tidak jadi menyampaikan hajatnya.”
Lihatlah.
Bukankah kisah di atas bagaikan dongeng saja?!
Mana ada pemimpin atau tokoh masyarakat yang begitu tinggi menempatkan keperluan orang yang memerlukan bantuan dalam perhatiannya? Kalau pun ada, mungkin untuk menemukannya bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami sekarang ini.
2. Syeikh Hasan Al-Bashari, siapa yang tak mengenal tokoh ulama dan sufi di penghujung abad pertama ini? Beliau tinggal bertetangga dengan seorang Nasrani. Apartemen si Nasrani di atas dan beliau di bawah.
Bertahun-tahun mereka bertetangga, belum pernah si Nasrani datang bertandang ke apartemen Syeikh Hasan. Baru ketika Syeikh Hasan jatuh sakit, si Nasrani datang menjenguk.
Ketika menjenguk itulah, si Nasrani baru tahu betapa sederhana kehidupan Syeikh Hasan yang sangat terkenal kebesarannya itu. Tapi yang lebih menarik perhatian si Nasrani adalah adanya sebuah baskom berisi air keruh yang terletak di dekat bale- bale tempat tidur Syeikh Hasan. Apalagi ketika ada tetesan air jatuh tepat dari atas baskom.
Spontan si Nasrani teringat kamar mandinya di atas.
Dengan ragu-ragu si Nasrani pun bertanya: “Syeikh, ini baskom apa?’
“Ah baskom itu, sekedar penampung tetesan air;” jawab Syeikh wajar-wajar saja, “Setiap kali penuh baru saya buang.”
“Sudah berapa lama Syeikh melakukan ini?” tanya si Nasrani lagi dengan suara gemetar, “maksud saya menampung tetesan air dari atas ini?”
“Ya, kurang-lebih sudah dua puluh tahun;” jawab Syeikh kalem, “jadi sudah terbiasa.”
Mendengar itu, si Nasrani langsung menyatakan syahadat. Mengakui Tuhan dan Rasulnya Syeikh Hasan Al-Bashari, Allah swt dan Nabi Muhammad saw.
Seperti dongeng bukan?
Dimana kini Anda bisa menjumpai orang yang menjunjung tinggi ajaran menghormati tetangga seperti Hasan Al-Bashari itu?
3. Datang seseorang melarat kepada sang pemimpin mengeluhkan kondisinya yang sangat lapar. Sang pemimpin pun bertanya kepada isterinya kalau- kalau ada sesuatu yang dapat disuguhkan kepada tamunya.
Ternyata di rumah sang pemimpin yang ada hanya air. Sang pemimpin pun bertanya kepada orang-orang di sekelilingnya,
“Siapa yang bersedia menjamu tamuku ini?”
“Saya;” kata seseorang. Lalu orang ini pun segera pulang ke rumahnya sendiri membawa tamunya.
“Saya membawa tamunya pemimpin kita, tolong sediakan makanan untuk menjamunya!” katanya kepada isterinya.
“Wah, sudah tidak ada makanan lagi, kecuali persediaan untuk anak-anak kita;” bisik sang isteri.
“Sibukkan mereka;” kata suaminya lirih, “kalau datang waktunya makan, usahakan mereka tidur. Nanti kalau si tamu akan masuk untuk makan, padamkan lampu dan kita pura-pura ikut makan, ya!”
Demikianlah keluarga itu menjalankan skenario kepala rumah tangganya. Dan mereka menahan lapar mereka sendiri hingga pagi.
Esok harinya sebelum laporan, sang pemimpin yang tidak lain adalah Rasulullah saw, sudah menyambut kepala rumah tangga (seorang shahabat Anshor) itu dengan tersenyum, sabdanya:
“Allah takjub menyaksikan perlakuan kalian berdua terhadap tamu kalian semalan.”
Anda tahu kisah ini bukan dongeng, karena ini hadis muttafaq ‘alaih yang bersumber dari shahabat Abu Hurairah r.a.
Tapi tetap saja kedengarannya seperti dongeng, bukan ?!
Tiga kisah itu hanyalah sekedar contoh, yang lainnya masih banyak lagi.
Anda bisa dengan mudah menjumpainya di kitab-kitab Anda, di kitab suci Al-Quran, di kitab-kitab Hadis, dan kitab-kitab salaf pegangan kita yang lain. Hampir semuanya bila Anda baca, Anda akan merasa seperti membaca contoh-contoh di atas. Merasa seperti membaca dongeng.
Kalau benar demikian, bukankah ini pertanda bahwa kondisi kehidupan kita sudah semakin jauh saja dengan kondisi ideal seperti yang dicontohkan oleh Salafunaas Shaalihuun, para pemimpin dan pendahulu kita yang saleh-saleh.
Wallahu a’lam.
Semoga kita bisa mengambil hikmah dari membaca postingan ini Silahkan SHARE ke rekan anda jika menurut anda postingan ini bermanfaat.
Friday, January 18, 2013
renungan pagi...
Siap atau tidak, suatu hari semuanya pasti akan berakhir. Tidak akan ada lagi matahari yang terbit, tidak ada menit, jam ataupun hari.
Semua materi yang kita kumpulkan, baik itu uang yang didapat ataupun hal yang bersifat fisik lainnya akan diteruskan ke orang lain. Kekayaan kita, ketenaran dan kekuasaan yang sesaat akan menghilang dan menjadi tidak berarti lagi.
Sehingga tidak akan penting lagi segala sesuatu yang pernah kita miliki atau yang pernah kita kuasai.
Segala macam rasa dendam, dengki, frustasi dan juga rasa iri pada akhirnya akan hilang.
Hal yang sama juga berlaku kepada harapan, ambisi, rencana dan hal-hal lainnya yang kita inginkan, kesemuanya itu kemudian jadi tidak berlaku lagi.
Kemenangan dan kekalahan yang pada awalnya menjadi sangat penting lalu segera memudar, lenyap dan menghilang....
Tidak berarti lagi darimana kita berasal atau disisi mana jalur hidup kita pada akhirnya...
Tidak berarti lagi apakah kita cantik atau brillian. Bahkan jenis kelamin dan warna kulit bukan lagi menjadi satu persoalan...
Jadi apakah yang akan berarti? Bagaimanakah nilai dari hari kita diukur?...
# Yang kemudian berarti adalah bukan apa yang kita beli namun apa yang kita bangun
# Bukan apa yang kita dapat tapi apa yang kita berikan
# Yang kemudian berarti bukanlah kesuksesan kita namun keberartian kita
# Yang kemudian berarti bukanlah apa yang kita pelajari namun apa yang kita ajarkan
# Yang kemudian berarti adalah setiap tindakan dengan integritas, hati, keberanian dan pengorbanan yang memperkaya, memperkuat ataupun mendorong orang lain untuk menyamai kita sebagai contoh dan menjadikan kita sebagai inspirasi.
# Yang kemudian berarti bukanlah kemampuan kita namun karakter kita
# Yang kemudian berarti adalah bukan seberapa banyak orang yang kita kenal, namun seberapa banyak yang akan merasakan kehilangan yang mendalam ketika kita pergi
# Yang kemudian berarti bukanlah yang kita kenang namun kenangan tentang kita yang akan terus hidup pada mereka-mereka yang mencintai kita.
# Yang kemudian berarti adalah seberapa lama kita akan diingat, oleh siapa dan bagaimana kita dikenang
Menjalani kehidupan yang berarti tidak terjadi dengan sendirinya. Ini juga bukan mengenai keadaan namun ini mengenai pilihan.
Mengenai pilihan untuk menjalani kehidupan yang berarti
Semua materi yang kita kumpulkan, baik itu uang yang didapat ataupun hal yang bersifat fisik lainnya akan diteruskan ke orang lain. Kekayaan kita, ketenaran dan kekuasaan yang sesaat akan menghilang dan menjadi tidak berarti lagi.
Sehingga tidak akan penting lagi segala sesuatu yang pernah kita miliki atau yang pernah kita kuasai.
Segala macam rasa dendam, dengki, frustasi dan juga rasa iri pada akhirnya akan hilang.
Hal yang sama juga berlaku kepada harapan, ambisi, rencana dan hal-hal lainnya yang kita inginkan, kesemuanya itu kemudian jadi tidak berlaku lagi.
Kemenangan dan kekalahan yang pada awalnya menjadi sangat penting lalu segera memudar, lenyap dan menghilang....
Tidak berarti lagi darimana kita berasal atau disisi mana jalur hidup kita pada akhirnya...
Tidak berarti lagi apakah kita cantik atau brillian. Bahkan jenis kelamin dan warna kulit bukan lagi menjadi satu persoalan...
Jadi apakah yang akan berarti? Bagaimanakah nilai dari hari kita diukur?...
# Yang kemudian berarti adalah bukan apa yang kita beli namun apa yang kita bangun
# Bukan apa yang kita dapat tapi apa yang kita berikan
# Yang kemudian berarti bukanlah kesuksesan kita namun keberartian kita
# Yang kemudian berarti bukanlah apa yang kita pelajari namun apa yang kita ajarkan
# Yang kemudian berarti adalah setiap tindakan dengan integritas, hati, keberanian dan pengorbanan yang memperkaya, memperkuat ataupun mendorong orang lain untuk menyamai kita sebagai contoh dan menjadikan kita sebagai inspirasi.
# Yang kemudian berarti bukanlah kemampuan kita namun karakter kita
# Yang kemudian berarti adalah bukan seberapa banyak orang yang kita kenal, namun seberapa banyak yang akan merasakan kehilangan yang mendalam ketika kita pergi
# Yang kemudian berarti bukanlah yang kita kenang namun kenangan tentang kita yang akan terus hidup pada mereka-mereka yang mencintai kita.
# Yang kemudian berarti adalah seberapa lama kita akan diingat, oleh siapa dan bagaimana kita dikenang
Menjalani kehidupan yang berarti tidak terjadi dengan sendirinya. Ini juga bukan mengenai keadaan namun ini mengenai pilihan.
Mengenai pilihan untuk menjalani kehidupan yang berarti
Subscribe to:
Posts (Atom)